Selasa, 29 Januari 2019

RIWAYAT API DI BUKIT MENOREH



Tulisan ini bukan mengulas tentang isi maupun maksud tujuan SH Mintardja membuat cerita panjang mengenai tokoh-tokoh fiksi yang dikisahkan hidup di awal berdirinya kerajaan Mataram Islam. Ini hanya tentang bagaimana awalnya saya mengenal, tertarik, mengoleksi dan merawat buku seri ADBM sejak beberapa puluh tahun yang lampau.

Berawal tertarik membacanya mulai seri II jilid 20an saat SD, diakhir tahun 1970an, karena penasaran buku cerita macam apa yang bapak saya (alm) beli setiap bulan di kios koran majalah depan bioskop Majestic, Kebayoran Baru. Dan dari situlah ketertarikan saya akan karakter tokoh Agung Sedayu bermula. Dan sejak saat itu pula ganti saya yang membelikannya, karena letak sekolah berada tak jauh di belakang pasar Mayestik. Saat itu harganya Rp 200,- lho. Oya bersamaan ADBM, juga ada seri Hiljaunya lembah, Nagasasra Sabuk Inten edisi 2 yang 160 halaman per jilidnya, yang pastinya ikut dibeli juga.

Sayangnya, saya hanya dapat cerita lisan saja dari bapak mengenai awal mula cerita seri I, karena buku yg tersimpan justru dimulai sejak seri II jilid belasan. Tapi ternyata jalan cerita 'mengejar' ADBM ini berubah.

Menginjak SMP yang jaraknya menjauh, setiap berangkat dan pulang saya musti transit pindah bis di blok M. Di bulan-bulan awal, saya selalu mampir ke Masyestik dulu untuk 'belanja bulanan' :}. Lumayan merepotkan memang, dan menambah lapar dahaga..... Suatu kali pulang sekolah saya sempatkan berkeliling pasar blok M, dan ketemulah lapak koran majalah yang menjual ADBM juga. Terletak agak tersembunyi dibawah tangga naik pasar lantai 2, persis sebelah Aldiron Plaza. Dan ternyata, kios itu juga menjual buku-buku lama, termasuk ADM seri I komplit, dibundel @5 jilid kondisi baik sekali. Pucuk dicinta ulam tiba hehehehe.

Tanpa bertele-tele, sesampainya dirumah langsung saya ceritakan ke bapak dengan berapi-api. Tapi entah mengapa, beliau tidak antusias mendengarnya. Dan benar saja, sampai beberapa bulan saya merayu tanpa hasil hiks. Mungkin karena harganya yg memang dihargai mahal untuk ukuran harga buku bekas saat itu. Saya pantang menyerah. Saya berupaya menjadi 'anak teladan' dirumah. Dan akhirnya bapakpun luluh dan berkenan membelikannya. Terima kasih ya pak.

Memang sih, sudah banyak buku cerita yang saya beli selama itu, mulai dari seri wayang lengkap karya RA Kosasih, Mahabharata sampai dengan Prabu Udayana, Bangbang Wisanggeni, Wayang Purwa, Ramayana dan lain-lain. Juga Komik-komik Godam, Gundala, serta karya-karya Enid Blyton, dan komik seri Album Cerita Ternama terbitan Gramedia. Di tahun-tahun berikutnya juga seri Tintin maupun Lucky Luke

Kembali ke ADBM, saya masih ingat betul, setiap beberapa bulan sekali terbitnya mundur beberapa hari, kadang sampai seminggu lebih. Kalau kata lapak penjualnya sih, selalu penulisnya sakit....entahlah.... Dan seingat saya, saat itu menyebalkan sekali hahahahaha

Sejak itu, tanpa terputus saya lanjutkan mengoleksi ADBM nya. Masa SMA, kuliah dan bekerja. Hingga terakhir jilid 396 di tahun 2001. Namun, sempat beberapa jilid raib tercecer entah kemana, sekitar 10 jilid. Selama periode 90an akhir, saya berburu untuk melngkapinya ke beberapa daerah. Untuk di blok M tempat langganan itu sudah tutup. Ngubek-ngubek di pasar Senen dapat beberapa jilid saja. Bahkan sampai ke pasar Johar Semarang. Meskipun nihil, tapi saya titipkan uang untuk dicarikan jilid-jilid tersebut plus ongkirnya. Sayang, tidak sampai sebulan kemudian, bagian pasar lapak buku tersebut terbakar... Ya sudah saya ikhlaskan saja. Dan bahkan saya pernah datangi kantor KR di Yogyakarta, malah mereka bingung kenap masih cari jilid yang lawas.....

Barulah di awal milenial kedua hampir bersamaan dengan jilid terakhir, saya berhasil melengkapi jilid 1 sampai 396 lengkap, terakhir dapat di toko buku loak dibawah tangga penyeberangan pasar Jatinegara. Langsung saya jilid hard cover semuanya. Termasuk seri I yang sudah kondisi terjilid, saya jilid ulang menjadi lebih rapi dan luks. Saat itu, informasi belum semudah didapat seperti sekarang. Mencari toko buku loak, atau toko rental buku hanya berdasar informasi dari mulut ke mulut. Wajarlah membutuhkan waktu lama dan upaya yang lebih. Tapi, disitulah kepuasan batin tak terkira berhasil mengoleksi lengkap ADBM series ini.

Saatnya masuk era internet, sampai tahun 2007 saya browsing ADBM sama sekali tidak ada. Padahal saat itu Nagasasra Sabukinten sudah tersedia. Khawatir akan usia kertas stensil yang dipakai sebagai bahan buku ADBM mudah sekali rusak/hancur, diambah lagi resiko hilang atau rusak terbakar maupun kebanjiran yang bisa memusnahkan selamanya, di bulan November 2007 mulailah saya coba digitalisasi dan posting di internet, di www.cersiljawa.blogspot.com dengan cara ketik ulang. Sedikit demi sedikit. 

Tak dinyana, setelah beberapa minggu, banyak yang komentar antusias mengikutinya. Namun apa daya, setelah beberapa puluh postingan, seri I jilid 10, terhenti kehabisan semangat. Saat itu, sudah ada teknologi OCR yang bisa membaca teks dan diubah menjadi digital. Yang juga disarankan teman-teman pembaca yang rajin mengikuti postingan. Tetapi kendalanya adalah semua buku sudah dalam keadaan terjilid, sangat sulit memroses scanningnya. Bisa saja sih dibongkar dulu dan nantinya dijilid ulang. Tapi tidak tega melakukannya, apalagi untuk seri I, dimana kertasnya sudah sedemikian rapuh.

Untunglah, teman-teman dengan semangat membara melanjutkan kerja besar mendigitalisasi dan menyebarkan virus ADBM melalui www.adbmcadangan.wordpress.com. Mulai dari pembagian rontal dan scanning, editing, posting, sampai penataan 'padepokan' sampai jadi seperti saat ini dan tuntas... Kagum dan hormat untuk seluruh cantrik mentrik yang sudah berjuang membangun padepokan tersebut. 

Dan saat ini, sudah banyak web yang menyediakan seri ADBM ini, meskipun bisa dikata hampir seluruhnya mengambil dari padepokan ini. Dengan demikian, semoga maha karya ini bisa bertahan selamanya. Apalagi ternyata, cerita bersambung harian Kedaulatan Rakyat kembali menulis ulang ADBM ini. Apakah mereka masih simpan master copy nomor-nomor awal seri ini? Atau justru bersumber dari padepokan ini? Hehehehehe

Memang, seri ADBM ini tidak tuntas ceritanya karena bapak SH Mintardja sudah mendahului kita sebelum menamatkannya. Tapi ada beberapa penulis yang mencoba meneruskan cerita adi karya ini sampai sekarang. Bahkan ada yang sampai melanjutkannya dengan judul baru.

