Senin, 28 April 2008

Api di Bukit Menoreh 42


Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang telanjang ditangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman>” ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar diantara rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata “Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itupun terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat kelain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi dilangit yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap didalam genggamannya. Jawabnya “Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu didalam hatinya “Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali ditempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa dilangit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah diantara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu.
Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat ditangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat dihalaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu.
Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir didalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya “kte itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya “He, orang yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya “Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram didaerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing “Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupkupun akan terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi “Dan didaerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa diantara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing “Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai keujung juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka.
Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu.
Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti disekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata “He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka dimuka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya “Selama aku masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir “Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata “Agung Sedayu, mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu, maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah “Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan disamping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa “Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya “aku berhenti di beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut “Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata “adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab “Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab “Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu “Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata “Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap orang yang bertugas diregol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalan-jalan dimalam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik kependapa, maka ia ikut juga dibelakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, disamping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berkata “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya “Begitu bukan angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”

Api di Bukit Menoreh 41

Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan Macan Kepatihan masih vukup banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya. Dan didalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, dan beberapa orang penting yang lain.
Untarapun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.
Namun ketegangan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Irengpun pasti mempengaruhi keadaan mereka. Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak diseputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru. mereka semakin lama menjadi semakin kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan itu.
Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malampun ia masih berjalan dari satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya stiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada disekitar Sangkal Putung.
Namun ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka.
Demikianlah, ketika mereka sedang nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai keujung jalan yang mengelilingi daerah gunung Gowok. Mereka terhenti ketika mereka melihat sesosok tubuh berjongkok ditepi jalan itu.
Widura bukanlah seorang anak kecil yang bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanyapun berhenti.
“Kau lihat orang itu?” bertanya Widura berbisik.
“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Agung Sedayu menggeleng “Entahlah”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya “Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati”
“Tohpati tidak akan seorang diri berada ditempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja” jawab Widura. “Beberapa orang lain berada ditempat lain pula. atau orang yang diumpankannya untuk memancing kita”
Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah berada dipelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa mereka kedalam satu bahaya.
Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapapun yang akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itupun kemudian berkata “Marilah kita lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak usah mendekat” berkata Widura.
“Lalu bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu
“Biarlah ia yang mendekat.”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya ditepi jalan. Namun demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba2 harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya. Karena itu, maka iapun berjalan menepi pula, dan berjongkok berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan ditempatkannya, maka biarlah kita tunggu disini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk. “Kau benar Sedayu” katanya “tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat diungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apapun yang akan dapat dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya. Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang berjongkok dipinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun mengumpulkan beberapa butir batu yang berada disekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam. “Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita siapapun ia, maka aku akan menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya “Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir jalan. Orang yang berjongkok itupun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada ditempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura “tetapi biarlah. Kita akan tetap berada ditempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah memuncak, maka ia berkata “Paman, biarlah aku mencoba melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan” jawab Widura “kita jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir pingsan dibuatnya.
Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok dihadapan pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk disini Widura.
Sebenarnya Widura itu sendiripun menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila terjadi sesuatu.
Di kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya orang tua itu menjawab sekenanya.
“Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara
“Hem” sahut Ki Tanu Metir sambil menguap “aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat eperti ini. Kalau tengah malam sudah lampau, biasanya barula haku mengantuk. Tetapi kali ini mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi”
“Kenapa?” bertanya Untara
“Mungkin aku makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir
Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan keluar. Baru segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. karena itu, maka Untara bertanya pula “Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap. Jawabnya “Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah”
“Ya” jawab Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan dirawat dibajar kademangan. karena itu, maka Untara itupun kemudian berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata “angger Widura dan angger Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini masih belum kembali”
“Apakah ini telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah malam” sahut Ki Tanu Metir “Biasanya pada saat-saat begini mereka telah kembali”
Untara tidak menjawab. mungkin sekali mereka berdua berhenti disalah satu gardu perondan. Berkelakar dengan para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir berpendapat lain. Katanya “Hem, aku menjadi semakin mengantuk”
“Tidurlah Kiai” berkata Untara “Lebih baik ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan disini”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata “Setiap malam aku keluar berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan berkurang”
Untara tertawa. Jawabnya “Jangan terlalu jauh Kiai”
Ki Tanu Metir tertawa pula “Kenapa?” ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka jawabnya “Nanti Kiai jadi lapar lagi”
Ki Tanu Metir itupun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar percakapan itupun tertawa pula. sambungnya “Jangan takut Kiai, didapur masih tersedia ubi rebus”
“Terima kasih” sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih. Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya”
Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi ia melangkahi pintu, maka terdengar Ki Demang berkata “Apakah aku perlu mengantarkan Kiai?”
