Kamis, 10 Juli 2008

Api di Bukit Menoreh 58

Hampir serentak para penjaga diregol itu menjawab “Belum”
Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah “Aneh”
“Kita harus segera memberitahukan kepada kakang Untara” berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya air hujan yang lebat diantara suara angin yang kencang. Ketika kilat memancar sekali dilangit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan seperti menggeliat diputar angin.
“Hujan dan angin” desis salah seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia bergumam seperti kepada diri sendiri “Tetapi besok pagi kita akan mengalami prahara yang lebih berbahaya”
“He?” bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng “Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berguman “Itukah sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul dipringgitan?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun terasa juga dada mereka berdebar-debar.
“Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu”
“Kalian akan basah kuyup”
“Tidak apa-apa. Hanya basah karena air” sahut Agung Sedayu.
“Bukan basah karena darah” sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjagapun tertawa.
Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka berdiri diteritisan regol halaman. Pelita dipendapa yang menyala-nyala hampir-hampir tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
“Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara”
“Mari” sahut Swandaru.
Dan keduanyapun kemudian terjun kedalam air yang tergenang dihalaman dan berlari menembus kepekatan air hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak.
Demikianlah mereka naik kependapa, maka pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda keringpun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana mereka.
Beberapa orang yang duduk-duduk dipendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ketangga pendapa.
“Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun terdengar Swandaru menyumpah “Setan. Basah kuyup juga pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kidal”
Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata “He, seperti tikus terjerumus dalam parit”
Swandaru bersungut-sungut. Segera ia berlari lewat pintu gandok masuk kedalam rumah mencari ganti pakaian. Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu dipendapa. Pakaian yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada dipringgitan.
Tetapi terasa dingin air hujan itu sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk kepringgitan. Beberapa orang yang duduk dipringgitan segera berpaling. Ketika Untara dan Widura melihatnya, maka merekapun tertawa pula.
“Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang yang kau cari itu”
Agung Sedayu segera bersembunyi dibelakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah duduk kembali didalam lingkaran para pemimpin kelompok laskar Pajang.
“Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?” bertanya Untara
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala, jawabnya “Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa”
“Ya, aku melihat kalian basah kuyup”
“Ketika hujan turun aku sudah sampai diregol halaman ini” sahut Swandaru “Kami basah kuyup dalam jarak yang hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai kependapa”
“Alangkah derasnya hujan” desis Widura.
“Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan” Untara menyambung.
“Ya” jawab Agung Sedayu
“aneh” gumam Untara “Dalam keadaan yang gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu, apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang tua itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah memberikan setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan seandainya Ki Tanu Metir berada diluar lingkaran pertentangan antara Jipang dan Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan, apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan Macan Kepatihan, maka disini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedayu parti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang telah memberitahukan bahwa didalam lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini orang tua itu tidak menampakkan diri?
Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan bertempur dalam gelar yang sempurna?
Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata “Untara, kita harus segera menentukan sikap”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya “Ya paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan”
“Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada diantara kita”
Sekali lagi Untara mengangguk “Ya” jawabnya “Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita”
Semua yang duduk dipringgitan itu tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
“Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wiratamtama” desis Widura.
Untara menggeleng, katanya “Tidak paman. Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk melawan hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang dapat membawa nyawa rangkapan didalam tubuhnya? Tetapi cerita itu ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu?
Yang terdengar kemudian adalah suara hujan yang gemerasak diatas atap rumah kademangan. Disana-sini tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali terdengar daun pintu terbanting.
Dipendapa nyala pelita terayun-ayun dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun, untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam.
Tak seorangpun yang duduk dipringgitan segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi hantu yang menegakkan bulu tengkuk.
“Kita harus segera mengambil keputusan“ terdengar Untara menggeram.
Hampir serentak semua orang dipringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah aku mencoba menentukan orang itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting telah mendapat tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itupun tidak mungkin aku lepaskan. Sedang paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Disayap yang lain Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa. Kalian harus berada diujung barisan, sebagai inti kekuatan yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun didalam dada mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak dapat menolak perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri? Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka.
Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai dimana kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan Kepatihan atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu terdengar Untara bertanya “Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”
Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala sambil menjawab hampir bersamaan “Kami junjung kewajiban itu”
“Bagus” sahut Untara “Disamping kalian berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja mati-matian menahan orang tua itu”
Hudaya dan Sonyapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu tampak berkerut-kerut.
Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya. Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka segera Untara memutuskan apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah kemudian Untara berkata kepada Widura “Nah, sekarang bagaimana dengan rakyat Sangkal Putung paman?”
Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya “ kakang Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”
Ki Demang termenung sesaat. Terbayang diwajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama ini bekerja untuk kademangan dan rakyat dikademangan ini, maka semua bahaya itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga Untara dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka setelah berpikir sejenak, maka katanya “Perempuan dan anak-anak harus kita singkirkan”
Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan yang lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung. Tetapi bagaimanapun juga, kira-kira harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup. Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat diselamatkan dari keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang berhasil masuk kedaerah kademangan ini maka mereka harus dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung.
Ki Demang itupun kemudian berkata pula “Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari, sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara dapat dipersiapkan desa diujung timur kademangan ini”
Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan terdengar Widura berkata “Kalau demikian, maka pembicaraan kita sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang pengungsian perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka menikmati ketenangan ditengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam penuh karena kegelisahan”
Pertemuan itupun kemudian diakhiri. Para pemimpin kelompok segera kembali kekelompok masing-masing. Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama mereka tidak maju kegaris perang, maka besok mereka akan berada didalam gelar yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali nafas keprajuritan mereka.
Selama ini mereka merasa tidak lebih dari sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan penyelesaian, meskipun Adipati Jipang telah terbunuh dimedan peperangan.
Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran dalam cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung halaman mereka besok.
Para prajurit yang memang belum lelap tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun disekeliling pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang penting.
Beberapa orang mendapat tugas khusus untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang diantara mereka adalah petugas-petugas yang harus siap diatas punggung kuda masing-masing, yang apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera mencapai tempat-tempat yang dikehendaki.
Sendawapun segera kembali ke banjar desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya titik-titik air yang berjatuhan dari langit,
“Alangkah lebatnya hujan ini” desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya” sahut kawannya “Hampir aku tidak dapat bernafas”
Dan keduanyapun berlari semakin kencang, agar mereka tidak membeku dibawah hukan yang seakan-akan menjadi semakin lebat.
Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat kemudian berdiri termangu-mangu dipendapa kademangan. Mereka harus segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik didalam hujan yang lebat. Karena itu maka Swandaru kemudian berkata “Aku akan ganti pakaian kembali”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku harus menari-nari didalam hujan itu kembali?”
Agung Sedayu termenung sejenak. Tr jawabnya “Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah pula, aku tidak lagi punya ganti besok”
“Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya “Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata “Cepat, gantilah. Aku juga mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar lagi kita akan sampai ketengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah banyak. Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak”
“Biarlah orang lain mengurusnya” sahut Swandaru “Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanyapun telah berganti pakaian dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat mereka menuruni halaman dan berlari keregol halaman.
Suasana para penjaga diregol halaman telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat mereka manfaatkan.
Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk memberitahukan kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin menggenggam senjata, melakukan pengawalan di kademangan.
“Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.
“Jangan” cegah Swandaru “Tidak banyak manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat akan berbuat tanpa dapat dikendalikan”
“Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah diseluruh kademangan?”
“Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.
“Tidak” sahut Jagabaya itu “Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri”
“Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka ketenangan, bahwa di kademangan akan ditempatkan pengawalan yang kuat. Para peronda disegenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada diantara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari kademangan ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa, membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka harus beristirahat menjelang fajar besok”
Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian “baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya”
Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah berada kembali dibawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan rumah Ki Jagabaya, akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
“Kemana kita pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
“Memanggil anak-anak” sahut Swandaru.
“Ya, tetapi kemana? Dirumahnya masing-masing atau kegardu mana yang kita tuju pertama-tama?”
“Kerumah Tima. Mungkin anak-anak berada disana”
Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua berlari kerumah Tima yang sedang merayakan selapan bayinya.
Sampai dirumah Tima, Swandaru langsung meloncat menyusup regol masuk kedalam halaman. Dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir disetiap tiang-tiangnya.
Beberapa orang terkejut melihat dua orang berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian hampir serentak setiap mulut bergumam “Swandaru dan Agung Sedayu”
Tima yang melihat kehadiran mereka berdua segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta “Oh, marilah, marilah tuan berdua. Akh, aku tidak sempat menyongsong kerumah. Hujan lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”
“Tidak” sahut Swandaru “Aku memiliki aji pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api”. Namun suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.
Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.
“Mari, mari silakan naik” Tima mempersilakan.
“Sebenarnya sejak senja aku ingin datang kemari” berkata Swandaru kemudian “Tetapi aku belum sempat. Hujan telah tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya”
“Karena itu marilah naik” sekali lagi Tima mempersilakan.
“Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup”
“Tidak apa, silakan”
“Kami bisa membeku kedinginan”
Tima menjadi bingung. Apakah maksud Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata “Apakah kalian memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”
“Terima kasih” sahut Swandaru “Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi basah kuyup”
Tima menjadi bingung. Namun kemudian terdengar Swandaru berkata “Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung yang kebetulan berada dirumah ini”
Tima mengerutkan keningnya. Terasa dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Duduklah” minta Swandaru “Aku tidak ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap”
Tetapi anak-anak muda dipendapa itu justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi “Duduklah. Kalau kalian berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak”
Namun kali ini suara Swandaru itupun seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan Agung Sedayu. Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba ia meloncat turun kehalaman, kedalam hujan yang masih tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru disela-sela derai tertawanya “Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku lagi”
Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat didalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpin-pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka, sehingga karena itu, maka ada diantara mereka yang benar-benar meloncat pula kehalaman, dibawah curahan hujan yang lebat.
“He, kau gila” teriak Swandaru. “Tunggulah, aku akan naik lagi kependapa”
Namun anak-anak muda itu tersenyum, jawabnya “Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira kakang Swandaru tidak akan datang ketempat ini dengan pakaian basah kuyup dan tanpa baju”
“Anak setan kau” umpat Swandaru sambil tertawa “Baiklah, marilah, ikuti aku keteritis gandok”
Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju keteritis gandok.
Ketika mereka sudah berada ditempat yang teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan.
“Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang berada ditempat ini?”
“Ya kakang. Pemimpin kelompok dari kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok delapan sedang bertugas digardu selatan”
“Besok kalian berada langsung dibawah pimpinan ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama kakang Agung Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada diantara kalian. Ingat, bahwa satu kelompok laskar pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman. Kalian berada dibawah tuntunan mereka bersama beberapa orang Sangkal Putung sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan kalian dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan”
“Baik kakang” jawab mereka hampir bersamaan.