Senin, 14 Juli 2008

Api di Bukit Menoreh 60

Ketika Tohpati memandang wajah Sanakeling yang samar-samar diterangi oleh cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi menunggu perintahnya. Karena itu maka sambil menganggukkan kepalanya, Tohpati melambaikan tongkat baja putihnya yang mengerikan itu.
Sanakeling tersenyum melihat lambaian tongkat Macan Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik pedangnya. Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak menusuk langit. Dan kemudian dari sela-sela bibirnya yang tebal, terdengarlaj ia meneriakkan aba-aba.
Dalam waktu sekejap, hampir setiap pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian seseorang membunyikan sebuah bende. Suaranya menggema melingkar-lingkar didalam hutan itu.
Ketika Sanakeling mengangkat tangannya untuk kedua kalinya, maka sekali lagi bende itu bergema, suaranya memukul-mukul batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir setiap tubuh didalam pasukan itu bergerak. Tangan-tangan mereka sekali lagi meraba-raba pakaian mereka, senjata mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka yang lain. Mereka tidak boleh menjadi korban karena kealpaan mereka atas persiapan mereka sendiri.
Sesaat kemudian Sanakeling mengangkat pedangnya untuk yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali, disambut oleh bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Bunyi itu terasa seakan-akan menyentuh sudut hati mereka yang berdiri didalam barisan itu. Sudah lama mereka tidak mendengar bunyi aba-aba dengan cara yang demikian. Sudah lama mereka hanya mendengar aba-aba dari pemimpin-pemimpin mereka yang berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa sesuka hati yang mengucapkannya. Namun kali ini mereka mendengar aba-aba seperti yang selalu didengarnya pada saat Jipang masih tegak. Pada saat mereka masih bernama seorang prajurit Wiratamtama Jipang, dibawah pimpinan adipati yang mereka segani, Arya Penangsang. Seorang adipati muda yang perkasa, dengan seekor kuda bernama Gagak Rimang dan sebilah keris ditangannya. Keris yang sakti tiada taranya, yang dinamainya Setan Kober. Sedemikian saktinya keris itu, sehingga orang menganggapnya, bahwa karena sentuhan keris itu gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering.
Meskipun kali ini mereka tidak bersama dengan adipati itu lagi, namun Macan Kepatihan masih tetap memberi mereka kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada diatas punggung kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang dinamainya Maruta. Kuda yang dapat berlari sekencang angin. Namun meskipun demikian, ketika setiap orang dalam pasukan itu melihat tongkat putihnya yang berkilat-kilat, maka hati mereka menjadi bangga. Seolah-olah merekalah yang menggenggam senjata yang mengerikan itu.
Beberapa orang dari mereka tidak dapat melupakan kenyataan, bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau dapat dilukai oleh senapati Pajang yang ditempatkan di Sangkal Putung, dan bernama Untara. Tetapi mereka menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kecelakaan. Tohpati pasti tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Mertani. Tetapi tidak oleh orang lain. Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu pasti baru melindungi seseorang atau lebih, sehingga dirinya sendiri dikorbankannya.
Apalagi kini, dibawah umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul kebesaran Jipang, dibelakang senapati mereka, Macan Kepatihan, maka laskar Jipang itu merasa, bahwa mereka adalah pasukan yang paling kuat yang pernah terbentuk sejak Jipang runtuh.
Demikianlah, maka setelah bende yang ketiga kalinya itu, pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya. Setiap orang didalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakan-akan mereka telah menggengam kemenangan ditangannya.
Dibawah cahaya obor-obor yang menyala hampir disetiap ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak. Mereka tidak takut lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat cahaya obor-obor itu dari kejauhan. Kini mereka datang dengan dada tengadah, tanpa berusaha mencari kelengahan lawan. Kini mereka datang beradu muka. Mereka datang dalam gelar yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah mendengar perintah, apabila mereka telah sampai didaerah yang luas, maka mereka segera akan membuat gelar yang cukup tanggon, Dirada Meta.
Laskar Jipang itu kemudian menjalar bagaikan seekor ular raksasa yang merayap diantara pohon-pohon liar. Seekor ular naga yang bersisik api. Obor-obor diantara mereka benar-benar seperti sisik yang gemerlapan.
Semua orang didalam pasukan itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat menyambar diudara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur menggelegar dilangit. Ketika mereka memandang kearah timur, tampaklah langit gelap pekat.
Seorang didalam barisan itu bergumam lirih “Diarah timur aku kira hujan turun dengan lebatnya”
Kawannya yang berjalan disampingnya mengangguk. Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya tangannya, katanya “Disinipun hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air telah satu-satu berjatuhan”
”Tetapi angin bertiup kearah timur. Awan yang basah itu akan dihalau pergi”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Perlahan-lahan ular raksasa itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepi hutan. Dan sesaat kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela belukar dan batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan diatas padang perdu yang tidak terlalu luas, diselingi oleh gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang semakin jarang.
Macan Kepatihan yang berjalan diujung pasukan itu berdesir. Didekat tempat inilah ia bersama Sumangkar bertemu dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bahkan kemudian datang pula Kiai Gringsing dan kedua orang yang mungkin sekali adalah murid-muridnya.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba menundukkan wajahnya. seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang dilampaui oleh kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan kanannya, terbuai oleh ayunan lenggangnya. Sekali-sekali tongkat itu tampak gemerlapan karena cahaya obor yang dipantulkannya.
Agak jauh dihadapan mereka, dua orang bersembunyi dengan rapatnya dibalik dedaunan. Ketika mereka melihat iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul lengkap dibagian depan pasukan Jipang.
“Gila” desis salah seorang dari mereka “Mereka benar-benar datang dalam kelengkapan yang sempurna”
Yang lain tidak menjawab. Ketika mulutnya hampir terbuka, tiba-tiba didengarnya lamat-lamat suara aba-aba dari laskar Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang didalam barisan itu bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang sempurna. Macan Kepatihan, senapati yang disegani itu, berdiri diujung gelar itu. Agak jauh disisinya, kedua senapati pengapitnya, siap membayangi setiap perkembangan keadaan. Mereka adalah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Tepatlah tebakan Untara atas gelar yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan itu. Namun sebaliknya. Macan Kepatihanpun dapat memperhitungkan dengan tepat, bahwa Pajang akan mempergunakan gelar yang lebih luas. Sesuai dengan keadaan laskarnya yang bercampur baur dengan laskar Sangkal Putung, maka mereka memerlukan medan yang lebih lebar, supaya tidak terjadi desak-mendesak diatara mereka. Laskar Sangkal Putung itu pasti belum mampu untuk menghadapi keadaan yang serba tiba-tiba seperti lasakar Pajang sendiri. Namun keberanian dan tekad dari orang-orang Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati. Mereka mengamuk seperti orang mabuk, apalagi disampingnya selalu dibayangi oleh kemahiran bertempur orang-orang Pajang, sehingga gabungan diantara mereka, keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman serta kemahiran merupakan kekuatan yang benar-benar ngedab-edabi.
Kedua orang yang bersembunyi itu adalah orang-orang Pajang yang dipasang oleh Untara. Karena itu maka segera mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok kearah kuda-kuda mereka didalam semak-semak. Sesaat kemudian mereka itupun telah meloncat keatas punggung kuda masing-masing dan dengan hati-hati mereka berusaha untuk mencari tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak jauh mereka memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya menuju ke Sangkal Putung
Tohpati dan beberapa pemimpin pasukan Jipang melihat kedua orang berkuda itu. Namun mereka sama sekali tidak berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini disongsong oleh laskar Sangkal Putung dan pasukan Pajang. Pasukan Jipang yang terhimpun dari orang-orang mereka yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup besar untuk menggulung kademangan Sangkal Putung.
Kedua pengawas dari Sangkal Putung itu memacu kudanya seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal Putung dan melaporkan apa yang mereka lihat.
Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan diatas tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat air yang tergenang disana-sini, maka gumam salah seorang adri mereka “Agaknya hujan lebat didaerah ini”
Yang lain menganggukkan kepalanya sambil berkata “Ya, lebat sekali. Bahkan anginpun agaknya terlalu kencang”
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berlari semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi genangan-genangan air dijalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujanpun belum teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka memasuki Sangkal Putung mereka telah menjadi basah kuyup pula. Tetapi hujan sudah jauh berkurang. Air tidak lagi seakan-akan tertumpah dari langit yang retak.
Kedua ekor kuda itu berpacu langsung kekademangan. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika para penjaga regol kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat kebanjar desa.
“Hem” desah salah seorang dari mereka “Marilah kita lekas kebanjar desa itu”
Dan kembali keduanya berpacu. Derap langkah kuda-kuda mereka itu terdengar memecah kesepian jalan-jalan di Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik membasahi kaki penunggang-penunggang kuda itu. Mereka harus segera menemui Untara atau Widura.
Dibanjar desa derap kuda itu disambut dengan hati yang berdebar-debar. Kedua orang itu segera dibawa menghadap Untara dan Widura untuk menyampaikan laporannya tentang laskar Tohpati itu.
Dengan tergesa-gesa kedua orang itu menceritakan apa yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang datang benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang sempurna.
“Hem” Untara menarik nafas dalam-dalam. “Mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran kadipaten Jipang?”
“Ya tuan” jawab kedua orang itu.
Untara terdiam sejenak. Meskipun yang dikatakan oleh kedua pengawasnya itu adalah barang-barang mati, umbul-umbul, rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu langsung atau tidak langsung akan mempunyai pengaruh pada jiwa setiap orang didalam pasukan itu. Tanda-tanda itu akan memberi semangat dan nafsu berjuang. Tanda-tanda itu dapat memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda itu dapat menjadi lambang tekad dari segenap prajurit didalam barisan itu.
Widurapun agaknya mempunyai pendapat yang sama. Karena itu ketika ia melihat Untara termenung, maka gumamnya “Apa kita juga memerlukannya, Untara?”
“Ya paman. Alangkah baiknya kalau kita memiliki benda-benda semacam itu. Kalau tidak, maka sesaat pasukan kita bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa seolah-olah pasukan Jipang itu mempunyai kebesaran melampaui pasukan kita, sehingga mau tidak mau, perasaan yang demikian akan mempengaruhi setiap prajurit didalam pasukan kita. Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih berbesar hati dengan kebesarannya”
“Lalu apakah kita akan memasang umbul-umbul?” bertanya Widura.
“Berapa banyak umbul-umbul yang ada disini?”
“Terlalu sedikit. Dan tidak lebih dari tanda-tanda pasukanku. Sama sekali bukan umbul-umbul kebesaran Pajang, apalagi Demak” sahut Widura “Dan itupun terlalu kecil hampir tidak akan berarti”
Untara kembali termenung. Dan tiba-tiba ia berkata “Tidak apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji kebanggaan pasukan paman Widura. Tetapi adalah paman mempunyai panji-panji Gula Kelapa?”
“GulaKelapa? Mengapa?”
“Panji-panji itu adalah lambang kebesaran Demak. Dan tentu akan merupakan lambang kebesaran Pajang pula”
“Tentu. Didalam pasukanku ada panji-panji itu”
Untara mengangguk-angguk. Kepada Ki Demang Sangkal Putung iapun bertanya “Ada berapa panji-panji Gula Kelapa diseluruh kademangan Sangkal Putung?”
Ki Demang ragu-ragu sejenak. Dengan ragu-ragu pula ia menjawab “Aku tidak tahu ngger. Apakah di Sangkal Putung ada panji-panji semacam itu”
“Tentu paman” jawab Untara “Bukankah Sangkal Putung dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui Pajang dan bukan Jipang?”
Ki Demang itu kembali termangu-mangu. Tiba-tiba ia tersentak, seakan-akan sebuah ingatan telah menyentak kepalanya. Katanya “Ya, ya. Aku ingat sekarang. Di kademangan ini ada sebuah pepunden. Panji-panji Gula Kelapa yang besar. Panji-panji yang kita namai Kiai Unggul. Tetapi panji-panji itu adalah pepunden kademangan ini, yang kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali, setiap bulan pertama untuk dibersihkan”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Itulah. Saat ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai Unggul dari simpanannya”
“Ya, bahkan ada pula panji-panji yang lain. Milik seorang bekas prajurit Demak. Lengkap dengan tunggulnya. Panji-panji itu didapatnya pada saat ia ikut berperang melawan orang-orang Portugis diujung Melayu bersama pangeran Sebrang Lor”
“Orang itu sudah tua sekali?”
“Ya, panji-panji itu dinamainya Kiai Jetayu”
“Nama seekor burung Garuda” desis Agung Sedayu
“Ya, panji-panji itupun cukup besar. Hampir sebesar Kiai Unggul” berkata Ki Demang.
Wajah Untara menjadi cerah. Tiba-tiba ia berkata lantang “Waktu sudah mendesak. Siapkan pasukan dan siapkan Kiai Tunggul dan Kiai Jetayu”, kemudian kepada Ki Demang ia berkata “Suruhlah seseorang menjemput kedua panji-panji itu. Berkuda sekarang juga, dan bersama dengan itu ambillah semua tanda-tanda kebesaran pasukan Pajang dikademangan”
Untara tidak perlu mengulangi perintahnya. Widura segera berdiri dan berjalan kehalaman. Kepada bawahannya segera ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedan kepada beberapa orang lain diperintahkannya mengambil beberapa tanda kebesaran di kademangan. Didalam gelodog, dipringgitan. Sedang beberapa orang yang lain mendapat perintah dari Ki Demang untuk mengambil panji-panji Kiai Unggul dan Kiai Jetayu beserta tunggulnya masing-masing.
Sesaat kemudian dilapangan dimuka banjar desa itu, pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang menyiapkan tanda-tanda kebesaran mereka. Beberapa buah tunggul dengan ujung berbentuk garuda dan bunga berdaun lima. Itu adalah tanda kebesaran dari pasukan Widura di Sangkal Putung. Panji-panji yang besar berwarna emas dengan gambar seekor Garuda yang sedang mengembangkan sayap-sayapnya. Kemudian beberapa umbul-umbul kecil dan rontek-rontek yang tidak semegah umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika kemudian dujung pasukan itu berkibar tiga buah panji-panji yang besar berwarna Gula Kelapa, maka kebesaran pasukan Pajang bersama dengan laskar Sangkal Putung itu menjadi bercahaya.
Ketiga panji-panji itu adl Kiai Unggul, Kiai Jetayu dan panji-panji pasukan Widura sendiri. Panji-panji Gula Kelapa dari pasukan Wiratamtama dibawah kekuasaan Pajang, disamping panji-panji pasukannya.
Ketika pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung itu melihat ketiga panji-panji Gula Kelapa diujung pasukannya maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul bagi rakyat Sangkal Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itupun telah mereka kenal pula sebagai selembar panji-panji pusaka yang bertuah.
Dari kedua orang pengawasnya, Untara mengetahui bahwa pasukan Jipang sudah berangkat menuju ke Sangkal Putung. Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dipersiapkannya seluruh pasukannya untuk segera berangkat menyongsong pasukan Jipang.
Sesaat kemudian terdengar dipendapa banjar desa itu, kentongan dalam nada Dara-muluk. Nada yang tidak biasa diperdengarkan dalam keadaan bahaya seperti saat itu. Namun setiap orang di Sangkal Putung kali ini mengetahui, bahwa bunyi kentong itu adalah pertanda bahwa pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung telah siap untuk berangkat.
Beberapa orang yang karena suatu sebab, belum berada dilapangan itu, segera berlari-lari sambil menjinjing senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat laskar Sangkal Putung telah bersiap segera mereka memasuki kelompok masing-masing.
Setelah para pemimpin kelompok menghitung anak buah masing-masing serta segala persiapan telah lengkap, maka terdengarlah suara Widura memecah gelap malam. Mengumandang memenuhi lapangan.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang disambut dengan debar disetiap dada. Sehingga lapangan itu kemudian terhenyak kedalam kesepian. Seakan-akan tak seorangpun yang berada disanan.
Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang disambut sesaat kemudian, setelah Widura yakin bahwa segala sesuatunya telah siap, maka terdengarlah aba-abanya yang terakhir. Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin kelompok, yang mengulanginya dengan cepat seperti apa yang diucapkan oleh Widura.
Maka mulailah pasukan itu bergerak. Seperti pasukan Jipang, maka pasukan Widura inipun dilengkapi dengan obor-obor, sehingga lapangan dimuka banjar desa itu menjadi terang benderang.
Hujan kini sudah tidak lebat lagi. Titik-titik air satu-satu masih berjatuhan. Namun sudah tidak mampu lagi memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjak-lonjak kegirangan.
Untara dan Widura berjalan diujung pasukan itu. Kemudian Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung. Hudaya dan Sonya masih berada didalam kelompoknya masing-masing sebelum mereka kemudian harus mempersiapkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang paling berat. Melawan seorang yang bernama Sumangkar.
Dibelakang induk pasukan berjalanlah sebagian dari laskar Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh semangat. Mereka merasa bahwa dipundak mereka terletak tanggung-jawab atas Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada dikademangan itu adalah sekedar tenaga yang memberi bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus melindungi kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur mati-matian melawan orang-orang Jipang.
Dibelakang laskar Sangkal Putung itu Citra Gati berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya aneh kali ini. Kepada seseorang yang berjalan dibelakangnya, Citra Gati itu bertanya “Kau lihat Hudaya?”
Orang yang mendapat pertanyaan itu menjawab “Kakang Hudaya masih berada didalam kelompoknya”
“Panggil ia sebentar kemari” katanya.
Orang itupun segera keluar dari barisannya. Sesaat ia berhenti menunggu Hudaya yang berada agak jauh dibelakang mereka.
Hudaya heran mendengar bahwa Citra Gati memanggilnya. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berjalan mendahului berisannya kekelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan memimpin pasukan Pajang disayap kanan.
Ketika Hudaya telah berjalan didekat Citra Gati, maka dengan serta-merta ia bertanya “Apakah ada sesuatu yang penting ?”
Citra Gati berpaling. Dilihatnya Hudaya memandanginya dengan tegang.
Citra Gati itu tersenyum. Ia hanya ingin melepaskan perasaannya yang aneh. Maka katanya “Apakah kumis dan janggutmu sempat kau bersihkan?”
Hudaya mengerutkan keningnya. “Belum. Kau juga belum” jawabnya “Biarkan saja kumis dan janggut itu. Tetapi apakah yang penting?”
Citra Gati menggeleng “Tidak ada” jawabnya “Aku hanya merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri disayap ini”
“Uh, bukan main” keluh Hudaya sambil mengerutkan keningnya “Aku sangka ada hal-hal yang sangat penting”
Citra Gati tersenyum. Tetapi senyumnya tampak hambar. Katanya “Jangan marah. Rambut diwajahmu benar-benar menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak sempat membersihkannya lagi”
Hudayalah yang kini tersenyum, katanya “Aku belum pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar. Mungkin ia ganas, seganas Macan Kepatihan. Tetapi mungkin ia lunak, selunak jenang alot”
“Jangan mengigau” potong Citra Gati “Sekarang kembalilah kekelompokmu”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya “Aku sangka kau sempat membawa jenang alot itu kakang. Dan kau ingin memberi aku sepotong. Kalau tahu demikian, aku tidak akan datang”
Citra Gati tidak menjawab. Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang hambar.
Hudaya kembali kekelompoknya. Namun ia merasa aneh. Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal yang aneh didalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam setiap tugas yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak mau dipengaruhi oleh keadaan itu. Dipusatkannya perhatiannya kepada saat-saat yang akan datang.
Sesaat kemudian mereka telah meninggalkan induk padesan Sangkal Putung. Dihadapan mereka terbentang beberapa desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka akan sampai ketempat terbuka. Tanah persawahan yang menghadap langsung kepadang rumput dan perdu dipinggir hutan.
Untara segera memerintahkan untuk mempercepat perjalanan, supaya mereka tidak terlambat. Apabila laskar Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka pertempuran akan menjadi bertambah sulit. Apabila mungkin maka mereka harus sudah melampaui tanah-tanah persawahan dan bertempur dipadang rumput. Supaya tanaman mereka tidak terinjak-injak.
Disepanjang perjalanan itu meskipun Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah membulatkan hatinya untuk bertempur tanpa Kiai Gringsing, namun disudut hati mereka masih juga menyimpan harapan, mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba saja muncul diantara mereka.
Tetapi semakin jauh mereka berjalan, harapan itu semakin tipis. Semula mereka masih juga mengharap, bahwa Kiai Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang lebat. Namun setelah hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai Gringsing tidak juga muncul, maka harapan merekapun menjadi semakin tipis pula.
Dengan langkah yang tetap setiap orang didalam pasukan itu berjalan menuju keujung kademangan. Satu dua desa kecil telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka menembus jalan ditengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan ujung jalan itu, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar.
Demikian mereka keluar dari mulut lorong itu, demikian dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh dihadapan mereka, mereka melihat sea untaian obor-obor beriringan. Terdengarlah hampir setiap mulut bergumam “Itulah mereka“
Tanpa disengaja setiap tangan segera meraba senjata masing-masing. Beberapa bagian dari mereka, yang bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang perisai-perisai mereka ditangan kiri. Sedang mereka yang bersenjata tombak, maka tombak-tombak itu sudah tidak mereka panggul diatas pundak mereka. Namun tombak-tombak itu telah merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar lagi untuk meloncat menerkam dada lawan-lawan mereka.
Untara semakin mempercepat perjalanan itu. Ternyata laskar Jipang telah lebih dahulu sampai dipadang rumpur. Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih belum terlambat. Mereka masih akan mencapai sisi padang itu, sebelum laskar Jipang lepas meninggalkannya.
Kening Untara berkerut ketika ia melihat iring-iringan laskar Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat dengan jelas, namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman ia segera dapat menebak, bahwa laskar Jipang telah berjalan dalam gelar.

Api di Bukit Menoreh 59

Swandaru menjadi bangga akan kesediaan anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar telah siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya setiap hari, tanah sumber hidupnya, kampung halaman.
“Bagus” sahut Swandaru “Kalau demikian, kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan kemudian mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok orang-orang yang sudah setengah umur. Merekapun harus membantu penyelenggaraan pengungsian dan pengawalan atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih sanggup ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh, kalian harus bersiap dihalaman banjar desa. Tidak akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru kentong dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat, dara muluk”
Kelima anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus mereka lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan bahkan kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang masih sanggup menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggungpun akan diikut-sertakan dalam kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala didalam dada mereka.
Ketika semuanya sudah menjadi jelas, maka berkata Agung Sedayu “Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan bijaksana supaya kerja besok tidak terbengkalai”
“Baik kakang” jawab salah seorang dari mereka “Aku akan berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami akan bekerja keras”
“Bagus, cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung Agung Sedayu.
“Baik”
“Kalau demikian, kembalilah kependapa. Pakaian kalianpun telah basah pula”
“Tidak apa. Kami hanya tinggal sebentar duduk diantara mereka”
Setelah semuanya menjadi semakin jelas, maka Swandaru dan Agung Sedayupun segera berlari kembali kependapa bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu. Ditangga pendapat Agung Sedayu dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang berdiri dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari mulutnya “Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam pakaian yang basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi sebelum aku memberikan apa-apa?”
Swandaru tertawa “Nanti aku datang kembali”
Tima tidak sempat berkata apapun lagi. Mereka yang dipendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung Sedayu meloncat kedalam hujan yang lebat dan hilang ditelan oleh kegelapan.
Tima masih berdiri diatas tangga pendapa rumahnya. Ia merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa pula didalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda yang duduk dipendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Segera mereka menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini. Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.
Kini yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang masih berdiri ditangga pendapa. Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih sempat naik kependapa dan duduk kembali ditempat masing-masing.
Tima yang tidak sabar segera bertanya kepada salah seorang dari mereka “Apakah yang penting?”
Yang ditanya menggeleng “Tidak ada”
“Kau menyimpan rahasia itu?” bertanya anak muda yang lain.
“Tidak. Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi terlalu dingin”
Tima segera mengerti. Kini ia yakin, bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan terjadi. Demikian juga orang-orang lain dipendapa itu. Sehingga karena itu maka Tima berkata “Baik. Aku akan percepat gelombang hidangan yang telah kami siapkan. Bukankah kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang penting ?”
Kelima orang anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas kebelakang.
Pertemuan itu cepat selesai jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok segera memanfaatkan pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian, beberapa anak-anak muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk melakukan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnyalah Sangkal Putung didalam malam yang kelam, dibawah cucuran hujan yang lebat itu, telah terbangun karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak muda dan orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang masih tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri mereka bersama anak-anak mereka.
Rakyat Sangkal Putung benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Dibawah payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan diri dan barang-barabg mereka. Tangis anak-anak kecil telah memecahkan kesepian kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian didalam kelamnya malam. Namun sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja tercurah dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.
Laskar Pajang yang berada dikademangan telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka betebaran digandok dan disetiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada para perempuan dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa kademangan Sangkal Putung itu segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak diantara tangis bayi. Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar ketakutan. Tetapi mereka menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki, suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara mereka telah siap dengan senjata ditangan mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik diantara mereka. Seolah-olah mereka berada didalam pelukan tangan-tangan yang akan sanggup melindunginya.
Ternyata waktu merayap terlampau cepat. Prajurit-prajurit Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus maju berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil kebijaksanaan lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan terhadap laskar Jipang langsung digaris peperangan harus meninggalkan kademangan dan pergi kebanjar desa.
Demikianlah maka sesaat kemudian seperti banjir yang mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat kemudian laki-laki dihalaman kademangan itu, menjadi semakin susut, tetapi sebaliknya perempuan dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal dihalaman itu, selain para pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang bertugas mengawal mereka. Tetapi disamping mereka, hampir setiap laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena umur-umur mereka yang telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula. Meskipun mereka telah dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat tinggal diam.
Seorang yang berambut putih seperti kapas berkata kepada temannya yang berdiri disampingnya, diteritisan kademangan itu “Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang besok akan menyongsong lawan itu?”
Temannya yang sudah tidak bergigi satupun menjawab “Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju kegaris perang terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk gigiku yang telah habis ini “Gigimu telah habis Kek”
Aku menjawab “Bukankah aku tidak akan menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan pedang. Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah kapak, aku membelah sepotong balok dihalaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab “Balok itu tak dapat bergerak kek. Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan kehabisan nafas untuk mengejarnya”. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu membelah kepala musuh-musuhku”
Temannya yang berambut putih kapas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Akupun masih dapat memanjat pohon kelapa dihalaman rumahku. Kau tahu, dirumahku ada duapuluh lima pohon kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat”
Temannya yang tak bergigi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya “Itulah. Mereka menyangka kita sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang merembes sampai kehalaman ini, akan aku buktikan kemampuanku”
Mereka kemudian berdiam diri. Dengan tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih bertugas ditegol halaman itu. Diteritisan yang lain mereka melihat anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret pedang dilambung mereka, dan sebagian lagi memandi tombak dipundak mereka.
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berbangga didalam hati mereka. Tetapi mereka lebih berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua sebaya dengan mereka, membawa senjata-senjata pula ditangannya. Seorang yang duduk ditepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang yang agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru pedang-pedang yang karatan itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang ditimbulkannya dapat menjadikan penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang yang lain sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu sedang menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang menangis dipangkuan kakeknya itu masih sempat mempermainkan hulu keris kakeknya.
“Jangan dicabut ngger” desis kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat benda itu.
“Hem” desis kakeknya. “Mintalah yang lain”
Cucunya terdiam ketika seorang perempuan yang lain memberinya sepotong jenang a lot kepadanya.
Pendapa, pringgitan, bahkan ruangan dalam dan gandok kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada setapak tempatpun yang masih kosong. Anak panah yang malang mujur terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh diantara mereka. Mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah kuyup.
Sedang dibawah pendapat itu, diteritisan gandok dan dibelakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam kesiagaan. Hujan yang lebat terasa menjengkelkan selaki. Tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap saat tangan-tangan mereka siap mengangkat senjata mereka. Sedang diregol halaman beberapa prajurit Pajangpun selalu berada dalam kesiagaan penuh.
Prajurit-prajurit yang lain, laki-laki Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan kebanjar desa. Beberapa orang diantara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung menuju kebanjar itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka terpaksa mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih kecil lebih dahulu kekademangan.
Demikianlah maka bajar desa dan lapangan dimukanya telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan mereka besok.
