Kamis, 29 November 2007

Api di Bukit Menoreh 7

Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik kependapa.
Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam. Dilihatnya dipendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang diantaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang disudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan didinding-dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.
Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa dipinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.
Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju kepringgitan.Dipringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.
“Disitulah adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang disaat-saat yang begini.
Demang itupun berbisik pula “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”
Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnya.
Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu tersenyum asam “Hem” desisnya, “Ternyata aku tidak perlu membangunkan adi”
Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya “apakah ada seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.
“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”
“Siapa?” bertanya Widura.
“Angger Agung Sedayu” jawab Demang.
“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya “Kau Sedayu”.
Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya paman” .
“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman” jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.
Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan penuh pertanyaan didalam dadanya. Dan Sedayupun tidak menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya “Paman, aku disuruh kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar”
“Untara?” bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?”
“Nantilah aku ceriterakan paman” jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam menanggapi setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari kakang Untara”
“Oh” sahut pamannya “Apakah itu?”
Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya “Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”
“Belum paman” sahut Sedayu “Kakang Untara masih akan tinggal dirumah. Tugasnya disekitar Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”
Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya dihadapan orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya “Adakah Untara akan segera menyusul?”
“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu “Luka itu agaknya parah juga”
“Baiklah” berkata Widura itu kemudian “Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu adi” jawab Demang itu “Sebab apabila lumbung itu lenyap, kamipun akan kelaparan, Isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk Pajang”
“Terima kasih kakang” sahut Widura “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka dihalaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”
Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata dijalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan.
Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul dipringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.
Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada diantaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus.
Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk disudut ruang itu. Katanya “adakah Ki Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya” Widura mengangguk “Aku sependapat”
“Kalau demikian” orang itu meneruskan “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.
Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.
Widurapun kemudian menjawab ”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun”
Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang “Laskar di Karang Anom telah bergerak ketimur. Tidak kebarat”
“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita”
Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.
“Kalau angger Untara sekarang ada disini” desis orang setengar umur disudut itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian adalah Widura “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka diprapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.
Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu “Meskipun angger Untara tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.
Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia berkata “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia beristirahat”
Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang diantara mereka berkata “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”
Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu”
“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar ditangannya itu berkata “Apakah aku diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”
Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang dibeberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar Widura itu.
Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya “Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan kesaktiannya”
Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang”
“Ya” jawab Sidanti “Aku pernah mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk menangkapnya”
Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?
Kemudian berkata Widura itu “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”
Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”
“Baiklah kakang” jawab Sidanti.
Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itupun tersenyum, katanya “Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan angger Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya”
Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukanna. Bahkan menyebut nama Tohpati itupun ia tak berani.
Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkan.
Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”
Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu. Maka katanya “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri”.
Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda”
Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”
“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.
Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.
Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada”
Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan “Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan”
Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh. Karena dibalik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera berkata “Adakah kita akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”.
Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata “Beristirahatlah dipembaringanku Sedayu”
Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik “Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada diantara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon perlindunganmu”.
Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itupun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata “Ya, ya, Bapak Demang”
Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya “Terima kasih anakmas”
Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri dipaling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang didadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya”
Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Dalam laskar adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.
“Siapa?” bertanya anak muda itu.
“Angger Sidanti” jawab ayahnya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja tangannya telah terpilin kebelakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidantipun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunyapun akan masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamaipun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itupun segera menyembunyikan diri dibelakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.
Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu.
Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada didalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya “Apakah kau akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah tongkat baja putih. Diujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya “Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera ditempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani kelak menjadi urusanku”
Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik dibelakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.
“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti mengangguk
“Sendiri?”
Kembali Sidanti mengangguk.
“Aku ikut” minta Swandaru (bersambung)