14 komentar:

rizal mengatakan...

Saya gembira sekali mengetahui antusiasme sahabats atas blog ini. Khusus buat bang Doel, boleh kirim jilid 11 nya dahulu kesaya, nanti berdasar dukungan teknis dari sahabat yang lain (mas GI, bensroben, Julius, doedy, kris, dhe2, dll OK ya?) akan saya coba convert jpg nya ke txt atawa doc. Dan bila dalam 1 minggu saya tidak sanggup, akan saya distribusi ke sobats yang sudah siap bantu. Diharapkan dalam 1 minggu berikutnya sudah ada hasilnya.
Dg demikian dalam 2 minggu kedepan kita sudah ada alternatif lain selain retype yg bikin mataku tambah minus 1/2 hehehe...cucian ya.. Ok ditunggu jilid 11nya ya bang Doel
Untuk jilid 12 dst, akan kita atur pembagian tugasnya setelah itu.
Secara saat ini retype saya tinggal 2 posting lagi utk menyelesaikan 10 jilid pertama. Akan saya upload sudah dalam bentuk jilid lengkap dg ilustrasi dalamnya. Ditunggu aja ya
Wassalam

Anonim mengatakan...

REBES BOS.
TANCAP TERUS. DHE2 SIAP PROOF. DITANGGUNG BERMUTU.
(DHE2)

Unknown mengatakan...

tengkyu mas Rizal..tengkyu
iya pake software OCR aja biar ga cape ngetiknya, jadinya bisa cepet..he..he..

Anonim mengatakan...

Telah saya kirim sebagian Jilid 11 ke bung Rizal via mail. Maaf agak besar > 2MB, semoga dapat di-download. Buat temen2 yg lain harap sabar menunggu. Cover/gambar muka Jilid 11, sy juga punya, tapi biar Bung Rizal yg mengatur. Tolong buat temen2 yang punya cover Jilid 18 dan 20, sy dikabari. Sy masih nunggu konfirmasi diterimanya kiriman sy dari Bung Rizal. Salam dr Bang Doel

rizal mengatakan...

Ok Bang Doel,
kiriman sdh diterima dg baik. Saya coba convert ya, trima kasih atas dukungannya

Unknown mengatakan...

Tetap sehat, tetap semangat, pokok ee.. mak nyuss....

Anonim mengatakan...

