Selasa, 04 Desember 2007

Api di Bukit Menoreh 10


Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya “Adakah kau sempat beristirahat?”
Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan “Ketika aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring”
Widurapun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian duduklah diatara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang melekat diwajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal Putung, mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata dalam, “Angger, kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”.
Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiripun gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin bingung ketika Demang itu berkata “Ternyata anggerpun tidak sampai hati membiarkan laki-laki yang berada dikademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat betapapun lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik dipendapa dan dihalaman, sehingga dengan demikian setiap orang yang berada dikademangan ini, baik perempuan dan anak-anak yang mengungsikan diri, maupun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab ada diantara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger ini”.
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung.
Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, katanya didalam hati “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut dihadapannya, agaknya tak berkenan dihatinya”
Tetapi Widura itupun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widurapun kemudian menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu.
Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak saja mereka yang berempur disimpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada dikademangan itu mendapat bagiannya.
Widurapun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya menelan segumpal demi segumpal nasi kedalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah.
“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya lukamu lekas sembuh”
Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat.
Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Ditempatkannya beberapa orang pengawas dluar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur dimalam hari.
Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur dipringgitan bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu dapat tidur dengan tenteram diatas tikar pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya masih saja duduk disampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga keluwih.
Memang malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara.
Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada ditempat ini. Disini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus Sedayu tak menggangguku lagi”
Widura itupun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat perawatan yang lebih baik. Dan ditempat ini, keamanannyapun akan lebih baik pula. Karena dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang lawannya datang mencarinya.
Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itupun hanyut kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. Untara adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar didalam alam yang bebas dan penuh gairah. Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi diantara sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Disamping itu, anak itu dengan tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Kerumah sahabat-sahabatnya. Tidak saja didaerah Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari pulau ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah tentu diperjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang ayahnya memaksanya untuk melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang ayahnya sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang ayahnya itupun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata. Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih senang merendam dirinya dirumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan bekerja dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan.
Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. Apalagi didesak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang lahir terakhir itupun laki-laki pula. Agung Sedayu.
Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali menghindari setiap pertentangan yang timbul. Didalam pengembaraannya, kemudian ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup diantara gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya kedalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan daripadaNya. Namun karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang, maka apabila manusia bertobat, akan diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan.
Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri.
Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, dan ditemuinya sedikit lecet dilututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itupun mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap hidup atau mati seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung yang paling lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang tajam atas kekhususan anak-anaknya itupun telah mencoba mengembangkannya.
Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun demikian berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan memandang segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri.
Angan-angan Widura tentang masa lampau itupun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihantnya Widura masih duduk disampingnya, maka terdengar ia bertanya “Mengapa paman belum tidur?”
Widura menggeleng “Belum Sedayu”
“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?”
Sekali lagi Widura menggeleng “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum lewat tengah malam”
Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera tertidur kembali.
Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga diregol depan.
“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka.
“Tidak” jawab orang itu.
“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata “Tugasmu tinggal sesaat lagi. Rombongan tengah malam kedua telah siap”.
“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka.
Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Dipendapa dilihatnya beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada diantaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba dahi mereka dan berkata “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh”
Kemudian ia berjalan diantara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. Disudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang sedang tidur.
Ketika ia melangkah masuk kepringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya orang itupun belum tidur juga. Baru saat kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya.
Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan laskar Widura itu kedalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya.
Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat.
Demikianlah Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak buahnya serta dengan mereka. Sebab diperjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati.
Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan ditangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lainpun segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim orang untuk menjemputnya.
Kali ini Widura dan rombongannya berjalan kearah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya.
Disepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan berpacu sambil memejamkan matanya.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai dipadukuhan kecil yang tidak begitu ramai. Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal tubuh itupun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal dipinggir-pinggir jalan, berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorangpun dari mereka yang mengenalnya.
Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk disebarkan dipadukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat didesa-desa itupun tak akan dapat memberikan perlawanan apapun seandainya orang-orang dalam satu gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka memberikan segala barang miliknya.
Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus dihati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera melihat tikungan dihadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa tengkuknya meremang
Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka dibulak yang panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata “Diujung bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Kiai Gringsing” Widura mengulang.
“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh dibelakang, maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain gringsing dan menyebut dirinya Kiai Gringsing pula.
“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya”
“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya adalah sebuah cambuk kuda”
Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kudapun belum pernah didengarnya. “Orang aneh” desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan senjata itu hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan musuhnya tanpa senjata apapun”
Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan diujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus.
Ketika Agung Sedayu melihat desa dihadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya didalamnya tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir.
Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi saksi.
Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah mendahului Widura.
Akhirnya desa dihadapan mereka itupun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi.
Agung Sedayu segera menuju kerumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, kemudian sampailah mereka disebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, namun sepi.
Maka Agung Sedayupun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang memanggil “Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura mencegahnya “Sedayu, jangan masuk”
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada didalamnya”
“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayupun meloncat dan berlari menjauh.
Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, paman. Dan kakang Untara ada didalamnya”
Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan.
“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”
Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Juga kebelakang rumah?”
Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang kerumah ini sesudah aku”
Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya “Lihatlah kebelakang”
Dua orang dari merekapun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati kebelakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Dibelakang rumah itu, terdapat sebuah kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itupun dilaporkannya kepada Widura.
Widura mengangguk-angguk “Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir sendiri” gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada Agung Sedayu Widura bertanya “Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau datang?”
“Aku sangka tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-kaki
kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu.
Widura mengangguk-angguk. Iapun tak melihat bekas-bekas kaki kuda diantara tanaman yang rusak itu. Karena itu Widurapun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir. “Kita lihat rumah itu” katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata “Awasi keadaan”.
Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju kepintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia memandang kedalam. Sepi, dan telinganyapun tidak mendengar sesuatu. “Ki Tanu” ia memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apapun didalam rumah itu.
“Hem” geramnya “kosong”.
Sedayu yang selalu mengikutinyapun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan diamben tengah. “Itulah” katanya.
“Apa” Widura terkejut.
“Bantal” jawabnya.
“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?”
“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” jawab Sedayu dengan cemas.
Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi dengan Untara? Karena itu Widurapun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu didalam sentong-sentong itu. Disentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok kedalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia melihat noda-noda merah didalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah disembunyikan didalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan mengganggu pekerjaannya.
Ketika Widura sudah pasti bahwa didalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka iapun segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah yang kira-kira sudah terjadi.
Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan dilorong desa itu. Tetapi orang itupun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang dihalaman rumah Ki Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menolehpun tidak.
“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangna.
Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka iapun segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itupun segera dapat disusulnya. “Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya.
Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh ketakutan ia menjawab “Aku….. aku tidak berlari tuan”
“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah”
Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. Didalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriyapun pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat bangun dari pembaringannya.
Karena itu, maka demikian orang itu sampai dihadapan Widura dan melihat pedang Widura yang besar tergantung dipinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek “Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan”
Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya “Kenapa ki sanak menjadi ketakutan?”
“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar pertanyaan Widura.
Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya telah memutih. “Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah disekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati Widura bertanya “Ki Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini”
“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya dengan iba.
Widura menjadi semakin heran “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya.
Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metr, tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri dihapannya itu, giginya telah dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan.Widura akhirnya menjadi jengkel. Dengan lantangnya ia membentak “Diam!. Jawab pertanyaanku!” (bersambung)

Tidak ada komentar: