Jumat, 25 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 18


Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya.
Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang daripadanya.
Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong aku pula kali ini”
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu “Sidantipun selalu melatih diri bersama gurunya”
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura. Betapapun ia telah berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia berkata lantang “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya”
Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti , katanya “Apakah yang kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata “Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya”
“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”
Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah “Sidanti, aku telah siap mempertahankan keputusanku”
“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti .
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”
Tiba-tiba Widura menggeleng “Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing disini tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak “Lalu apakah gunanya kita bertempur disini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu”
“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya “Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu”
“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya “Bersiaplah”
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya.
Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti alap-alap diudara.
Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan diantara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari kedua senjata itu.
Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong surut dn kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang gemetar. Katanya “Mampus kau kakang Widura”
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah nafasnya ”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu”
“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”
“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”
Widura menggeleng “Tidak” jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu “Selamat datang guru”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu “Selamat datang Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab “Hem, selamat Widura”
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal didaerah sebelah timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores diwajah itu.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja didalam dadanya “Ternyata kau mampu menyamai muridku”
Widura mangguk kecil. Jawabnya “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”
“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan karenanya”
Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian katanya “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan Sidanti sudah dilepaskan”
Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu?”
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata “Kau adalah anak tangga yang pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada Sidanti”
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya “Jangan berkeras kepala Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”
Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya disini karena aku takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang”
Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram “Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab “Benar Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan dapat aku penuhi”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku”
“Terserahlah kepada Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya “Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”
“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari”Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya. (bersambung)

Api di Bukit Menoreh 17

Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan menyulitkannya.
Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”
Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan Sidanti itu kakang?”
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak apa-apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu”
“Tenaganya kita perlukan disini” sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya? Karena itu ia bertanya “Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”
“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Jangan. Dengan demikian dendam diantara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula “Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena perempuan”
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara, mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.
“Silakan kakang” sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih “Marilah bapak Demang”
“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita masih sempat ditanami”
“Oh “ sahut Widura sambil duduk pula “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal”
“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku”
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”
“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat, kalau adi menyetujui”
“Bagaimana?”
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”
“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya”
Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat”
Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi ketika pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada ditempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali kepringgitan. Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu “Kau tinggal dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia bertanya “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah keluar. Katanya dalam hati “Biarlah anak itu aku tunggu diregol halaman”
Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan apapun alasannya”
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya “Dimanakah kakang Widura?”
“Diluar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya “Kakang Widura tidak disini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata “Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri”
Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab “Demikianlah”
“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula “Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu “Sidanti, aku menunggumu disini”
“Oh” sahut Sidanti “Aku sedang mencari kakang”
“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram “Baik kakang Widura”. Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum “Terima kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu”
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding diatas pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura “Marilah kakang”
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia berkata “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”
“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya “Aneh”
“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang dibawanya”
“Akupun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula. “Siang tadi aku melihat Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka”
Semua orang berpaling kepadanya “apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya
“Terlalu kabur” jawab Sendawa “Tetapi prasangka yang jelek”
Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu meneruskan “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”
“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan diantara kita”
Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa disengajanya ia bergumam “Anak muda itu benar-benar anak setan”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa
“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti”
“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu”
“Kau bersetuju dulu dengan mereka”
“Bagus” Sendawa berhenti sebentar “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”
Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali kependapa diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan nyenyaknya mendengkur disamping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman, mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau mendapat giliran”
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya “Baik kakang. Kemana kita akan pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan disampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah.
Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya “Kita berhenti disini kakang”
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak disekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura berkata “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”
Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya “Aku ingin minta ijin itu kakang”
“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”
“Ya”
“Sudah aku jawab”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Kakang tidak berhak melarang”
“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu”
“Nah” sahut Sidanti “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya “Terserah atas penilaiannmu Sidanti”
“Apakah bukan sebenarnya demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan didalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula didalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”
“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya “Apakah aku salah duga?”
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya “Jawab”
“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata “Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata “Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan bersama”
Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya “Aku akan memaksakan kehendakku”
“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”
Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata “Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan selalu terjadi”
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata “Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti lantang “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung”
“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.
“Omong kosong!” bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata “Sekarang bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”
“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata “Aku akan mulai kakang”
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah” (bersambung)