Api di Bukit Menoreh 6


Kiai Gringsing menggeleng “Tidak” jawabnya “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan didalam dadanya. Telah dua orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tau, adakah orang bertopeng ini Untatra yang sedang menjebaknya? Alap-alap itu menggeleng “Tak mungkin, Untara terluka”
Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah “bersiaplah. Kau atau anak muda itu bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau epat-cepat selesai sehingga tiba-tiba saja ditangannya tergenggam pedangnya jang putih berkilat-kilat.
“O” berkata Kiai Gringsing “baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. Katanya kemudian “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?”
Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang kau sukai”
“Aku akan bertempur diatas tanah” sahut Kiai Gringsing.
Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya.
Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti didalam mimpi. Ya, hampir semalam penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda itu bukan sekadar menakut-nakutinya didalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya.
Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Didaerah pertempuran tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”.
“Kau benar” sahut Kiai Gringsing “Hukum didaerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya mereka tidak kehilangan kemanusiaannya”
“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan yang panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat mengarah kedada orang bertopeng itu. “Mampus kau” teriak Alap-alap Jalatunda.
Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak bergerak, namun ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya.
“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya.
Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang garang itu selalu dapat dielakkan.
Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang membingungkan bagi Alap-alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin garang.
Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-alap Jalatunda. Diatas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang kemerah-merahanpun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka yang sedang bertempur.
Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, bulan tua memanjat sampai kepuncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir fajar” bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku didalam parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata didalam hatinya. Karenak itu, maka tiba-tiba gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.
Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi”
Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu.
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-alap Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-benar ornang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya. Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran didaerah inipun belum juga pernah ada yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya, namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian kulitnya menjadi terluka karenanya.
Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh, Seorang yang bertempur dengan cambuk kuda.
“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda “Biarlah pada suatu saat ia bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini”
Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi Agung Sedayu.
Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia berlari kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung diatas punggung kuda itu. Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah.
Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung Sedayu.
Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata “Bukankah aku menang?”
Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah terusir pergi.
“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat tata perkelahianku”Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur “Aku tak tahu Kiai”
Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya didalam hati “Sayang” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata “Sedayu, bukankah kau akan pergi ke Sangkal Putung?”
“Ya” jawab anak muda itu “Dari mana Kiai mengetahuinya?”
“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu.
“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu”
Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun menjawab “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang”
“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak”
“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana”
“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing.
Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas dikejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh.
Meskipun demikian ia berkata “Aku akan terlambat”
“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh diatas pedukuhan itu”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang bertopeng itu berkata “Naiklah. Dan pakai kudaku”
Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu meloncat dan berlari ke utara.
“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan. Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri “Kalau aku tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam didalam parit”
Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal ditempat itu lebih lama lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri ditempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih kepada orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu terhadapnya.
Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata kuda itu cukup jinak.
“Nah” bisik Agung Sedayu, “Kawani aku ke Sangkal Putung”.
Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda itu dipacunya ke Sangkal Putung. Dihadapannya terbentang sebuah jalan ditengah sawah yang panjang. Dan diujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus.
Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja dihadapannya. Agung Sedayu segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu.
Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya. “Hem” anak muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak berani menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah mungkin genderuwo itu takut karena aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itupun tak diganggunya.
Jalan dihadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini dihadapannya dilihatnya paedukuhan yang kecil. Kali asat. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika sekali lagi Agung Sedayu membelok kekanan sampailah ia kejalan lurus menuju Sangkal Putung.
Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.” “Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap orang akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”. Namun disudut hatinya yang lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. Dijawabnya sendiri “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, apakah bedanya? Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah berceritera, tentang seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya”.
Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga memaafkan kesalahan orang lain kepada kita”
Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan.
“Ya, seandainya” kembali ia bergumam.
Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika dedengarnya sebuah terikan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang kekandangnya, setelah semalam-malaman mencari mangsanya.
“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. Dimukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung didalam lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah dinding telah dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah gardu perondan.
Agung Sedayu langsung berpacu kegardu itu. Ia tahu benar bahwa digardu itu berjaga-jaga beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.
Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang digardu itupun segera turun. Dari jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting.
Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh sedang berhitung mancung maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?”
“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang “Aku akan bertemu paman Widura”
“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula.
“Penting sekali. Hanya paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu.
Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata “Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?”
“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya.
“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian.
Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya “Marilah” berkata salah seorang daripadanya.
“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu.
Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun kemudian berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai digardu ini”
“Oh” sahut Agung Sedayu “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya.
“Nah” berkata pemimpin itu “Kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan anakmas dan biarlah kuda itu disini”. “Baik” jawab Sedayu “Terima kasih”.
“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya.
Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan dibelakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan dibelakangnya.
“Anak buah paman Widura sangat berhati-hati” katanya didalam hati. Namun meskipun demikian, sekali-sekali ia menoleh juga kebelakang, seakan-akan orang yang berjalan dibelakangnya itu akan menerkamnya.
Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, diantara pagar-pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas. Pagar halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak sebuah regol yang tertutup rapat.
Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu.
Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula didalam. Empat kali berturut-turut.
Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang yang dimukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian pintu itupun terbuka.
“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin bertemu dengan Ki Widura”.
“Sekarang?” bertanya orang didalam halaman.
“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata “Marilah anak muda”
Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan paman Widura”
“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu.
“Ya” jawab Agung Sedayu “Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya sebelum fajar”.
Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Ditimur laut dilihatnya bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?”
“Agung Sedayu” jawab Sedayu.
Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami disini”
Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. Bertanyalah kepadaya”
“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir diseluruh kademangan Sangkal Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas.
Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya akan menyalahkannya.
Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan keregol halaman itu. Dan terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?”
“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya “Selamat malam bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang juga. Aku ingin menundanya sampai besok”
Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau bawa?”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal oleh orang-orang itu, katanya “Aku membawa berita dari kakang Untara”
“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar nama itupun mengulang pula meskipun hanya didalam hati.
“Adakah angger ini utusan angger Untara?” bertanya Demang itu.
“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan. “Aku adiknya”
“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya “Maafkan kami. Kami belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan bagi kami, bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.
“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar itu memang penting”
Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka berjalan melintas halaman yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa bahwa dua orang berjalan dibelakangnya.
“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih “Dan kademangan ini adalah kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang cerai berai”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. “Sayang” demang itu meneruskan “Persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Sebenarnya adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. Orang-orang disekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-orangnya menjadi putus asa dan liar”.
Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak yang berlainan?”
Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata demang Sangkal Putung itu. Tetapi didalam hatinyapun timbul pertanyaan “Kenapa kita mesti bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan. (bersambung)

Api di Bukit Menoreh 5


Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.
Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa.
Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.
Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.
Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.
Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.
Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur diatas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Ditengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan didadanya.
Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti ditengah-tengah jalan diantara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda dibelakangnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak “Adakah kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula. Katanya “Alap-alap Jalatunda tidak berkuda”
Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah didalam benaknya “Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.
Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada didalam hatinya tinggallah “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak ini?”
Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat menira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun dimalam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah dibelakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerebab ditanah yang becek. Tertatih-tatihia bangun, kemudian berlari-lari terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa dipunggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya. “Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”
Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila.
Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak didalam rongga dadanya.
Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu diujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan ditengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak kearah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.
Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.
“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah”
Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa membangunkan kau”
Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata “Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring “Ha” katanya “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri dihadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh didalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda.
“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang bertopeng itu “Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akakn memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya “Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya “Namanya Ki Sadewa”
“He” Agung Sedayu terkejut “Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu terkejut “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”
“Tidak” jawab Agung sedayu “orang itu benar-benar ayahku”
“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.
Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi” ia meneruskan “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.
“Nah” berkata Kiai Gringsing “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi “Aku sudah mulai” teriaknya.
Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing “Didalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu”
“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa didalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali “Suara kuda” desisnya.
“Ya” jawab Kiai Gringsing “dari arah tikungan randu alas”
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat”
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab “Sejak kecil” Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu kehutan daripada berlatih membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.
Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda” berkata Kiai Gringsing “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu”
“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.
“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai Gringsing “Apakah Aka-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara “jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan terbata-bata ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak”
“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut”
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.
“Itulah dia kiai” berkata Sedayu “Tolonglah aku”
“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak “aku takut”
“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh “Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya”
Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya “Aku tidak berani Kiai, aku takut”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak. “Baiklah” katanya “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu melonca, ringan sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata “Jangan berendam lagi didalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri “Tak berhasil”
Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Diatas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti ditengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan didalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?”
Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang “Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung”
Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya “Jangan Kiai, jangan kalah”
Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja dihadapan kuda Kiai Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya didalam parit seorang lain berdiri gemetar “Ha” teriaknya kegirangan “Kaukah itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya “Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing “Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam didalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alalp-alap Jalatunda “jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya” (bersambung)

Rabu, 21 November 2007

Api di Bukit Menoreh 4


Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua kawannya lagi?”
“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda”
Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun dadanya terasa sesak.
Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung daripada tinggal di dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura, maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal Putung dan temuilah paman Widura”
Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?”
Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara “Tempuhlah jalan barat”
“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas.
“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah”
Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca.
Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang, aku takut”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri.
Tiba-tiba ornag tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya dengan tangannya yang lemah “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri”
“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku.
Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu”
Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-bata “Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?”
“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya.
“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu”
Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram.
Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut diperjalanan itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger disini. Baik itu dilakukan oleh angger Untara, maupun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh mengerikan lagi”
Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya”
“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti “Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi”
Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya “Pergi sekarang juga!”
Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak didadanya. Maka bisiknya menghibur “angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah pula kehendakNya itu. Karena itu jangan takut”.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga mau meninggalkannya.
Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia melangkah kepunggung kuda itu.
“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah menyusup kedaerah maut.
Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap kali dadanya berdesir. Dimalam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-bayangan hitam menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada diperjalanan itu.
Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya “Kenapa hal itu angger lakukan?”
Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan Tuhan melindunginya”
Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. IA mengangguk-angguk kecil ketika terdengar gumam Untara pula “Kasihan Sedayu”
“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu.
“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal anak itu” jawab Untara.
Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian terdengar ia meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger memerlukan perawatanku disini”
“Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan diganggunya pula”
“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak parah, Aku sedang mencoba untuk mengobatinya”
Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda dihalaman, hampir saja ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akan dan perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab” katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap Jalatunda tidak datang kepondok itu.
Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh ditikungan jalan. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah.
“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan keras yang memecah kesepian malam itu.
Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?”
Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami bunuh”
“Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap”
“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain.
Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah pukulan.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini”
“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian “Biarlah mereka menemukan aku. Maka nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan”
“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah salah seorang yang sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti”
Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar didalam dada para prajurit yang dengan senjata ditangan mempertaruhkan nyawanya demi pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan menghadapi lawannya dalam kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang hidup diantara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, kulit dagingnya.
Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena itu biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan diri”.
“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang, maka kerumah ini pula aku akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya”
Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir “Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan angger maka akupun akan selamat pula”
“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir.
“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar masih terdengar.
“Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua itu masih cukup kuat untuk memapahnya.
Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul yang besar “Melingkarlah disitu ngger, dan berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir.
Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka dibahunya itu sudah sembuh, ia akan datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda.
Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas.
Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, dan terdengarlah suara kasar memanggilnya “mbah dukun, buka pintumu”
Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi.
Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu”
Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun”
Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” terdengar suara dibelakang pintu.
“Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan”
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, demikian beberapa orang dengan senjata ditangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek.
“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air diparit. Aku sangka karena hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah orang-orang ini”
“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya”
“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir.
Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir “Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi rumahmu”
“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?”
“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu.
“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan sendirinya nama itu tumbuh”
Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku”
“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger”
Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya.
Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki Tanu, aku sedang mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang kemari untuk berobat?”
Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya “Jawab pertanyaanku”
Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari”
Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?”
O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini”
“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu.
“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu.
Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap-alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan”
Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger, benar-benar tak ada”
“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu diujung hutan. Ia mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak menemuinya. Ia pasti datang kemari”
“Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak”
“He monyet bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku”
Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak “Kau lihat orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon”
“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu.
Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. “Ampun” mintanya.
“Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap itu.
Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian yang tersangkut dihatinya.
Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun dikepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon “Ampun”
Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu.
Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya.
Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya, berkatalah sebenarnya”
Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi “Katakanlah apa yang kau ketahui kepada angger alap-alap Jalatunda”
Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung pedangnya dimuka wajahnya “Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu”
“Hem, baru sekarang kau katakan ktu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?”
“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu punggung kuda” sahut Kriya kebingungan.
Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?”
“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi atau ke Gedawung?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya disini tinggal seorang dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya.
Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru menjadi tenang “Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya”
Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali lagi ia berteriak “Bohong!”
Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari disemua sudut rumah ini”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut “Alap-alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar.
Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya “Bagus”, dan kepada anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng”
“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar jantungnyapun menjadi bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang. “Orang itu ada disini pada saat aku tak mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu banyak mengalir.
Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar kesegenap sudut rumah Ki Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun disentong-sentong itu mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong kiri seonggok untaian padi didalam bakul yang besar. Namun Untara tak mereka temukan.
Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini”
Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil “Bawa Kriya kemari”
Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda.
“Kriya bungkik..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi”
“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata.
“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu.
“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih.
“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’
“Tidak…” sahut Kriya.
“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar Plasa Ireng.
“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan dirinya.
“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang datang berdua, yang pergi hanya seorang”
“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka ditinggalkannya disini”
Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak “He dukun celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya disegala medan peperangan namun aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala garis perang Untara pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda “Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, kau dapat menemukan yang seorang lagi”
“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung”
Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar mengejutkan.
Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu”
Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah yang melukainya?”
“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda.
“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng.
“Ya” sahut anak muda itu.
Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut kepada yang seorang itu pula”
Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab “Jangan memperkecil arti Alap-alap Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku telah berhasil mengalahkan mereka”
“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia berkata “Kalau sekali lagi kau sebut kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?”
Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun meluncur dengan lancarnya “keselatan”
“Terus?” desak Plasa ireng.
“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya.
“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya.
Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak “Pergi…!”
Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi kejalan kecil dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari.
Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi diatasnya. Namun terasa pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak “He dukun tua, kangan menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang”
Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang naik itu mengalami bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu Metir menjawab tenang “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu”
“He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk monyet yang ganas itu”
“Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada ditanganku”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak sadarkan diri. (besambung)