Sedikit Bekal Bagi Proof Reader:
Setelah saya amati, ABM yang kita nikmati selama ini banyak mengandung kesalahan gramatikal dalam konteks penggunaan bahasa tuis yang benar. Ini bisa dimaklumi karena ABM adalah naskah bersambung di suatu koran (lokal). Tidak banyak koran (bahkan yang nasional) yang memiliki editor bahasa berkemampuan memadai. Menurut saya hanya koran Kompas dan majalah Tempo (alm) yang memiliki editor bahasa yang baik. Oleh karena itu, menurut saya, kita harus berani mengoreksi kesalahan itu. Memang, Bang Doel menghendaki agar ABM yang akan kita sajikan sama persis dengan aslinya (meskipun dengan kekeliruannya?). Bagaimanapun apa yang akan kita tampilkan sesungguhnya tidak bisa lagi disebut orisinal.
Berikut ini saya ringkaskan beberapa kekeliruan gramatikal yang paling banyak terjadi.
1. Penulisan kata depan “di” dan “ke” harus dipisah. Saya berani mengatakan lebih dari 90% penulisan kedua kata depan ini salah karena tidak dipisahkan dengan kata yang mengikutinya. Contohnya: dipringgitan, didapur, diatas, disamping, diantara, didalam, kehalaman, dsb. Dalam contoh tersebut, “di” dan “ke” adalah kata depan (bukan awalan). Jadi penulisan yang benar adalah di pringgitan, di dapur, di samping, di antara, ke halaman. Cara sederhana untuk membedakan kata depan dari awalan: jika kata yang mengikuti menunjukkan tempat maka “di” dan “ke” adalah kata depan. Bahasa Jawanya "di" = "ing", "ke" = "nyang". Tetapi bedakan: dibawahi, didalami, …
2. Kata sebutan yang diikuti dengan nama nama, harus diawali dengan huruf kapital. Jadi, yang benar adalah Kakang Untara, Adi Sedayu, Paman Widura, dll. Bukan: kakang Untara, adi Sedayu, paman Widura, dll.
3. Huruf kapital juga digunakan dalam percakapan langsung meskipun kata sebutan itu tidak diikuti nama. Misalnya: “Apakah yang akan Kakang lakukan?” tanya Sedayu.
4. Huruf kapital juga digunakan untuk menyebut arah mata angin: Utara, Timur, Barat, Selatan, Barat Laut, …
5. Penulisan dialog:
BENAR: “Baik Kakang,” jawab mereka hampir bersamaan.
SALAH: “Baik kakang,” jawab mereka hampir bersamaan. (Huruf kapital)
SALAH: “Baik Kakang” jawab mereka hampir bersamaan. (Tidak ada koma)
SALAH: “Baik kakang” jawab mereka hampir bersamaan. (Kapital + koma)
BENAR: Katanya kemudian, “Baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya.”
SALAH: Katanya kemudian “Baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya” (kurang koma dan titik)

Demikian, semoga bermanfaat.
DHE2

Anonim mengatakan...

DUh...... kapan lagi nih sambungannya??....
terima kasih banget ya...., udh ga sabar nih...

Anonim mengatakan...

Buat Mas DHE2..
Trims soal ejaan.
Saya jadi inget nih..., saat masa sekolah dulu perihal ejaan bhs Ind yg salah.., ADBM memang banyak banget yg salah mulaipenempatan kata depan, penggunaan huruf kapital dsb. Tapi dimaklumi banget karena novel tsb lahir sebelum EYD dan penyempurnaan bahasa ind berikutnya. Saya baca ADBM saat masih kelas 3 SMP, tahun 72, saat itu ejaan yg dipake emang masih belum spt sekarang, masih pake "Ejaan Baru"..., belum EYD dsb...
saya rasa ga begitu mengganggu kok..,tp boleh2 juga kalo mas Rizal ada waktu koreksi??.., duh capek banget ya Mas??...
Oh ya Tempo belum alm, msh ada Biro yg koreksi Bhs Indo nya tuh...

dewo

Anonim mengatakan...

Buat Mas Dewo:
Trims juga koreksinya. Maaf, saya ingat TEMPO dibreidel jaman HARMOKO. Nggak tahu kalo lahir kembali. Menurut saya TEMPO adalah majalah yang memiliki posisi istimewa bagi bangsa Indonesia. Tetapi, dulu, ada yang paling tidak saya sukai, yaitu kolomnya MAW Brauwer. Mudah2an kolom seperti itu sudah diganti sekarang.
Thanks,
DHE2

Anonim mengatakan...

klu dilihat ejaannya emang suaalaah gitu deh..tapi klu lihat SDM para relawan yg sdh "mau" dng ikhlas sumbangkan energi untuk puaskan orang laen utk sekedar baca ADBM dng apa adanya...menurutku mereka itu sdh tergolong para "ahli surga"
Tapi klu mau diperbaiki dng sempurna, ya konsekuensinya harus mau ikut2an para jurnalis di KOMPAS at TEMPO atau ada yg mampu dan berkompetensi utk jadi EDITOR?