“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat “Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke gardu-gardu peronda”
“Jangan ke gardu peronda. Dijalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya”
“Oh ya, baiklah” berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki Tanu Metir itupun pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju kegerbang halaman.
“Selamat malam Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas “Apakah Kiai akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki Tanu Metir
Orang yang sedang bertugas itu telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk menguap disamping regol berkata “Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak lebih senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu Metir “Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam”
Dan Ki Tanu Metir itupun berjalan tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun setelah cukup jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panajang. Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu berjalan tergesa-gesa. Gumamnya “Hem, kenapa hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan? Justru hari ini angger Widura dan angger Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada seusatu yang mengganggunya”
Meskipun demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya dihadapannya sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan hilang dibalik pagar. Kini orang tua itu menyusup diantara rimbunnya dedaunan dan dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk dipinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai dirinya lagi. karena itu, maka katanya “Paman, aku dapat menjadi gila karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah keperluannya”
“Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri”
Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada pamannya “Paman, apakah bedanya, seandainya kita harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?”
“Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau kita berada disini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan seandainya orang itu Ki Tambak Wedipun maka mereka akan lebih banyak waktu untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu lama?
“Agung Sedayu” berkata Widura “Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam taraf ini kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing. Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan ketenangannya pasti akan kalah”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata “Paman, meskipun kita tidak mulai lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu. Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka marilah kita lihat siapakah yang berada dihadapan kita itu”
Widura menarik nafas. Iapun sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung dan kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan.
Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang yang berjongkok dipinggir jalan itu.
Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan kemarahan didalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnyapun sama sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Sudahlah Sedayu” cegah pamannya.
“Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang yang bermain hantu-hantuan itu”
“Jangan” pamannya segera memotong kata-katanya.
“Biarlah” sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. karena itu, maka ia menjadi semakin bingung.
Tetapi ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang itu memang membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti cacing kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk ditempatnya tanpa bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian, ia akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh.
Karena itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain. Mula-mula ia sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan sepotong besi batu-batu itu dipukulnya kesamping. Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak melihat gerak itu.
Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan sekali. Karena itu, maka orang itupun tersenyum.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah lenyap.
“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu itupun berteriak “Kemana orang itu?”
“Jangan berteriak” potong Widura. tetapi Widura itupun menjadi bersiaga. Iapun segera berdiri dan menarik pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan dan berbisik “Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui”
“Kemana orang itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku sangka ia berguling masuk keparit dipinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat melihat orang itu”
“Marilah kita cari”
“Sangat berbahaya” sahut pamannya “Aku kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi. Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya”
Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba tangannyapun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata “Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang menyerangnya”
“Sudah aku katakan” sahut pamannya “Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi”
Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak “Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu pedang”
“Jangan berteriak Sedayu” desis pamannya.
“Punggungku dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka. karena itu, maka betapa kemarahan melonjak dikepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu belum dilihatnya.
Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu” berkata Widura “Jangan menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah bersedia menghadapi segala kemungkinan”
Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya itu meledak. Sehingga terdengar ia berteriak “Ayo yang bersembunyi dibalik alang-alang atau dibalik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil bersembunyi”
Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.
