Senin, 10 Desember 2007

Api di Bukit Menoreh 11


Orang itupun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk ditanah dengan hati yang dicengkam kekawatiran.
“Siapa namamu?” bertanya Widura.
“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar.
Nama yang aneh. Widura sempat bertanya “Kenapa Sepi?”
Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya “Aku tidak senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula “Dimana rumahmu?”
“Disebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.
“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”.
“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu.
Widurapun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin takut kepadanya. Katanya “Kau kenal penghuni rumah ini?”
“Kenal tuan” jawab orang itu.
“Namanya?” bertanya Widura.
“Ki Tanu Metir”
“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Kesawah barangkali? Atau kesungai?”
Orang itu menggeleng, jawabnya “Aku tidak tahu tuan”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan “Ki Sanak, kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?”
Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab “Aku tidak tahu tuan”
Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu ditariknya berdiri. Katanya “Berdirilah ki sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap dengan baik”.
Dengan susah payah orang itupun berusaha berdiri dan tegak diatas kedua kakinya. Namun lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa disekitarnya berdiri beberapa orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang masing-masing. Meskipun demikian orang itu masih mendengar Widura berkata dengan sareh “Ki sanak. Aku melihat ketidakwajaran didesa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak menyenangkan. Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi untuk seterusnya mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat mendatang”.
Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya “Siapakah tuan-tuan ini?”
“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura.
“Oh” desis orang itu. “Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?”
Widura menarik nafas. Orang itu telah menyebut nama Alalp-alap Jalatunda. Sedayupun terkejut pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong “Apakah Alap-alap Jalatunda datang kemari?”
Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain berganti-ganti.
“Jawablah” minta Widura.
Orang itu mengangguk “Ya” katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa orang. Diantaranya bernama Plasa”
“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut.
“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” jawab orang itu.
Widura menarik nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya sendiri “Setan Ireng itu sampai juga disini”. Maka katanya seterusnya “Apakah yang sudah mereka lakukan disini?”
Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka jawabnya kemudian “Tuan. Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang kerumah Ki Tanu Metir”.
Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia bertanya “Adakah mereka diketemukan?”
“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka, disembunyikan” jawabnya.
Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya “Dimanakah rumah Kriya itu?”
“Disudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi.
“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?”
“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi.
Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa Sepi kerumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk kedalamnya.
“Siapakah orang itu?” bertanya Widura.
“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi. “Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa orang-orang yang memukul suaminya kemarin datang kembali.”
Widura mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka tidak menjadi semakin ketakutan. “Masukkah Ki Sanak” berkata Widura “Katakan kepadanya, bahwa aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”.
Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian iapun berjalan dahulu, masuk kerumah Kriya yang bungkik. Orang itu masih berbaring diamben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut disampingnya sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba melihat seseorang begitu saja sudah berdiri disampingnya.
“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi.
“Oh” istri Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya “Kakang, siapakah orang-orang yang memasuki halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?”
Wangsa Sepi memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata “Jangan takut Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata “Jangan takut adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu dengan adi, justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda”
Mata Kriya yang kecil itupun terbelalak, “Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”.
Namun mata Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti, mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila benar orang-orang yang datang ini justru mencari Alap-alap Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya punggung merekapun dipatahkan seperti punggungnya.
Maka katanya kemudian “Silakan mereka masuk”.
Widura dan Sedayupun kemudian masuk kegubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru pengab dan sakit yang amat sangat dipunggungnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
“Jangan bangun” berkata Widura, “Supaya sakitmu tidak bertambah parah”.
Kata-kata yang pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata “Silakan tuan-tuan. Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”.
“Jangan diributkan” sahut Widura. “Aku hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau menceritakan, apa yang telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?”
Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang yang datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata “Mereka telah mencoba memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun Ki Tanu Metir tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itupun menjadi marah. Tetapi aku tidak tahu, apa yang terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”.
Widura mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung Sedayu menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya “Jadi kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?”
“Tak seorangpun yang tahu” jawab Kriya. “Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan orang yang disangka disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng”
Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba untuk menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya. “Hem” ia menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan didalam bakul dengan meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa?
Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh pamannya.
“Ki Sanak “ bertanya Widura kemudian “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?”
Kriya menggeleng lemah. Jawabnya “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak pasti”
Widura irupun kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang pintu. Diluar, sinar matahari dengan cerahnya bermain-main diatas daun-daun dihalaman. Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu tidak berada di Jalatunda atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan Wangsa Sepi itu tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang.
“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman yang rusak dihalaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi pingsan, sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu. Ki Tanu Metir barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu untuk memeras keterangannya sehingga halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk keperluan itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi perkelahian diantara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka harapan untuk dapat bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya, apabila Plasa Ireng itu berhasil menemukan Untara didalam persembunyiannya. Karena itu maka Widurapun menjadi gelisah dan cemas.
Widura tidak segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara. “Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” Widura berkata didalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka anak itu telah gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang tak mengerti ujung pangkal dari perselisihan antara Pajang dan Jipang itupun harus menderita karenanya”
Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia mendesak “Bagaimanakah dengan kakang Untara itu paman?”
“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya.
Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian Widura itupun berkata “Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama disini. Barangkali aku kelak mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba mencari bekas-bekasnya disekitar padukuhan ini”.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, apakah itu tudak akan terlalu berbahaya.
Karena dengan tergesa-gesa ia berkata, “Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya paman?”
Widura berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi kewajibanku untuk mencari keterangan tentang Untara”.
“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya Sedayu.
