Selasa, 20 Mei 2008

Api di Bukit Menoreh 45

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti dihalaman ini, disamping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah berjanji untuk menjadikannya seorang murid.
“Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya.
Agung Sedayu itu kemudian berpaling ketika ia mendengar gerit senggot diatas sumur. Dilihatnya seorang gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir. Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah segar dalam siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main ditubuhnya. Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek didalam biliknya tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu tersenyum kepadanya “biarlah aku membantumu”
“Jangan Tuan” sahut Sekar Mirah “Biarlah aku mengambil air sendiri.”
Panggilan itu terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar sebutan itu. Karena itu, maka katanya “Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita yang menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi diperkenankan bersikap terlalu hormat”.
Sekar Mirah menundukkan wajahnya. Dilihatnya bayangannya didalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap ketika upihnya menyentuh permukaan air itu.
“Bagaimana aku harus menyebut tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.
“Bertanyalah pada Swandaru.” sahut Agung Sedayu “Bagaimana ia menyebut aku sekarang.”
“Ah” Sekar Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya keatas. Dan dituangkannya air dari takir upih sebesar bejana itu kedalam kelentingnya.
“Marilah, aku ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu.
“Jangan tuan” jawab Sekar Mirah
“Jangan panggil demikian”
“Bagaimana?”
“Bertanyalah pada kakakmu”
“Baik, aku akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan kakang Swandaru. Bukankah sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya “Kenapa bukan orang lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”
“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti baru sekali dilihatnya.
Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian “Tuan, apakah yang aneh padaku?”
“Oh” wajah Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata “Tak ada. Tak ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air”
“Tak usah” sahut Sekar Mirah
Agung Sedayu tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan kemudian menjinjingnya pada lambungnya.
“Berat?” bertanya Agung Sedayu
Sekar Mirah menggeleng lemah “Tidak” jawabnya “Aku sudah biasa mengambil air”
Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat, lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
“Gadis yang keras hati” desah Agung Sedayu.
Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang melawan musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Didesaknya pemuda itu untuk menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan datang.
Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. ia adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya sendiri. Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat yang tersimpan dihatinya menjadi semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan dilangit. Namun dirinya sendiri tidak pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti didaerah lereng gunung Merapi. Pertemuan diantara merekalah yang sebenarnya telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata merupakan bahaya yang membayang dibalik punggung.
Tetapi ternyata Sekar Mirah itupun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik.
Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya.
Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar seorang yang berjuang dengan tulus.
“Ia adalah kemenakan paman Widura” berkata Sekar Mirah didalam hatinya “Sehingga karena itu maka ia tidak akan berani berbuat diluar kehendak pamannya itu”
Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding dilapangan, antara Sidanti dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan ditangannya. Ia melihat anak muda itu dengan penuh tekad menentang setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya kedalam satu pertimbangan yang kacau.
Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang, maka masa-masa yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinyapun bagi Sidanti, pasti hanya akan dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti.
Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya. Ia mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian diantara Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti tidak akan memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena itulah maka Swandarupun menjadi terlibat pula kedalamnya.
Sekar Mirah yang kemudian bekerja didapur itupun tidak dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Dihari-hari yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan dihalaman. Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala didada Sedayu itu sedahsyat api yang menyala didada Sidanti?
Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apa-apa. seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang mengawasi keadaan. Dan warung diujung desa masih juga ramai dikunjungi para pembeli dan penjual yang tidak berani pergi ketempat yang lebih jauh.
Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun kehalaman dan melihat laskar Pajang melakukan tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai manusia.
Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban “Aku beranak sebelas tuan”
“Sebelas” Untara terkejut “Dimana sekarang mereka tinggal?”
“Pengging”
“Kau berasal dari Pengging?”
“Ya” jawab orang itu.
Untara meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya menunggunya dirumah. Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
“Hem” Untara menggeram. Katanya dalam hati “Persoalan Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun”
Tetapi Untara harus menunggu punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh hanya menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk dijantung pertahanan dan tempat persembunyian mereka.
Adapun Agung Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki Tanu Metir sendiri itupun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah sebenarnya ia seorang dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru? namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu itu kelak.
Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir membawa mereka kesungai yang agak jauh dari Sangkal Putung. Disanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan petunjuj-petunjuk itu dan mencoba mengertinya.
Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak daripada harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal yang penting untuk masa depannya.
Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.
“Anak-anakku” berkata Ki Tanu Metir “Apa yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu tidak selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya akan dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sedang Swandaru memandangi percikan-percikan air yang mengalir dibawah batu-batu tempat duduk mereka.
“Hari ini adalah hari yang pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu “Dan dihari pertama kalian harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik. Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat kalian pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah ada didalam dirimu. Kasih sayang diantara sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan Swandaru masih saja memandangi percikan air dibawah tempat duduk mereka.
“Apakah kalian mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