Demikianlah maka semakin jauh malam memanjat kepuncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk. Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi semakin berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama kalinya mereka akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun Widura berkata kepada mereka “Apa yang akan kalian alami tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar yang telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian selalu ingat kepada segala petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka kalian tidak akan menemui kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan menuntun kalian, apa yang harus kalian lakukan”
Laskar Sangkal Putung itu menjadi berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari terbenam. Mereka telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan itu. Sedangkan laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya. Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai melampaui tengah hari. Dan pertemuran malampun tidak sampai separo malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus berani menghadapi kemungkinan itu.
Untuk menghadapi keadaan ini Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.
“Kita harus menyediakan tenaga cadangan” berkata Untara
“Ya” Widura membenarkan “Sebagian dari mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun kegaris perang. Bukankah begitu?”
“Ya paman” jawab Untara “Aku kira jumlah kita bersama dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga cadangan disamping mereka yang bertugas dikademangan dan digardu-gardu. Apabila kita ternyata terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian laskar cadangan itu dapat kita turunkan kemedan, berangsur-angsur. Dan apabila perlu, maka sebagaimana peronda digardu-gardu dapat ditarik seluruhnya. Digardu-gardu itu kita tempatkan dua orang pengawas saja, yang apabila keadaan memaksa mereka hanya bertugas untuk melaporkan keadaan”
“Ya, semua tenaga dapat penyaluran sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di kademanganpun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.
Kesepakatan pendapat itulah yang kemudian mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan sekali lagi Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.
Setelah itu maka segala persiapan telah selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka pergunakan untuk beristirahat. Beberapa orang dibelakang merebus air sambil menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang ditempatkan dibanjar desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut serta kali ini menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.
Ketika malam telah melampaui pusatnya, maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para pengawas digardu terdepa. Namun mereka belum melihat sesuatu dan bahkan para pengawas yang langsung berada dilingkungan lawanpun belum memberikan laporan apa-apa
Tetapi Untara dan Widura idak melemahkan kesiagaan. Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar desa itu dapat digerakkan.
Namun demikian, masih ada yang selalu membayangi perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak diantara mereka. Sehingga semakin dekat fajar menyingsing, harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu Metir menjadi semakin tipis.
Apalagi ketika kemudian telah datang beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka tidak akan memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.
Kepada laskarnya Widura berkata “Makanlah. Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian tidak mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minumpun belum tentu. Apabila kekuatan kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya, maka pertempuran itu akan lekas selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi kalau kekuatan kita seimbang, maka belum mengalami kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu sehari penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak dipihak kita. Makanlah dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha sekuat-kuat tenagamu. Tetapi kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat menyelesaikan tugas-tugas kalian”
Sejenak kemudian mereka telah tenggelam dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang duduk didekat Sendawa berguman “Alangkah nikmatya makan pagi kali ini”
“Hus” desis Sendawa “Apakah makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”
“Jangan berkata begitu” sahut Citra Gati “Tetapi masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga nasi hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan suasanan yang dingin beku ini”
Keduanya tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung. Ditengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk termenung membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk pikuk prajuritnya yang sedang menyusun diri.
Berbagai perasaan berkecamuk didalam kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya sendiri. Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul disaat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih saja dilanjutkannya. Mula-mula ia merasa bahwa ia harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian lama sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih juga mengakuinya sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan itu dipercayakan.
Tetapi Tohpati bukanlah seorang yang berhati batu berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang diujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur dimedan-medan perang, tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang terbunuh dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi mayat itu sudah menjadi arang.
Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar. Bulu-bulunya tumbuh hampir sampai ketelapak tangannya.
“Hem” geram Macan yang garang itu. Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian didengarnya bahwa perempuan itu mati.
Perempuan itu datang kepadanya sambil mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.
“Tohpati” berkata perempuan itu “Kau bunuh suamiku itu”
Tohpati menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan perempuan itu berdiri dimukanya kini. Suaminya, yang baru saja mengawininya, terbunuh dimedan perang. Dan perempuan itu menyalahkannya.
“Ketamakanmu atas kekuasaan telah membunuh suamiku” berkata perempuan itu “Kaulah yang kelak akan menjadi adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau korbankan”
Pada saat itu Tohpati tidak mau mendengar perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya. Tetapi sama sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
“Perempuan itu bukan satu-satunya” desisnya “Ada sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi kematian suaminya. Tetapi perempuan-perempuan Pajang, perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian suaminya dengan kebanggan didalam hati. Meskipun mereka menangis, tetapi mereka dapat berkata “Kematianmu adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu akan dikenang seumur negeri ini”
Tohpati mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda menyahut, dan kemudian yang lain-lainpun terdengar meneruskan perintah Sanakeling itu.
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja terpaku diambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala tengkorak kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak ia menjadi prajurit dalam kadipaten Jipang. Pada masa Demak masih mengumandang namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang gugur. Dan kini ia tinggal didalam barak ilalang dengan orang-orang sekasar Sanakeling, selicik Alap-alap Jalatunda dan setamak dirinya sendiri.
Kembali Tohpati terkejut ketika ia mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya Sanakeling berdiri diambang pintu dengan wajah berseri-seri.
“Semuanya sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat”
Tohpatipun kemudian tegak berdiri. Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang dapat mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih dahulu.
Tetapi alangkah sulitnya. Ia tidak dapat mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya melawan perasaanya sendiri.
Namun tiba-tiba Tohpati itu berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut “Siapkan mereka!. Aku segera akan datang!”
“Baik kakang!” sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.
Ketika Sanakeling kemudian lenyap didalam kelam diluar barak itu, maka Tohpatipun kemudian melangkah perlahan-lahan. Sampai diambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu disudut dan sebuah gendi diatasnya. Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.
Baru Tohpati itu melangkah keluar.
Hatinya berdesir ketika didalam cahaya obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul. Terasa sesuatu yang aneh merayap didalam hatinya. Ia sama sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang itu. Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda kebesaran Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi kumal karena tidak terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat diselamatkan telah membesarkan hatinya pula.
“Itu adalah jasa paman Sumangkar” gumamnya didalam hati.
Sementara itu Tohpati diam mematung. Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap menunggu perintahnya. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskatnya itu. Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan yang sangat, namun dibawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan ia benar masih seorang senapati perang yang berwibawa.
Sebenarnya bahwa Macan Kepatihan itu masih memiliki kewibawaab diantara anak buahnya, sehingga apapun yang diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu untuk berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang senapati muda bernama Untara.
Dimuka pasukannya itu telah berdiri Sanakeling. Dilambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka putih mengkilat, dan dilambung kanannya, pada ikat pinggangnya tergantung sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi berjalur-jalur. Bindi itu ditangan kiri Sanakeling kadang-kadang dipakainya sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan namun apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang ditangan kanannya.
Agak jauh dibelakang dilihatnya belahan pasukannya dibawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila orang menyebutnya Alap-alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat bertemu lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan dapat menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya sendiri hampir siang dan malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.