Widurapun telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani menghadapi akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya berbisik “Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal ditempat ini. Kitapun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan kemungkinan yang paling pahit, apabila kita menyuruk kegerumbul yang ditempati olehnya. Tetapi kalau tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan yang sama dengan orang itu”
“Marilah paman” sahut Agung Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi. Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba didengarnya suara tertawa didalam semak-semak diseberang parit. Suara itu tidak terlalu keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa itu terdengar ia berkata “Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar. Kalian tak usah bersembunyi kemanapun sebab akibatnya akan sama saja. Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada ditempat yang terbuka supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian”
Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dan bergetaran dari segenap arah.
Sesaat kemudian suara itu berkata kembali “Agung Sedayu dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan, kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat. Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita sebelum ajal datang”
“Setan” sahut Widura “Itu bukan perbuatan seorang jantan”
Kembali suara tertawa itu menggetar. “Jangan mengumpat-umpat” katanya. “Kau hanya akan menambah dosa saja. Sebaiknya kalian berbaring saja disitu, tenangkan hatimu dan berdo’alah supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka”
“Diam, diam!” teriak Agung Sedayu “Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini”
“Bagus, bagus” sahut suara itu “Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar”
Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan sendri. Dan suara itupun masih selalu mengganggunya dari arah yang tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang itu pasti berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dilangit yang kelam.
Namun dalam kebingungan yang hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya “Widura dan Agung Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul didalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan dihati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, bersembunyilah. Kalau kaian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak berbahaya”
Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka mereka menjadi terpaku diam ditempatnya. Dalam pada itu syara yang kedua itu berkata pula “Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu”
Widura dan Agung Sedayu itupun mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya. Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis “Ya, Kiai Gringsing”

Api di Bukit Menoreh 40


Sisa gelap malampun semakin lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati Sidantipun menjadi semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun betapa mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya. Seandainya seseorang melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada disampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan persoalan itu sendiri. tanpa gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya. Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan pembunuhannya atas Untara. Seandanya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka itu, maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas.
Dengan demikian maka Sidanti semakin memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda didalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian kuda-kuda yang lainpun menjadi gelisah pua sehingga kandang itu menjadi ribut karenanya.
“Gila” geram Sidanti
Suara kuda itu pasti akan memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. karena itu, maka sebelum Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan.
Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan fajar, benar dilihatnyan beberapa orang berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya.
Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. Tetapi ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah mengalir darah dari luka-luka ditubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidantipun telah mengalami tekanan-tekanan yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu.
Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apapun juga. karena itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar didinding kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.
Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan Sidanti benar-benar seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang senjata perguruannya, namun sepotong kayu itupun benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan berusaha membinasakan Agung Sedayu.
Sebuah pukulan yang keras telah mendorong Agung Sedayu kesamping. Berbareng dengan teriakan beberapa orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa jari diatas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba, Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga ia jatuh terguling. Kesmpatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum sempat bangun kembali.
Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu kekepala Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat untuk mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras.
Pada saat itu Widurapun telah sampai ketempat itu pula. iapun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun jaraknyapun masih beberapa langkah lagi. karena itu, maka Widura itupun hanya dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.
Sidanti sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa yang pernah didengarnya dari Untara. karena itu, maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itupun telah diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya.
Tetapi justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu ditangannya dan kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi disekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah berdiri dekat dibelakangnya. Disamping kandang kuda itu.
Ketika kayu ditangannya itu telah sampai kepuncak ayunan dan siap untuk meluncur kekepala Agung Sedayu, Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar, itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul disekitar tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur kepunggungnya.
Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman belakang kademangan Sangkal Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telaha menyobek punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya. Dilihatnya dibelakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit ditangannya. Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Sidanti itupun menjadi semakin marah bukan buatan. Namun terasa luka dipunggungnya itu sedemikian nyerinya. Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya, sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak berdaya. Namun ia tidak mau jatuh dan mati ditempat itu. Dengan segenap kemampuan yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap wajah yang berada disekitarnya.
Dilihatnya Widura yang kini telah tegak dihadapannya dengan pedang tergantung dilambungnya, disampingnya Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain. Sidanti itu menggeram penuh kemarahan dan dendam.ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam persoalan ini.
Sidanti menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan Sekar Mirah dan orang-orang lain.
Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah gagal mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ketingkat yang lebih tinggi. Bahkan sampati ketingkat yang paling atas. Dan kini ia harus mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar hati, ketika diingatnya gurunya berada ditempat itu pula.
Dan gurunya ternyata tidak membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri. dengan garangnya ia meloncat dai tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil berkata “Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai lawan dan siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami Sidanti”
Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah jawaban Sedayu “Sidanti curang pula. kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti memungut sepotong kayu”
“Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari belakang”
Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak “Tutup mulutmu. Aku berkata kepada Widura. jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi”
Orang-orang yang berdiri disekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir kedadanya. Maka jawabnya “Aku tidak akan memberikan hukuman apapun sebelum aku tahu benar, dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini terjadi”
“Persetan” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau jangan mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Yang berdiri dihadapannya adalah Ki Tambak Wedi. maka segala sesuatu harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itupun membentaknya “Widura, buka mulutmu”
Widura sama sekali tidak senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling kearah Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia masih mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada itu, Widura sedang menilai setiap orang yang berada disekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu, sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung. Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan mungkin mereka bersama-sama.
Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak “Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka aku tidak akan berbuat apa-apa”
Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. karena itu, maka jawabnya “Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin menyerahkan orang-orangku kepada siapapun juga, apapun kesalahannya. Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti disini dan aku akan melihat apakah yang telah terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada ditempat ini, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku”
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu. Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih dibeberapa bagian itu, seakan-akan tegak dibawah ikat kepalanya. Tanpa sesadarnya tangannya menggenggam sabil bergumam “Setan. Apakah kaliah sudah bosan hidup?”
Sekali lagi Widura melayangkan pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula berkerumun disekitar tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari mereka telah membawa senjata-senjata mereka Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap orang disekitar gunung Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka tak akan ada diantara mereka yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang itu Ki Tambak Wedi.
Namun meskipun demikian, sebagian besar dari mereka berada didalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak Wedi? sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata didalam pasukan Macan Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu. Apakah dalam keadaan yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal, bahwa didalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu.
Widura itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula “Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat berbuat lain daripada memilih diantara dua. Menyerahkan anak muda yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama. Jawab”
Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya “Ki Tambak Wedi. kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapapun orangnya, meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi. namun kami terpaksa mempertahankan sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti bersama-sama”
“Gila” teriak Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia terpaksa mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap dengan segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itupun tiba-tiba telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi, Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun disekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan didalam dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya dan membawanya ke Pajang. “Hem” geramnya didalam hati “Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”
Sesaat halaman belakang kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka. Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain.
Karena itu, maka suasana menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata kepada Sidanti “Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan memberimu sesuatu”
Sidanti yang luka itupun menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi masish ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada dipendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata “Guru, bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya “Apakah keberatanmu dengan senjata itu. Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu”
Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut kesamping gurunya.
Tetapi Widura melangkah selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua?
Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu bergerak, segera menggeram “Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat kegaduhan diantara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi. aku akan membuat timbangan diantara kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi mengikat tangan Tambak Wedi”
Dada Widura itupun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. karena itu, maka ia tetap tegak ditempatnya ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.
Agung Sedayu menjadi gemetar melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup mengatakan hasratnya untuk menangkap Sidanti.
Agung Sedayu terkejut ketika pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. ia tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa sesadarnya iapun beringsut dari tempatnya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan yang sangat cepat ditangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang dan alat pemukul lainnya.
Demikianlah, maka akhirnya Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu.
Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu, Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri.
Demikianlah, ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya “Paman, kenapa mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban yang tidak sedikit dari antara kita”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang yang ditempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan sehingga karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan dipusatkannya dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu, adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itupun memeprhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat kemudian orang-orang yang berkerumun itupun menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi satu merekapun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata kepada mereka “Kambalilah ketempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan dapat berbuntu panjang”. Kemudian kepada ki Demang Widura berkata “Kakang Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?”
“Silakan, silakan” sahut Ki Demang.
Pintu butulan dinding belakang itupun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang perlu. Mereka yang pergi kesungai kecil itu harus mengambil jalan lain, jalan disamping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau apapun yang ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinan-kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya.