Anonim mengatakan...

"Ngger, para penikmat dan pemerhati serial ADBM". Sesuatu yang salah itu tentu tetap keliru, termasuk cara tulis cerita ADBM. Namun menurut eyang ada sesuatu yang lain jika kita kembali ingin kembul (bareng) menikmati ADBM ini. Maksud eyang, para pembaca sekarang belum tentu belum pernah membaca sebelumnya. Seperti eyang misalnya, meski tidak 100 persen dari tulisan yang ada, dari awal sampai akhir eyang udah nikmati/baca serial adiluhung ini lewat pinjam sana sini, termasuk tiap pagi berdiri di depan papan kaca milik KR di jln Mangkubumi JK. Ada kenikmatan nostalgi tersendiri, sedikit romantis-emosional begitulah. Jadi seandainya ada "buanyak" salah dlm dimana atau kapan menggunakan kata depan atau awalan, yah...eyang pikir itu bagian dari "keanehan yang ngangeni", jadi yo 'ra opo-opo to. Eyang nggak tau, apa menara piza yang "dhoyong" (miring) itu bakal nggak berkurang keanehannya manakala dibuat tegak lurus kembali. Ayo ngger Dhe2 dkk, mari tetap bahu membahu dalam menikmati, mengobarkan kembali jiwa/semangat nialai2 filosofis ADBM sambil menanamkan rasa cinta perbukitan Menoreh dan alam sekitarnya nan sejuk dan membumi.
Salam dari eyang Supe Kewolo di Samarinda.

Anonim mengatakan...

Beberapa hari tidak sempat nengok, ternyata komentar dan diskusinya semakin ramai. Hal ini menandakan animo dan antusiasme yang semakin menggelinding bak bola salju.

Usulan Mas Dhedhe untuk melakukan revisi sungguh luar biasa. Aku sebenarnya juga termasuk yang sedikit sensi untuk urusan grammar dan penggunaan awalan yang salah. Ini kutuk karena dulu pernah sedikit belajar bahasa Latin yang memang njlimet dan pernah jadi editor amatir majalah kampus.

Kompas dan Tempo memang jempolan urusan ini. Bahkan soal mensosialisasikan istilah baru, Kompas lebih punya 'power' dibandingkan Pusat Bahasa Indonesia yang pernah dikomandani Anton Moeliono. Dulu inget waktu kecil Oomku yang di Kompas 'nglarang' para keponakannya di Jogya mbaca KR. Belakangan baru tahu alasannya, yaitu bahasanya kurang baik untuk pendidikan bahasa, tapi lebih-lebih cara penyampaikan faktanya juga sering vulgar buat kita-kita yang masih di SD kala itu. Tapi ya gimana ga dibaca, lha wong itu corong beritanya orang Jogya, dan ada Agung Sedayu yang bikin ketagihan... Kalau pas Pak SH Mintardja sakit dan ga bisa ngirim cerita ya kadang aku ga nerusin baca korannya kok...

Nah, dari beberapa pointers usulan Mas Dhedhe untuk pembetulan mungkin bisa kita bicarakan mana yang kelihatannya masih memungkinkan untuk kita lakukan. Dari lima points yang disebut Mas Dhedhe, menurutku points 1 - 4 kelihatannya masih mungkin, tapi kalau masuk ke point 5 kok tampaknya lumayan njlimet lho....

Lha wong cerita ini puaanjang banget. Lagi pula cerita ini ditulis memang sebelum ada EYD. Aku juga tidak tahu apakah setelah direvisi 'roh-nya' akan sedikit berkurang atau tidak. Paling tidak ada komentar dari Mas Dewo, Mas Herry dan Eyang Supe di Samarinda, untuk hal ini.

Tapi ya sumonggo terpulang pada komitment teman-teman proof reader mau sejauh mana kita melakukan editing.

Buat Bang Doel, matur nuwun banget lho ya. Kiriman ki Sanak bikin bola salju ini menggelinding makin cepat. Mudah-mudahan berkat partisipasi teman-teman semua, Mas Rizal ga jadi nambah minus matanya. Kasihan nek nambah terus minusnya, ntar ngga bisa pakai ajian sorot matanya ....


Wassalam,
Julius - Tbt.

Anonim mengatakan...

Ada Terusannya lagi gak yah, . .. ..infonya dong, .. ..trims buat yang telah berbaik hati sdh posting crita ini .. wassalam