Kamis, 10 Juli 2008

Api di Bukit Menoreh 58

Hampir serentak para penjaga diregol itu menjawab “Belum”
Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah “Aneh”
“Kita harus segera memberitahukan kepada kakang Untara” berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya air hujan yang lebat diantara suara angin yang kencang. Ketika kilat memancar sekali dilangit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan seperti menggeliat diputar angin.
“Hujan dan angin” desis salah seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia bergumam seperti kepada diri sendiri “Tetapi besok pagi kita akan mengalami prahara yang lebih berbahaya”
“He?” bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng “Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berguman “Itukah sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul dipringgitan?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun terasa juga dada mereka berdebar-debar.
“Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu”
“Kalian akan basah kuyup”
“Tidak apa-apa. Hanya basah karena air” sahut Agung Sedayu.
“Bukan basah karena darah” sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjagapun tertawa.
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka berdiri diteritisan regol halaman. Pelita dipendapa yang menyala-nyala hampir-hampir tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
“Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara”
“Mari” sahut Swandaru.
Dan keduanyapun kemudian terjun kedalam air yang tergenang dihalaman dan berlari menembus kepekatan air hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak.
Demikianlah mereka naik kependapa, maka pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda keringpun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana mereka.
Beberapa orang yang duduk-duduk dipendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ketangga pendapa.
“Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun terdengar Swandaru menyumpah “Setan. Basah kuyup juga pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kidal”
Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata “He, seperti tikus terjerumus dalam parit”
Swandaru bersungut-sungut. Segera ia berlari lewat pintu gandok masuk kedalam rumah mencari ganti pakaian. Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu dipendapa. Pakaian yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada dipringgitan.
Tetapi terasa dingin air hujan itu sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk kepringgitan. Beberapa orang yang duduk dipringgitan segera berpaling. Ketika Untara dan Widura melihatnya, maka merekapun tertawa pula.
“Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang yang kau cari itu”
Agung Sedayu segera bersembunyi dibelakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah duduk kembali didalam lingkaran para pemimpin kelompok laskar Pajang.
“Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?” bertanya Untara
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala, jawabnya “Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa”
“Ya, aku melihat kalian basah kuyup”
“Ketika hujan turun aku sudah sampai diregol halaman ini” sahut Swandaru “Kami basah kuyup dalam jarak yang hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai kependapa”
“Alangkah derasnya hujan” desis Widura.
“Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan” Untara menyambung.
“Ya” jawab Agung Sedayu
“aneh” gumam Untara “Dalam keadaan yang gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu, apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang tua itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah memberikan setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan seandainya Ki Tanu Metir berada diluar lingkaran pertentangan antara Jipang dan Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan, apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan Macan Kepatihan, maka disini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedayu parti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang telah memberitahukan bahwa didalam lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini orang tua itu tidak menampakkan diri?
Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan bertempur dalam gelar yang sempurna?
Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata “Untara, kita harus segera menentukan sikap”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya “Ya paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan”
“Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada diantara kita”
Sekali lagi Untara mengangguk “Ya” jawabnya “Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita”
Semua yang duduk dipringgitan itu tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
“Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wiratamtama” desis Widura.
Untara menggeleng, katanya “Tidak paman. Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk melawan hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang dapat membawa nyawa rangkapan didalam tubuhnya? Tetapi cerita itu ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu?
Yang terdengar kemudian adalah suara hujan yang gemerasak diatas atap rumah kademangan. Disana-sini tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali terdengar daun pintu terbanting.
Dipendapa nyala pelita terayun-ayun dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun, untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam.
Tak seorangpun yang duduk dipringgitan segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi hantu yang menegakkan bulu tengkuk.
“Kita harus segera mengambil keputusan“ terdengar Untara menggeram.
Hampir serentak semua orang dipringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah aku mencoba menentukan orang itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting telah mendapat tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itupun tidak mungkin aku lepaskan. Sedang paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Disayap yang lain Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa. Kalian harus berada diujung barisan, sebagai inti kekuatan yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun didalam dada mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak dapat menolak perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri? Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka.
Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai dimana kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan Kepatihan atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu terdengar Untara bertanya “Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”
Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala sambil menjawab hampir bersamaan “Kami junjung kewajiban itu”
“Bagus” sahut Untara “Disamping kalian berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja mati-matian menahan orang tua itu”
Hudaya dan Sonyapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu tampak berkerut-kerut.
Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya. Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka segera Untara memutuskan apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah kemudian Untara berkata kepada Widura “Nah, sekarang bagaimana dengan rakyat Sangkal Putung paman?”
Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya “ kakang Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”
Ki Demang termenung sesaat. Terbayang diwajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama ini bekerja untuk kademangan dan rakyat dikademangan ini, maka semua bahaya itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga Untara dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka setelah berpikir sejenak, maka katanya “Perempuan dan anak-anak harus kita singkirkan”
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan yang lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung. Tetapi bagaimanapun juga, kira-kira harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup. Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat diselamatkan dari keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang berhasil masuk kedaerah kademangan ini maka mereka harus dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung.
Ki Demang itupun kemudian berkata pula “Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari, sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara dapat dipersiapkan desa diujung timur kademangan ini”
Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan terdengar Widura berkata “Kalau demikian, maka pembicaraan kita sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang pengungsian perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka menikmati ketenangan ditengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam penuh karena kegelisahan”
Pertemuan itupun kemudian diakhiri. Para pemimpin kelompok segera kembali kekelompok masing-masing. Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama mereka tidak maju kegaris perang, maka besok mereka akan berada didalam gelar yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali nafas keprajuritan mereka.
Selama ini mereka merasa tidak lebih dari sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan penyelesaian, meskipun Adipati Jipang telah terbunuh dimedan peperangan.
Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran dalam cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung halaman mereka besok.
Para prajurit yang memang belum lelap tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun disekeliling pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang penting.
Beberapa orang mendapat tugas khusus untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang diantara mereka adalah petugas-petugas yang harus siap diatas punggung kuda masing-masing, yang apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera mencapai tempat-tempat yang dikehendaki.
Sendawapun segera kembali ke banjar desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya titik-titik air yang berjatuhan dari langit,
“Alangkah lebatnya hujan ini” desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya” sahut kawannya “Hampir aku tidak dapat bernafas”
Dan keduanyapun berlari semakin kencang, agar mereka tidak membeku dibawah hukan yang seakan-akan menjadi semakin lebat.
Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat kemudian berdiri termangu-mangu dipendapa kademangan. Mereka harus segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik didalam hujan yang lebat. Karena itu maka Swandaru kemudian berkata “Aku akan ganti pakaian kembali”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku harus menari-nari didalam hujan itu kembali?”
Agung Sedayu termenung sejenak. Tr jawabnya “Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah pula, aku tidak lagi punya ganti besok”
“Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya “Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata “Cepat, gantilah. Aku juga mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar lagi kita akan sampai ketengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah banyak. Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak”
“Biarlah orang lain mengurusnya” sahut Swandaru “Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanyapun telah berganti pakaian dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat mereka menuruni halaman dan berlari keregol halaman.
Suasana para penjaga diregol halaman telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat mereka manfaatkan.
Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk memberitahukan kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin menggenggam senjata, melakukan pengawalan di kademangan.
“Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.
“Jangan” cegah Swandaru “Tidak banyak manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat akan berbuat tanpa dapat dikendalikan”
“Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah diseluruh kademangan?”
“Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.
“Tidak” sahut Jagabaya itu “Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri”
“Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka ketenangan, bahwa di kademangan akan ditempatkan pengawalan yang kuat. Para peronda disegenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada diantara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari kademangan ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa, membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka harus beristirahat menjelang fajar besok”
Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian “baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya”
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah berada kembali dibawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan rumah Ki Jagabaya, akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
“Kemana kita pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
“Memanggil anak-anak” sahut Swandaru.
“Ya, tetapi kemana? Dirumahnya masing-masing atau kegardu mana yang kita tuju pertama-tama?”
“Kerumah Tima. Mungkin anak-anak berada disana”
Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua berlari kerumah Tima yang sedang merayakan selapan bayinya.
Sampai dirumah Tima, Swandaru langsung meloncat menyusup regol masuk kedalam halaman. Dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir disetiap tiang-tiangnya.
Beberapa orang terkejut melihat dua orang berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian hampir serentak setiap mulut bergumam “Swandaru dan Agung Sedayu”
Tima yang melihat kehadiran mereka berdua segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta “Oh, marilah, marilah tuan berdua. Akh, aku tidak sempat menyongsong kerumah. Hujan lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”
“Tidak” sahut Swandaru “Aku memiliki aji pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api”. Namun suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.
Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.
“Mari, mari silakan naik” Tima mempersilakan.
“Sebenarnya sejak senja aku ingin datang kemari” berkata Swandaru kemudian “Tetapi aku belum sempat. Hujan telah tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya”
“Karena itu marilah naik” sekali lagi Tima mempersilakan.
“Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup”
“Tidak apa, silakan”
“Kami bisa membeku kedinginan”
Tima menjadi bingung. Apakah maksud Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata “Apakah kalian memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”
“Terima kasih” sahut Swandaru “Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi basah kuyup”
Tima menjadi bingung. Namun kemudian terdengar Swandaru berkata “Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung yang kebetulan berada dirumah ini”
Tima mengerutkan keningnya. Terasa dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Duduklah” minta Swandaru “Aku tidak ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap”
Tetapi anak-anak muda dipendapa itu justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi “Duduklah. Kalau kalian berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak”
Namun kali ini suara Swandaru itupun seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba ia meloncat turun kehalaman, kedalam hujan yang masih tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru disela-sela derai tertawanya “Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku lagi”
Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat didalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpin-pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka, sehingga karena itu, maka ada diantara mereka yang benar-benar meloncat pula kehalaman, dibawah curahan hujan yang lebat.
“He, kau gila” teriak Swandaru. “Tunggulah, aku akan naik lagi kependapa”
Namun anak-anak muda itu tersenyum, jawabnya “Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira kakang Swandaru tidak akan datang ketempat ini dengan pakaian basah kuyup dan tanpa baju”
“Anak setan kau” umpat Swandaru sambil tertawa “Baiklah, marilah, ikuti aku keteritis gandok”
Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju keteritis gandok.
Ketika mereka sudah berada ditempat yang teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan.
“Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang berada ditempat ini?”
“Ya kakang. Pemimpin kelompok dari kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok delapan sedang bertugas digardu selatan”
“Besok kalian berada langsung dibawah pimpinan ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama kakang Agung Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada diantara kalian. Ingat, bahwa satu kelompok laskar pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman. Kalian berada dibawah tuntunan mereka bersama beberapa orang Sangkal Putung sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan kalian dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan”
“Baik kakang” jawab mereka hampir bersamaan.

