Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang telanjang ditangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman>” ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar diantara rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata “Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itupun terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat kelain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi dilangit yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap didalam genggamannya. Jawabnya “Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu didalam hatinya “Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali ditempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa dilangit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah diantara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu.
Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat ditangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat dihalaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu.
Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir didalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya “kte itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya “He, orang yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya “Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram didaerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing “Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupkupun akan terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi “Dan didaerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa diantara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing “Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai keujung juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka.
Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu.
Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti disekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata “He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka dimuka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya “Selama aku masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir “Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata “Agung Sedayu, mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu, maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah “Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan disamping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa “Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya “aku berhenti di beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut “Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata “adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab “Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab “Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu “Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata “Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap orang yang bertugas diregol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalan-jalan dimalam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik kependapa, maka ia ikut juga dibelakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, disamping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berkata “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya “Begitu bukan angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”
Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman>” ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar diantara rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata “Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itupun terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat kelain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi dilangit yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap didalam genggamannya. Jawabnya “Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu didalam hatinya “Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali ditempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa dilangit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah diantara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu.
Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat ditangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat dihalaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu.
Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir didalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya “kte itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya “He, orang yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya “Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram didaerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing “Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupkupun akan terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi “Dan didaerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa diantara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing “Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai keujung juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka.
Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu.
Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti disekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata “He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka dimuka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya “Selama aku masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir “Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata “Agung Sedayu, mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu, maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah “Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan disamping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa “Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya “aku berhenti di beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut “Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata “adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab “Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab “Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu “Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata “Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap orang yang bertugas diregol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalan-jalan dimalam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik kependapa, maka ia ikut juga dibelakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, disamping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berkata “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya “Begitu bukan angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”