Widura sendiri itupun kemudian kembali masuk kepringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir masih duduk ditempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas “Kenapa wajahmu ngger?”
Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang telah dialaminya.
Ki Tanu Metir mendengarkan setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa sesadarnya ia berkata “Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sehingga pringgitan itupun menjadi sepi.
Diluar panas matahari mulai membakar dedaunan yang letih. Disana sini, dibawah batang-batang pohon yang rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada diantaranya yang berbaring-baring diatas helaian anyaman daun-daun nyiur tua.
Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah “Jadi Sidanti itu tidak kalian tangkap?”
Widura terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Dengan ragu-ragu Widura menjawab “Tidak Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena gurunya tiba-tiba datang melindunginya”
“Ki Tambak Wedi?” bertanya Untara
Widura mengangguk “Ya” sahutnya. “Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa orang yang harus aku korbankan?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana dengan lukamu?” bertanya Widura
“Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali”
“Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya kembali “Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab Widura “Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru”
Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik. Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam didalam hatinya. Kepada dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu sendiri. Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir menggeleng lemah. “Mudah-mudahan mereka segera dapat ditangkap” desah Untara
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? meskipun demikian Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir. Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula diantara mereka.
Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Gardu penjagaanpun masih juga diperkuat. Beberapa pengawas berkuda hilir mudik disekitar daerah kademangan Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. Hampir setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar dari rumah mereka. Bahkan ada diantaranya yang masih belum berani pulang kerumah sendiri. mereka masih saja tinggal dikademangan atau banjar desa.
Ki Tanu Metirpun kemudian tidak hanya megobati Untara, tetapi iapun pergi juga kebanjar desa. Dan dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka.
Bukan saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih menyusun kekuatannya disekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan bahwa laskar Pajanglah yang harus mengambil prakarsa memebersihkan mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung. Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan mereka disarang-sarang mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas selesai.

Api di Bukit Menoreh 39


Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Ya, aku terluka”. Kemudian desisnya “Sedayu. Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta –merta ia melangkah lebih mendekati kakaknya sambil berdesis “Ya kakang, katakanlah siapa yang telah melukai kakang?”
Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu. Namun semuanya tertarik pula. karena itu, maka semua yang hadir disitu bergeser mendekat.
Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
“Jangan ngger” berkata Ki Tanu Metir “Jangan dipaksa”
“Hem” Agung Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu menjadi lebih kuat.
Diluar, kabut yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi semakin ramai bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat kehitaman yang kelam diantara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka menyadari bahwa sebentar lagi, fajar telah menjenguk digaris kaki langit.
Kini mereka tidak dapat berdiri saja diseputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu Untara yang terluka itu.
“Silakan paman” berkata Agung Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri.
Telah lama Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini datang. karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan kepadasan “Ki Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ketempat ini sebelumnya?”Ki Tanu Metir menggeleng “Belum ngger”
Widura tersenyum. katanya “Baru kali ini?”
“Ya” sahut orang tua itu
“Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?”
“Juga belum”
“Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng “Belum ngger. Baru kali ini aku mengenal angger Widura”
Sekali lagi Widura tersenyum “Mungkin Kiai benar”
Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka matanya kembali.
Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara.
Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil berbisik “Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah melukai kakang?”
Untara menarik nafas panjang. Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya “Tanganku masih lemah sekali” desisnya.
“Jangan bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara mengangguk kecil. “Dimana paman Widura?”
“baru sesuci kakang” sahut Agung Sedayu.
“Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku”
“Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak”
“Dimana pamanmu?”
“Biarlah nanti aku sampaikan”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata “Agung Sedayu. Sebenarnya aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada diantara kita masing-masing yang berada ditempat ini untuk kepentingan yang lebih besar. Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku. Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya bersama paman Widura”
“Ya kakang”sahut Agung Sedayu tidak sabar “Aku siap berbuat”
“Jangan orang itu mendapat kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung”
“Ya kakang, tetapi siapakah itu?”
“Dimanakah pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya”
“Ya. Memang harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka ada kemungkinan ia segera akan kembali”
“Ya, ya” sahut Agung Sedayu tidak sabar.