Api di Bukit Menoreh 57

Namun sudah tentu Untara tidak akan mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya “Swandaru, kita harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati pengapit Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah seorang senapati pengapitnya. Salah seorang yang akan ditempatkan diujung gading gajah raksasa yang akan mengamuk itu. Sedang diujung yang lain, mungkin Macan Kepatihan akan menempatkan Alap-alap Jalatunda atau orang lain yang lebih baik daripada orang itu”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya diantara mereka, Widura dan Agung Sedayu disamping dirinya sendiri. Karena itu maka katanya dalam hati “Apakah kakang Untara tidak mau memberi aku kesempatan?”
Dan terdengarlah Untara berkata “Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan Sanakeling. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan, sehingga aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal Putung”
“Satu-satunya kemungkinan” sesis Swandaru “Lalu siapakah yang harus melawan Alap-alap Jalatunda?”
Untara mengerutkan keningnya. Apalagi ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang kearah Agung Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung Sedayu itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan. Apakah ia akan dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia menunjuk Swandaru, Agung Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi Swandaru sama sekali kurang pengalaman dalam perang yang memasang gelar-gelar sempurna.
Namun akhirnya, Untara menemukan jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya berhenti pada seseorang yang duduk agak dibelakangnya. Katanya “Disayap yang lain aku pasang Citra Gati”
Swandaru sekali lagi mengerutkan keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa Untara akan memilih satu diantara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya sendiri.
Namun sebelum ia menyatakan pendiriannya, terdengar Untara memberi penjelasan “Aku harus menempatkan seorang prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung Sedayu atau kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui, saluran-saluran perintah dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena itu aku tempatkan saja Citra Gati itu disayap kanan. Meskipun demikian, Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan merupakan ujung-ujung kuku dalam gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita pergunakan”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu dan bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang.
Tetapi kemudian Widura memotong pembicaraan itu “Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang yang akan segera menyerbu itu?”
Semua yang hadir dalam pertemuan itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan Sumangkar yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki nyawa rangkap didalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu.
Tidak ada diantara mereka yang akan mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya. Tetapi harus ada orang yang terpilih diantara mereka. Padahal mereka masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka abaikan pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan Sanakeling dan Citra Gati harus melawan Alap-alap Jalatunda. Apakah Agung Sedayu dan Swandaru yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu?
Ketika mereka baru berteka-teki, terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya “Tak ada seorangpun diantara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun demikian, kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya, Kiai Gringsing”
Para pemimpin laskar Pajang itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam diantara mereka. Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu. Namun belum seorangpun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai Gringsing itu. Karena itu terdengar Sendawa meyahinkan dirinya “Siapakah Kiai Gringsing itu?”
Untara menarik alisnya. Agaknya orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum mengenalnya.
Tetapi kini Untara tidak berahasia lagi. Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata “Orang yang kalian kenal setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir setiap malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir setiap hari berada diantara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu Metir”
Kembali terdengar mereka bergumam. Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena itu maka Citra Gati berkata “Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”
Untara mengangkat wajahnya. kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Panggilah Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera berdiri dan melangkah keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing dipendapa, namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun kehalaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya diantara para penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar digardu penjagaan bersama-sama mereka yang bertugas.
“Aku tidak melihat Ki Tanu Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.
“Apakah Ki Tanu Metir pergi keluar?”
“Aku tidak melihatnya” sahut penjaga itu “Entahlah sebelum aku bertugas disini”
“Siapakah yang bertugas sebelum kalian?”
“Diantaranya kakang Santa”
Agung Sedayupun bergegas-gegas mencari Santa dipendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu Metir. Katanya “Aku tidak melihatnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada dibelakang? Agung Sedayupun kemudian mencoba mencarinya keperigi. Tetapi diperigi itupun Ki Tanu Metir tidak ditemukannya.
Satu-satunya kemungkinan tinggallah di banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat disana. Mungkin Ki Tanu Metir ada diantara mereka.
Karena itu maka Agung Sedayu segera pergi kepringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan mencoba mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.
“Aku pergi bersamamu” sela Swandaru sebelum Untara menjawab.
Agung Sedayu mengangguk “Marilah” jawabnya.
Dan Untarapun kemudian bertanya “Apakah kau sudah mencari diseluruh halaman ini?”
“Sudah kakang” “Tidak seorangpun yang melihatnya?”
“Tidak kakang, para penjaga regolpun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun. Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu memperhatikannya.
“Sore tadi aku masih bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.
“Kalau demikian” berkata Untara “Cobalah kau cari Ki Tanu Metir dibanjar desa”
Agung Sedayu dan Swandaru segera pergi meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langitpun tampak gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali asl menengadahkan wajahnya dan dilihatnya kesempatan lidah api berloncatan. Bintang-bintang jauh bersembunyi dibalik tabir yang hitam.
Agung Sedayu itupun segera terkenang pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan padukuhannya Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati akan melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh bedanya, perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada saat itu perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia menjadi gemetar. Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan darah, dan dirasakannya luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang tidak dapat dihindarinya, maka pecahlah belenggu yang mengungkungnya selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru pada dirinya. Dan karena itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga melekat pada dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu, meskipun ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan kecemasan.
Agung Sedayu dan Swandaru berjalan tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan jatuh. Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.
“Alangkah sepi malam ini” desis Agung Sedayu.
“Mungkin beberapa orang mendapat firasat buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya besok pagi akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru “Tetapi mungkin karena mendung yang tebal”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah mengungsi kekademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika ia mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar betapa rawannya diantara bunyi guruh yang menggelegar dilangit.
“Kenapa anak itu menangis?” desisnya.
Swandaru heran mendengar desis itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang memancarkan tangis bayi itu.
“Bayi-bayi menangis dimalam hari” sahut Swandaru “Mungkin kakunya digigit nyamuk, mungkin terkejut mendengar tikus melonjak-lonjak diatap rumahnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh tangis itu. Besok pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh ibu-ibunya. Digendongnya dan dibawanya berlari-lari kekademangan sambil menggandeng anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati yang cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti kakaknya dari Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia pernah mengalaminya. Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di Sangkal Putung akan mengalaminya pula, ketakutan.
Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh bumi. Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian gelap kembali.
Keduanya berjalan semakin cepat. Banjar desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan. Beberapa orang duduk dengan malasnya dibawah cahaya pelita. Tetapi beberapa orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik dimuka gardu itu. Ketika mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam, segera mereka menundukkan tombak mereka sambil bertanya “Siapa?”
“Aku” sahut Swandaru “Swandaru Geni.
“Oh” gumam penjaga itu, yang segera mengenal suara Swandaru “Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga itu.
“Banjar desa” sahut Swandaru pendek.
Penjaga itu tidak bertanya lagi. Tetapi kemudian Agung Sedayulah yang bertanya “Apakah kalian melihat Ki Tanu Metir lewat jalan ini menuju kebanjar desa?”
Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabna “Tak seorangpun lewat sejak senja”
“Sore tadi?” desak Sedayu.
“Agaknya juga tidak”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Baiklah aku melihatnya di banjar desa”
“Silakan. Tetapi hati-hatilah. Jalan tampaknya terlalu sepi”
“Kalian terpengaruh oleh suasana” sahut Swandaru “Mendung yang telbal, guruh dan kilat yang memancar dilangit menjadikan malam ini sangat sepi”
Peronda itu mengangkat alisnya. Sekali ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri “Ya, mungkin adalah Swandaru benar”
Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu langsung menuju banjar desa. Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang bersambung dilangit maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan berlari supaya mereka tidak kehujanan.
“Perintah paman Widura belum sampai kepada para perondan itu bukan?” bertanya Swandaru
“aku kira belum” sahut Agung Sedayu.
“Namun seakan-akan mereka sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya”
“Firasat seorang prajurit” jawab Agung Sedayu.
Mereka sama sekali tidak memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai keregol banjar desa disamping sebuah lapangan.
Ketika mereka dengan tergesa-gesa menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua ujung tombak menghalangi mereka “Siapa?”
“Swandaru Geni” sahut Swandaru.
“Oh” desis penjaga itu “Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang dimalam hari begini”
“Kau yang tidak pernah melihat kedatangan kami” sahut Agung Sedayu “Hampir setiap malam kami datang kemari, meskipun hanya lewat disamping regol ini”
Penjaga itu mengerutkan keningnya “Aku tidak pernah melihatnya”
Agung Sedayu tersenyum “Mungkin. Mungkin kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas disini, dan mungkin memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat melihatnya dimalam hari”
“Oh” kembali penjaga itu berdesis “Tetapi kau sekarang singgah dibanjar ini. Adalah sesuatu yang penting?”
“Tidak” jawab Agung Sedayu “Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir”
“Tidak ada disini” sahut penjaga itu.
“Jangan main-main” sela Swandaru Geni. “Ada yang penting bagi dukun tua itu”
“Ya, bapak dukun itu tidak ada disini”
“Bukankah disini masih ada orang yang perlu perawatannya?”
“Siang tadi ia datang, tetapi tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi”
“Tadi sore aku masih bercakap-cakap dikademangan” gumam Agung Sedayu.
Penjaga itu menggeleng “Entahlah”
Meskipun demikian, namun agaknya Agung Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan keduanya berkata “Kami akan mencoba melihatnya”
Penjaga itu tersenyum “Kami tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit dikademangan?”
“Seluruh kademangan Sangkal Putung sedang sakit” sahut Swandaru.
Penjaga itu tidak tahu maksud Swandaru. Tetapi ia menjawab “Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak melihatnya memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aki panglimunan sehingga dapat melenyapkan diri dari pandangan mata”
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertempat tinggal dibanjar desa itu, berbaring-baring dengan tenangnya. Bahkan ada pula diantara mereka yang duduk menghadapi pelita sambil bermain macanan.
Ketika mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang sedang berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itupun berhenti.
“Siapa pemimpin kelompok disini?” bertanya Agung Sedayu.
Orang yang sedang menghadapi permainan macanan menjawab “Kakang Sendawa. Kini sedang dipanggil ke kademangan”
“Oh” desis Swandaru “Aku melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada disini sekarang?”
“Tidak” jawab mereka serempak.
Agung Sedayu menarik nafas. “Aneh” sesahnya.
“Biasanya guru selalu mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.
Sesaat mereka berdiri saja seperti patung dipendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat kemanakah kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat menemukan jawabnya.
“Justru pada saat yang penting” kembali Agung Sedayu berdesah.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Marilah kita laporkan kepada paman Widura dan kakang Untara”
Agung Sedayu mengangguk. Kepada orang yang duduk disamping pelita, Agung Sedayu berkata “Baiklah aku kembali ke kademangan. Sebentar lagi kakang Sendawa akan datang membawa berita penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari tangan”
Yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit, sehingga isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan menjadi semakin berbahaya.
Meskipun demikian ada yang bertanya “Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”
“Tunggulah kakang Sendawa” jawab Agung Sedayu. “Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena itu bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan”
Sejenak para prajurit dibanjar desa itu saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan Swandaru telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata “Jadi kami harus berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka, laskar Pajang di banjar desa itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi adalah pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.
“Sudahlah” Agung Sedayu kemudian minta diri “Kami akan mencari dukun tua itu”
“Silakan” jawab beberapa orang serempak.
Sepeninggal Agung Sedayu dan Swandaru diantara mereka terdengar salah seorang berkata “Seperti hari-hari yang lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka sendiri tidur mendengkur dikandangnya”
“Jangan kehilangan kewaspadaan” sahut kawannya sambil berdiri “Mungkin kali ini mereka benar-benar datang untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan pedangmu. Apakah Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima kasih kalau kau sediakan pedang untuknya”
Orang yang pertama meraba lehernya yang pajang. Jawabnya “Sayang sekali. Leher ini adalah lelher yang jenjang. Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi oleh istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun”
Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kesudut pendapa banjar itu mengambil sebuah tombak pendek, sambil bergumam kepada diri sendiri dibelainya senjatanya itu “Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama ayah”
Kawan-kawannya memandanginya sambil tertawa. Namun satu demi satu merekapun berdiri, berjalan ketempat senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi, maka mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.
“Tidur” berkata salah seorang dengan lantangnya “Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu”
“Atau bahkan sebelum kau sempat tidur kau harus sudah bangun lagi”
Tak ada yang menyahut. Pendapa banjar desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang persoalannya menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun mereka semuanya menunggu seseorang, Sendawa.
Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri dijalan kembali kek kademangan. Sejenak mereka termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki Tanu Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ketempat yang lain?
“Bagaimana?” bertanya Swandaru Geni.
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatna mendung menjadi semakin tebal dan kilat semakin banyak berkeliaran dilangit. Angin yang lembab mengalir semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara yang riuh.
“Kakang Untara harus cepat mengambil kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan diri malam ini” berkata Agung Sedayu.
“Ya, aku juga masih harus menyiapkan anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran digardu-gardu. Dibanjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru Geni, namun ia meneruskan “Tetapi mungkin pula mereka berkumpul dirumah Tima yang sedang memperingati selapan kelahiran anaknya yang pertama”
“Kalau mereka berkumpul disana, maka tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula “Kau akan menemukan mereka bersama-sama sekaligus”
“Ya” sahut Swandaru “tetapi sekarang bagaimana?”
“Kita kembali” jawab Agung Sedayu “Nanti kalau kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah kita mencarinya lagi”
Swandaru mengangguk-anggut, desisnya “Marilah”
Keduanyapun kemudian berjalan tergesa-gesa kembali kekademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah api memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam kembali. Ketika mereka sampai dimuka gardu perondan, maka berkata Agung Sedayu kepada mereka “Tingkatkan kesiagaan”
Para penjaga itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya “Apakah Kiai Dukun itu kalian ketemukan?”
“Tidak. Kami masih harus mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.
“Apakah ada bahaya disekitar Sangkal Putung?”
“Kalian akan segera mendapat perintah itu”
“Terima kasih” sahut diantara mereka. Dan Agung Sedayupun kemudian melihat beberapa orang yang duduk terkantuk-kantuk diatas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata masing-masing.
“Biarlah kita mengadakan ronda keliling diwilayah perondaan kami”
“Silakan” sahut Agung Sedayu “Kami akan segera kembali sebelum hujan”
Agung Sedayu dan Swandaru kini berjalan semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar dilangit, mereka merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka.
Ketika Swandaru menengadahkan telapak tangannya terdengar dikejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi semakin keras dan semakin dekat.
“Hujan yang lebat itu telah datang” desis Swandaru.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Langkah-langkah merekapun menjadi semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh langkah saja daripada mereka.
Ketika bunyi hujan yang lebat itu seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk kedalam regol halaman kademangan. Dibawah atap regol itu Swandaru menarik nafas sambil berdesah “Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari langit, kita telah sampai disini”
Agung Sedayupun mengibas-ngibaskan bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia memandang kehalaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung ditiang regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan menembus butir-butir air hujan yang pepat padat.
“Kita harus menyeberangi halaman itu” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya “Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun jarak pendapa itu tidak lebih dari limabelas duapuluh langkah’
Swandaru memandang berkeliling, kemudian gumamnya “Adakah disini payung belarak?”
Salah seorang penjaga diregol itu menggeleng “Sayang tidak ada”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para penjaga diregol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar petir meledak dekat sekali diatas regol halaman itu, bahkan seakan-akan meledak didalam kepala mereka masing-masing.
“Gila” umpat Swandaru sambil menyumbat lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan itu telah terlanjur masuk kedalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi semakin lebat. Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga bayangan yang keputih-putihan membusa dihalaman kademangan iu. Sinar lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air diteritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang dihalaman semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itupun merambat naik kelantai regol dan dengan derasnya mengerutkan keningnya mengalir keluar dibawah kaki-kaki mereka yang berada didalam regol halaman. Beberapa orang penjaga meloncat naik keamben yang tinggi. Namun dua orang lain terpaksa harus tetap berada ditempat mereka sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri ditempatnya meskipun kaki-kaki mereka terbenam didalam genangan air yang melimpah dari halaman mengalir kejalanan.
Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya “Apakah kalian sudah melihat Ki Tanu Metir datang?”