“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu.
“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” desak Sedayu.
“Bukankah aku tidak sendiri?”
“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh atau bahkan satu pasukan”
“Diantara kita ada kau, Sedayu”
“Ah” Sedayu mengeluh.
Widurapun mengeluh didalam hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat merupakan tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa terpaksa terluka dipundaknya. “Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir Widura. “Kalau tidak, apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?”
Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan betapapun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya.
Meskipun demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi heran. Luka itu terlalu berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia bertanya “Ki Sanak, apakah luka-lukamu tak pernah diobati?”
“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai.
“Bukankah biasanya Ki Tanu Metirlah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan sekarang orang itu telah tidak ada dirumahnya” bertanya Widura.
“Ya” jawab Kriya. “Tetapi semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang sudah sangat tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan diberinya aku obat”
Oh” Widura mengangguk-angguk. “Siapakah namanya?”
Kriya menggeleng. Jawabnya “Ketika aku bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab sambil menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing”
Widura terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia bertanya “Adakah Kiai Gringsing itu bertopeng?”
Sekali lagi Kriya menggeleng “Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan dipakainya pilus didahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu dimalam hari seorang diri”.
Widura mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka ia bertanya pula “Apakah yang dilakukan oleh orang itu kemudian?”
“Tidak apa-apa” jawab Kriya “Setelah diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan diberinya aku obat, maka iapun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari Ki Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula”
“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura.
“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi orang tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang memerlukan dukun-dukun untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki Tanu Metir telah mereka bawa untuk keperluan itu”
Widura menarik keningnya. Keterangan itu masuk akan juga. Tetapi cerita tentang Kiai Gringsing itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura itupun berkata “Apakah kau melihat tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
“Tidak” sahut Kriya. “Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok”
“Adakah kau tanyakan rumahnya?”
“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah tahu, siapakah dirinya”
Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia mendapat suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. Agung Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga buah lubang, diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata cambuk kuda orang itu dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang menamakan Kiai Gringsing pula, datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya itupun berwajah aneh dan menakutkan, bahkan memakai pilis didahinya. Bukankah itu juga suatu usaha untuk menyembunyikan diri?
Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, Untara lebih penting dari orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali lagi ia minta diri “Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi “Ki sanak, ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang dapat memberi penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”
“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk.
Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera meninggalkan rumah Kriya Bungkik. Mereka kembali kehalaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda dihalaman itu. Kemudian katanya “Kita coba mengikuti bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang mengambilnya”
Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik “Bagaimanakah kalau kita akan sampai kesarang Alap-alap Jalatunda itu?”
“Suatu kebetulan” sahut Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki Tanu Metir”
“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?”
Widura menarik nafas, katanya “Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan saja Untara hilang?”
“Tidak” jawab Sedayu. “Kita harus mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke Sangkal Putung dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?”
“Kita akan banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya. “Sedang laskarkupun sangat terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?”
Seayupun terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut saja kemana pamannya pergi.
Widura kemudian seakan-akan tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat ia melihat telapak-telapak kaki kuda dihalaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya mendekat, dan terdengar ia berkata “Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini”
Kawan-kawannyapun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha membedakan dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat mengikuti kemana kuda itu pergi. “Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya.
Sejenak kemudian, merekapun telah siap diatas punggung kuda masing-masing. Perlahan-lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan dibawah kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak.
“Tiga ekor kuda” geram Widura.
“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun telapak-telapak kaki itu mengarah kearah yang berlawanan. Diantaranya telapak-telapak kaki kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu.
“Dua diantaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang menyusulnya ke Sangkal Putung” gumam Widura. “Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya”
Kawan-kawannya itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun didalam hati mereka terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang Alap-alap itu, maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar Tohpati di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda didepan mereka. Widura dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka didalam hati.
Karena itu mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka, bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat.
Disepanjang jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan bekas-bekas kaki kuda dibawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya orang-orang yang kasar dan keras menghadang ditengah-tengah jalan dengan senjata-senjata dilambung. Meskipun demikian ia tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya orang-orang yang berkuda dibelakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. Bahkan ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayupun mengangguk. Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, kenapa ia mengangguk pula.
Semakin jauh mereka dari pedukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak kaki kuda itu tidak terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung. “Aneh” desis Widura. “Apakah salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain Alap-alap Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Demikianlah mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan jejak-jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung.
Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apakah kita tidak keliru?” gumamnya.
“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu.
Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi. “Apakah ada jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan Widura, Widurapun bertanya kepada mereka “Adakah kalian melihat salah satu diantaranya memisahkan diri?”
Orang-orang itu menggeleng. “Tidak” jawab salah seorang dari mereka. “Kami telah mencoba mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat dilihat lagi”
Widura mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya “Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”.
Ketiga orang itupun mengangguk, dan Sedayupun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini, bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik.
Pada saat-saat dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan kepentingannya sendiri untuknya.
Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu itupun menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk kedalam sarang orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus ditangan. Ingin ia menolong dan menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat dilakukan hanyalah berangan-angan.
Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun bulu-bulu Agung Sedayu meremang juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar ditikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang genderuwo bermata satu.
Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. Tetapi sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan lenyap dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat memberinya petunjuk. (bersambung)

Tidak ada komentar: