Selasa, 04 Desember 2007

Api di Bukit Menoreh 9


Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia menyerang sambil berteriak “Sidah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-main”
Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap syarafnya. Dengan geramnya ia memjawab “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta”
Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun didalam hatinya tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata didalam hatinya “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti membekukan segenap urat darah” Walaupun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang.
Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian itu,Citra Gati tersenyum. “Hem, desisnya alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada diantara kita.” Tetapi Citra Gatipun tidak sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera menyelinap diantara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya “Kita yakin atas kemenangan kita, majulah.”
Kemudian Citra Gati itupun berdiri didalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk melawan Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti.
Tetapi anak buah Macan Kepatihan itupun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami cedera karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu dengan serta merta dua orang lainpun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum berubah. Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan setiap serangan dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan untuk membantu tidak sedemikian banyak seperti yang duharapkan. Demikian agaknya orang-orang Jipang itupun telah bersiap pula apabila pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu.
Keadaan Sidantipun semakin lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan kemudian tak dapat diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru.
Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-keujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda Sangkal Putung itupun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri disekitarnya. Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga, bahwa ia harus mempergunakan otaknya.
Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widurapun menjadi cemas. Karena itu segera ia meloncat,menyusup diantara pertempuran itu mendekati Sidanti yang telah hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya digaris pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itupun telah memaksanya untuk bertempur sekuat tenaga.
Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada disampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya dihadapan dadanya “Aku terpaksa agak lambat menyambutmu Angger.”
“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa pedang yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah.
Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya.
Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya meleleh dari luka.
“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan itu dengan lemahnya tergantung disisinya tanpa dapat digerakkannya.
Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tanaganya telah susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan yang berluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya.
Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. Dengan senjatanya ditangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani datang mendekatinya. Walaupun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi lawan-lawannya.
Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya “Paman Widura, kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh”
“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura “adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku disini. Nah, jangan cari yang tidak ada”
“Bagus” teriak Tohpati “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan kini paman telah datang menyambut aku”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, betapapun sakti musuhnya itu.
Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.
Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit yang berpengalaman.
Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu maka walaupun Tohpati adalah seorang yang sakti, namun Widurapun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar melingkar-lingkar dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun pedang Widurapun memiliki kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung jarum.Disudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang semakin berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati yang bertempur ditengah-tengah sawah itupun kemudian semakin bergeser mendekati induk pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang diantara mereka terdapat pula orang-orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan rombongan anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan.
Namun keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa diatas segala orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apapun yang akan terjadi pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widurapun segera mengerahkan segala kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil memperpanjang waktu perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, sehingga dengan demikian maka keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan.
Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itupun terjadi. Setiap kali Tohpati dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnyapun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu diperhitungkan.
Karena itulah maka Tohpati itupun segera mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi betapapun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi diantara laskarnya. Ia tahu benar, bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan iapun telah berusaha melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting ditanah dengan darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan untung rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. Apakah orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar bersama-sama.
Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung didalamnya nafas maut.
Widurapun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. Karena itu ia masih tetap tenang apapun yang terjadi.
Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itupun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung disekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa langkah dari titik benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itupun terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar tongkatnya dan menyerangnya.
Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak “Swandaru, jangan gila. Pergilah”.
Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpasa melawan pedang yang terjulur langsung kedadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura.
Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, betapapun besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu , bahwa disamping ilmu-ilmu itu, maka Tohpati maupun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalam tubuh mereka masing-masing. Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya?
Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan Widura. Dengan demikian korban dikedua belah pihakpun semakin bertambah-tambah. Apalagi dipihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpatipun segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apapun apabila ia memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak “Tinggalkan pertempuran. Segera!”
Laskar Jipang itupun adalah laskar yang terlatih. Merekapun tahu benar, bagaimana mereka harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil kedepan melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itupun kemudian meloncat kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan tangkasnya ia memotong laskar pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan anak buahnya sejauh mungkin.
Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri. Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itupun tidak berlari bercerai-berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis ke garis berikutnya.
Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang pemimpin yang baik. “Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya. “Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa”
Laskar Tohpati itupun kemudian mencapai sebuah desa dibelakang garis perlawanan mereka. Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran diantara pohon-pohon yang tumbuh disana-sini. Diantara pohon-pohon liar dihalaman yang kurang terpelihara dan diantara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura itupun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada disekitar mereka. Pohon itu akan dapat menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul.
Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan memaksa kedua laskar itu bertempur kembali ditempat yang terbuka, namun korban akan menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah “Hentikan pengejaran”. Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya.
Demikianlah maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa matahari telah berada diatas kepala mereka.
Widurapun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Seiapakah yang cedera diantara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas mereka.
Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan maupun lawan. Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas diantara kawan dan lawan. Apalagi diantara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang berbahaya.
Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga dihalaman dengan senjata apa saja ditangan mereka.
Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, segera mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu.
Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu mereka menolong kawan-kawan yang terluka.
“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka.
“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari”
“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?”
“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. “Sebagian dikademangan dan sebagian di lumbung desa”
“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan menjadi pahlawan”.
Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula “Bagaimanakah dengan laskar Macan Kepatihan?”
“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak akan datang kembali”
“Mampuslah mereka” geram orang itu.
Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab.
Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan didada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka jatuh menjadi banten kampung halaman.
“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang Jipang yang terbunuh itupun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis “Alangkah kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat dipisahkan dari kekejaman, tangis dan penyesalan.
Maka, dipendapa kademangan itu, diatas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur.
Sedayu, yang berada dikademangan itu pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya masuk kepringgitan. Terbata-bata ia bertanya “Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu paman?”
Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan.
Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan kesudut ruangan, meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya.
Ditangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan berkata kepada Citra Gati yang duduk disampingnya “Untunglah, bukan kumisku yang terkelupas”
“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah olehnya betapa tengkorak kuning diujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya. “Ngeri”, gumamnya.
“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran.
“Tengkorak itu” jawab Citra Gati.
Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?”
“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanyapun terdiam. Kedua-duanya dicengkam oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara.
Sidanti tidak tampak duduk diantara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya disana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu.
“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas.
Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa.
Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil “Mirah, Sekar Mirah”
Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya “Kakakmu memanggil”
Sekar Mirah menyerutkan keningnya “Biarlah. Kakang terlalu manja”
Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru “Mirah, he Mirah. Dimana kain parangku?”
“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya.
“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.
Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti “Jangan terlalu manja Swandaru”.
Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu “Setan, Sidanti itu. Awas, kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal bersama Sindanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya.
Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun daun kemuning. “Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera ia kembali masuk kedapur dan berlari kependapa sambil menyambar sepotong paha ayam.
Dipringgitan, Widura kini sudah duduk dimuka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa yang terjadi digaris pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata “Sebenarnya kami harus berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari kehancuran mutlak”
Keduanya kemudian berdiam diri. Namun dihati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu ia bertanya “Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu datang kembali?”
“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya iapun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai.
“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu.
“Bukankah disini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.“Ah” Sedayu mengeluh. (bersambung)

1 komentar:

Bambang Priambodo mengatakan...

aku suka banget cerita api di bukit menoreh. kadang aku berkhayal aku jadi agung sedayu atau pangeran benawa, kemudian orang lain jadi ki gede, ki waskitha, atau penjahat-penjahat.