“Anak itu adalah Sidanti”
“He?” alangkah terperanjat Agung Sedayu “Sidanti” ulangnya “Bagaimana mungkin? Bukankah ia berada disayap yang lain?”
“Sayap itu telah bergabung dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku. Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha Besar. Aku ternyata diselamatkan olehNya dengan lantaran Ki Tanu Metir”
Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya nafas kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya “Aku akan beristirahat. Katakanlah hal ini kepada paman Widura”
Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis “Aku masih terlalu lemah. Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”
“Tidurlah kakang” jawab Agung Sedayu “Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti”
“Jangan seorang diri” desis Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi, namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya.
Karena itu, maka demikian kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan. Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah diletakkannya disamping pembaringan kakaknya itu.
Dipendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti. Namun disudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang. Karena itu dengan berlari-lari ia turun kehalaman dan langsung dicarinya dibelakang rumah.
Namun dibelakang rumah itupun tak ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat disitu. Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu, dengan serta-merta ia bertanya “Mirah, kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah “kenapa tidak mencari aku?”
“Aku tergesa-gesa Mirah”
“apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti disini? Barangkali kau tahu kemana ia pergi?”
Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum. bahkan kemudian ia melangkah keluar “Biarlah Sidanti pergi menurut kehendaknya sendiri. apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku berkepentingan”
“Aku tidak”
“Mirah” Agung Sedayu menjadi jengkel karenanya “Aku sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. karena itu, maka itak tidak mau bergurau lagi. Jawabnya “Mungkin kesungai, mungkin ke prapatan”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah kepentingan Sidanti keprapatan> yang paling mungkin baginya adalah pergi kekali disebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering dimusim kemarau.
Agung Sedayu itupun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, tempat beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat itu masih terlalu pagi. Belum ada seorangpun yang pergi kesana, selain Agung Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu.
Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya anak muda yang sedang terluka itu tidur. karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali, diatas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih hangat-hangat kuku.
“Dimanakah Sedayu?” desis Widura.
“Ya, dimana angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula mereka menyangka bahwa anak muda itu sedang sesuci dibelakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti. karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama dengan Ki Tanu Metir.
Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya. Dirabanya dada anak itu sambil bergumam “Pernafasannya menjadi bertambah baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan berkunang-kunang”
“Mudah-mudahan” sahut Widura.
“Mulai besok, angger Untara harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti. karena itu, maka katanya “Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh Sidanti?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
“Bagaimana?” desak Widura pula.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang. Dan akhirnya menjawab “Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu” sahut Widura heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat dari Sidanti yang diletakkannya disamping kaku pembaringan Untara. Sekali lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini sangat berbahaya ngger”
“Kenapa?” bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang kedaun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. karena itu, maka ia mendesaknya “Kenapa obat itu sangat berbahaya Kiai?”
Ki Tanu Metir berpaling kearah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam “Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat mempengaruhi peredaran darah”
“He?” Widura terkejut mendengar keterangan itu.
“Warangan ini” berkata Ki Tanu Metir “Akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah angger Untara akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya”
“Jadi….” Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap maksudnya. karena itu, maka ia menyahut “Ya. Ternyata angger Untara benar-benar akan dibunuhnya”
Terasa keringat dingin mengalir ditubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya pula. sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata “Kalau begitu, maka luka Untara itupun pasti dibuat oleh Sidanti”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya “Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali”
Tubuh Widura itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk berbuat hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri. membunuhnya untuk segera dapat menempati kedudukannya.
Widura itupun menjadi marah bukan buatan. karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan disangkutkan dipinggangnya.
“Akan kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok aku dan lusa Agung Sedayu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun iapun berdiri juga. Widura yang telah siap untuk berbuat apapun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya anak itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya “Dugaan Ki Tanu Metir dan paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah mengatakan kepada Agung Sedayu”
“He” kembali Widura terkejut “Dimana Sedayu sekarang?”
“Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura”
Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan dihati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak yang tersekat didalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya, sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak.
karena itu, maka Widura pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata “Baiklah aku temui anak itu”
Untara tidak mengerutkan keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metirlah kemudian yang menungguinya sambil duduk ditasa tikar disamping pembaringannya.
Widura yang menahan kemarahan didalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Diluar malam telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan dihalaman semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung Sedayu dan Sidanti dihalaman itu. karena itu, maka segera ia menjadi cemas.
Beberapa orang yang melihat Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya didalam hati. Widura itu dikademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa. Namun kini pedang itu tergantung dilambungnya.
“Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tudak tergantung dipinggangnya” sahut yang lain.
“Entahlah” gumam orang yang pertama.
Sementara itu Agung Sedayu yang berlari-lari kekali diujung halaman dengan gelora kemarahan yang menyala didadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia melihat dua sosok tubuh berjalan kearahnya. Namun tiba-tiba sesosok diantaranya segera lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu itu tidak sempat berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang kemudian bersembunyi. Namun yang ada didalam dadanya adalah kemarahan yang menyala-nyala.
Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak “Kau tlah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya”
Sidanti terkejut. Jawabnya “Siapa bilang?”
“Untara sendiri”
“Omong kosong. Untara belum sadar”
“Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang”
Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa “Bagus” katanya “Aku yang berusaha membunuh Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu”
Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti benar-benar terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. karena itu, maka ia tidak segera dapat mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung Sedayu.
Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang membara didalam dirinya. karena itu, maka kekuatannyapun seakan-akan bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat antara keduanya,
Benturan kekuatan antara Agung Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti yang tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting diatas tanah,
Namun me mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap kembali untuk mempertahankan diri masing-masing.
Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali. Serangannya langsung mengarah ketitik-titik yang berbahaya pada tubuh Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap persoalan, maka dendam yang tersimpan dihati masing-masing itu kini seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka kini aia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung Sedayu. karena itu, maka kesempatan ini harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti tidak dapat mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang keadaannya. karena itu, maka Agung Sedayu itupun harus mati. Kalau Agung Sedayu sudah mati disini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau demikian maka Untara itupun pasti akan mati. Tetapi kalau tidak? Kalau rencana itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir. Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-orang lain yang akan menuntunya? “Hem” sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan tangannya meskipun ua berusaha untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya, tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah. karena itu, maka apapun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar.
Sedangkan Agung Sedayupun telah menyimpan dendam yang membara didalam dirinya. Sejak ia hadir di Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah menyebabkan pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi seorang tawanan yang dikurung didalam pringgitan. Anak muda ini pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh kakaknya itu. karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah kepadanya. Kepada Sidanti.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi seru sekali. Masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak sekali mempunyai pertimbangan dikepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku.
Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun persiapan-persiapan didalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untk menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti atas Agung Sedayu. karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, Agung Sedayupun memiliki keadaan yang tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan menahan gelora yang menyala didadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun setiap gejolak didalam jiwanya selalu disekapnya didalam hati. Kemudian setelah ia berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan dahsyatnya.
karena itu, maka tandangnyapun menjadi tidak menentu. Ia telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan setiap geraknya. Hanya satu yang ada didalam hatinya, membinasakan Sidanti.
Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam perkelahianpun Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali diluar dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan sedang berusaha bersantap dengan dagingnya.
karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya pula. dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan kembali serangannya datang membadai.
Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali. karena itu, maka segera ia menyesuaikandiri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat kemudian Sidanti itupun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar dari Agung Sedayu.
Dengan demikian maka perkelahian itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian diantara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan. Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan pengerahan tenaga.
Namun dalam perkelahian yang demikian itupun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras, telah memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh Agung Sedayu.
Tetapi Sidanti itupun menjadi heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan segenap tenaganya, dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting, demikian ia bangun kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak pernah membekas, seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit.
Sebenarnya Agung Sedayu sudah war inguten, ia seolah-olah kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakitpun seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah menjadikannya nggegirisi.
Sidanti benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan? “Omong kosong” katanya dalam hati. Dan geraknyapun semakin dipercepatnya.