Kamis, 24 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 16


Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum “Marilah kakang Sidanti”
Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata “Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang “Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata “apakah kepadamu aku harus memberi peringatan?”
Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora didadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran. “Jangan lekas marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya.
“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian”
Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang menjawab lantang “Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apapun dihalaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayupun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata “Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya “Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini halamanku”
Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya “Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan”
Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi dihadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab “Sidanti. Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”
“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati?
Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah.
Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapapun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapapun juga, selain laskar Tohpati”
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring disudut rumah “Siapa yang ribut?”
Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya Sekar Mirah.
“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya“ jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan “Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus “Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”
Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh “Jangan hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi”
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah “Kau setan, Sidanti”
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati “Celaka. Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan imbul pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu “Apa yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-katanya Swandaru “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas”
Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah “Berdirilah Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus “Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya “Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada tengadah “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun menjadi berdebar-debar pula. Katanya “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi diantara anak buahku sendiri”
“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan kakang disini”
Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya “Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata “Ada hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini”
Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri disamping Citra Gati berbisik “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”
Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang disekitar Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata “Aku perintahkan kalian kembali kependapa”
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini”
“Kau dengar perintahku” ulang Widura.
Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata “Sidanti, aku perintahkan kau kembali kependapa”
“Aku disini” jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang “Sidanti, untuk terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa”
Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya” katanya didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa.
Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya “Kembali kependapa”
Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu “Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya didalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”
Swandaru tersenyum meskipun masam “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda disini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu” sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram didalam hatinya “Awas Sidanti, suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”
Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya menjadi berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula “Bukankah aku pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan gadis itu”
“Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh didalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana “Atau ke Banyu Asri?” kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk disamping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak ditempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya “Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini.”
“Berkatalah sekarang” sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah. Diregolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.
“Baiklah kakang” berkata Sidanti “Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku”
Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus “Aku bersedia memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya “Tidak. Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus “Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan laskar Jipang”
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas “Tidak. Perkelahian diantara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan “Kakang, apakah sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata “Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman”
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya “Hem, kakang Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”
Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata “Aku mempunyai kekuasaan disini Sidanti”
Sidanti masih tersenyum. Katanya “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Maka katanya “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata “Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang melihat”
“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya “Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan kependapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak ditangan.
“Apapun yang terjadi” katanya didalam hati “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan”
“Tetapi” terdengar pula suara yang lain “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri “Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”
Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya “Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami” (bersambung)

Api di Bukit Menoreh 15

Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga disepanjang jalan pulang, Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu sendang mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya dipringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya “Mirah” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung” jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya”
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu dengan Sedayu dijalan, dan aku antarkan ia kewarung diujung desa”
Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya”
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang “Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja kebelakang rumah dan lenyap dibalik pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda itupun tak pernah menyakiti hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.
“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya.
“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.
“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk dimuka api.
“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak menyenangkan mereka”
“Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak dihadapanku”
Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya “Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab “Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini”
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang membentaknya “Kau baru datang Mirah?”
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. “He, kau baru datang?” desak kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang ditangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang. “Mirah” katanya “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu”
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi kebiliknya.
“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya “Tidak panas Mirah”
Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri didalam biliknya. Pesannya “Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi.
Demikian lah kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat pertanyaannya “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka karenanya.”
Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga dihatinya, setiap kali ai melihat perkelahian, timbul juga kata-kata dihatinya “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”. Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini Widura.
“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?”
Sedayu mengangguk. “Pernah” jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untarapun pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”
“Aneh. Aneh” gumam Widura.
“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu.
“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya keneraka ini?
“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau simpan didalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun”.
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi. “Hem” Sedayu menarik nafas. Katanya didalam hati “Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin.
Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, iapun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
“Suatu ketika” katanya didalam hati “Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri”
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun berusaha untuk mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
“Luar biasa” desis pamannya. “Kekuatanmupun luar biasa”
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya “Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”
“He” pamannya mengerutkan keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.
“Membelah kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”
“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan diatas tangan dengan kaki diatas. Kemudian bermain-main dengan pasir ditepian”
“Permainan apakah itu?”
“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”
“Oh” Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh “Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memeberinya bekal”
Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya “Selamat malam Kiai”
“Oh” jawabnya “Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya “Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba mempercepat latihan-latihanku”
Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian “Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”
“Bagus” sahut Widura. “Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya. “Luar biasa” katanya nyaring “Seranganmu bertambah cepat”
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata “Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”
Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan perkelahian itu dengan tekad “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku”
Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir diantara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak didadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Sidanti. “Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”
Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap didalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk dihalaman bersama dengan Agung Sedayu.
Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi mencarinya.
Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.
“Sedayu” berkata pamannya kepada kemenakannya itu “Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu disini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau berani menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran disana-sini”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apapun yag akan terjadi. Bukankah ia mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya dipringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Kebelakang, kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding dibelakang rumah “Dari manakah tuan?”
“Dari sumur Mirah”
“Ah” jawab gadis itu “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu”
“Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itupun bukan. Aku disini seorang diri”
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya “Tuan seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”
Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya “Jangan memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.”
“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?”
“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun dihatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan “Apalagi seorang diri. Sepasukanpun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya jauh-jauh disudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. “Lain kali Mirah”
“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu menggeleng kembali. “Lain kali saja Mirah”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan?
Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti. (bersambung)