“Bagus” berkata Ki Tanu Metir kemudian “Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada seorangpun didunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali inipun Swandaru mengangguk-angguk pula.
“Nah, kita kembali kekademangan” berkata Ki Tanu Metir
Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar lagi. Sidanti dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat mencapai ilmu yang diharapkannya?
Ki Tanu Metirpun meihat perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itupun bertanya “Kenapa ngger?”
Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya “Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?”
“Ya”
“Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”
Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh itu.
“Swandaru” berkata Ki Tanu Metir “Lebih baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang. Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar kesegenap sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hati. Hari ini kau dapat berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi”
“Baik Kiai” jawab Swandaru “Aku sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain untuk melawannya”
Ki Tanu Metir terkejut mendengar kata-kata itu. Namun kemudian iapun tersenyum. Jawabnya “Angger, ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih. Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan waktu yang lama?”
Alangkah kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja diterik matahari, sesudah itu pulang kembali kekademangan. Bukankah dengan demikian mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya.
Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, iapun segera berdiri pula.
Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi, katanya “Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan segera dapat menyusul Sidanti itu”
“Ya Kiai” sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat apa-apa dihari pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.
Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula “Marilah kita pulang”
“Marilah Kiai” sahut Swandaru kosong.
Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ketengah sungai sambil mengajak mereka “Mari ikuti aku”
Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia malahan pergi ketengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti semula.
Tetapi Agung Sedayu segera mengerti maksud orang tua itu. Iapun kemudian mengikutinya meloncat dari batu kebatu menyusul Ki Tanu Metir.
“Bukankah sungai ini nanti akan sampai dipinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya” jawab Swandaru yang berdiri ditepian.
“Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai”
“Ah” desah Swandaru “Aku lebih senang menyusur tanggul ini”
Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayupun tersenyum pula. agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud gurunya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata “Swandaru, mari kita bermain kejar-kejaran diatas batu-batu ini”
Swandaru menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa “Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari batu kebatu. Marilah”
Kembali Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati “Akh, apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang”
Tetapi dengan demikian Agung Sedayupun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun terpaksa berkata “Swandaru, kau ikut berlatih atau tidak?”
Swandaru terkejut. “Berlatih?” ulangnya “Berlatih apa?”
“Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan”
“Oh” Swandaru itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat dari satu batu kebatu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air sedikitpun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerakpun tidak.
Sesaat Swandaru terpaku ditempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang sedang menari. Dibelakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu meloncat pula dari batu kebatu. Namun tampaklah betapa ia masih harus memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya.
Tiba-tiba Swandaru itupun tertawa. digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam “Alangkah bodohnya aku. Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu”
Maka dengan serta-merta Swandaru itupun berteriak “Tunggu, aku ikut serta”
Ki Tanu Metir itupun segera berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan dilihatnya Swandaru Geni meloncat keatas sebuah batu yang besar. Tubuhnya yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri diatas batu itu. Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa sambil berkata “Tunggulah, aku akan segera sampai ketempatmu kakang Sedayu”
Swandaru itupun segera mulai dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu kebatu yang lain. Dicobanya juga meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan pada batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk kedalam air.
“Gila” gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari dalam air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri diatas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata “Bukan apa-apa. kau hanya jatuh kedalam air”
“Ya, tidak apa-apa” sahut Swandaru kesal.
Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata “Ulangi. Ulangi sekali lagi”
“Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh kedalam air?”
“Tidak” jawab Ki Tanu Metir “Latihan ini adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka angger harus dapat melakukannya.”
Swandaru bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali lagi meloncat kejurusan Agung Sedayu. Namun kali inipun Swandaru masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh bulat-bulat kedalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak diatas kakinya, meskipun didalam air juga.
“Bukan main” Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.
Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan hati-hati ia meloncat dari satu batu kebatu berikutnya. Dan ketika ia meloncat kebatu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya keseimbangan tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam pemusatan perhatian yang bulat.
Swandaru menarik nafas panjang ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi “Mungkin karena aku telah melakukannya tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.
Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata “Marilah, teruskan perjalanan ini sampai keujung desa Sangkal Putung”
Agung Sedayupun kemudian berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali, dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itupun bergerak sedikit kesamping, dan kini Agung Sedayulah yang terbanting dipermukaan air. Swandaru terkejut, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak “Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. Kakangpun harus mandi pula”
Ki Tanu Metirpun berhenti pula. dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya, bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
“Hem” desis Swandaru “Memang segar kakang, mandi dengan segenap pakaiannya”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya “Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru”
“He” Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak seberapa deras.
“Ah” katanya dalam hati “Bagaimana mungkin”
Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus dibetulkannya.Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang tegang ditatapnya batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu. Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya yang lain segera meloncat kebatu yang lain pula

Tidak ada komentar: