Jumat, 08 Februari 2008

Api di Bukit Menoreh 20


Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya “Kau benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku”
“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.
“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu”
Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi dibalik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.
Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu pula “Nah, cobalah”
Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.
“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing “Berikan cambuk itu” mintanya.
Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak jantungnya.
Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Jangan marah Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”.
Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Kiai, aku juga mempunyai permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”
Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi ditangan Widura itu dengan seksama.
Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.
“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata “Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi”
Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya “Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau diguling-gulingkan?”
Sekali lagi Widura mengumpat didalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian, ia menjawab “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti Ki Tambak Wedi. aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu”
Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu. Inilah”
Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apaun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu kearahnya sambil berkata “Terimalah”
Dengan gerak naluriah Widura melangkah kesamping. Potongan besi itu tepat mengarah kemata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya potongan besi yang kini tergeletak disampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan dibawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan besi itu kini telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya didalam hati. “Meluruskan potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya”
Sebelum getaran didalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata “Nah Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang ditangan atau kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun”
Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya “Kiai, ternyata Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi”
“He?” orang bertopeng itu terkejut “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”
“Kiai telah berhasil meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan kekuatan yang tersimpan didalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari melengkungkannya?”
Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Diantara derai tawanya itu terdengar ia berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah kau sudah kawin?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu mendesaknya “He Widura, apakah kau sudah kawin?”
“Sudah Kiai” jawab Widura.
“Sudah punya anak?”
“Sudah Kiai, seorang”
“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya “Kalau belum, kau akan aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan”
Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat didalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil meluruskan besi yang melengkung itu. “Kalau demikian” katanya dalam hati, “Apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain dirinya didaerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu”
Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna semburat merah diatas garis cakrawala.
“Hampir fajar” desisnya.
Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. kemudian katanya “Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng yang kesiangan”
“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula ditempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang diri.
Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak didalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak “Kiai, berhentilah”
Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari kearahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang belum”
“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang”
“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata “Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari disepanjang pematang, melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin jauh.
Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung diatas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling, dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya “Besok kita bermain-main lagi digunung kecil itu Widura”
Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula. Gumamnya “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya”
Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah diatas pematang menuju jalan kembali kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali iam merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang aneh itu.
Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai dikademangan.
Warna-warna merah diujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap dibalik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang kedinginan.
Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai dikademangan sebelum hari menjadi terang.
Ketika Widura itu hampir sampai diregol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol dimuka regol itu, lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak “Itulah Ki Widura telah datang”
Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Dimuka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang senjata mereka masing-masing.
“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.
Citra Gati ituppun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab “Ternyata kami hanya berprasangka”
“Tentang apa” bertanya Widura pula.
Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera memalingkan wajah kearah lain.
Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah “Kami berprasangka atas Sidanti “
“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula
Sekali lagi Citra Gati berpaling kearah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih bergemerlapan dilangit. Karena itu ia menjawab sendiri “Kami mengetahui bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika ada diantara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami”
Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada diantara mereka. Bahaya yang setiap saat dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan diantara mereka agaknya sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan dibelakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan. Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin terjadi.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri diseputar Widura. Sehingga dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya “Nah, kembalilah kalian ketempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang aku kembali utuh”. Namun didalam hatinya Widura itu berkata “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah kira-kira yang dapat timbul dikademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?
Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri dimuka regol itu masuk kepringgitan.
Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam.
Widura itupun segera pergi kepembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.
“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.
“Sudah paman” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia bergumam “Hampir fajar”
Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya uantuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.
“Marilah paman” katanya “Mumpung masih hangat”
“Terima kasih Mirah” sahut Widura.
“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat “Tidak, Mirah”
“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani melakukannya. Karena itu jawabnya “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini”
Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas dihadapannya. Meskipun demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya “Aku harus berbelanja untuk kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti dijalan”
Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata “Mirah, jangan takut kepada Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”
Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-katanya Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti. “Aneh” katanya dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun demikian ia tidak berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu masih dapat menghibur dirinya “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada pamannya”
Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan disepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kewarung diujung desa.
Widura dan Agung Sedayu yang duduk dipringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil duduk disamping Widura terdengar ia berkata “Hampir semalam suntuk adi berkeliling malam ini”
Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya kakang”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula.
Widura menggeleng “Tidak kakang”
Ki Demang Sangkal Putung itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?”
“Ya” sahut Widura “Aku senang dengan rencana itu”
“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.
Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan apapun Sidantilah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab “Baiklah kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga dan seterusnya”
Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”
“Sudah lama mereka mempersiapkan diri“ jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran diatas kuda dan bermacam-macam lagi”
“Bagus” sahut Widura. namun kemudian terlintas didalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain. Karena itu, maka kemudian jawabnya ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata”
Ki Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya “Baiklah adi. Aku sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”
Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya “Secepatnya kakang”
“Besok?” bertanya Ki Demang.
“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.
“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah adi?”
“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap”
Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit”
Widura pun kemudian tersenyum pula.
Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata “He paman Hudaya, kenapa paman tidur disitu?”
Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia menjawab “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun”
“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?”
Hudaya menggeleng “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”
Swandaru tertawa pula “Mimpi apa?”
“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling kearahnya. Ketika mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang kemudian tertawa didalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat dimukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.
“Apa kerjamu disini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti mendengarnya “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada dirumahku sendiri?”
“Hus” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok ditanah lapang dimuka bajar desa”
“He” Swandaru menjadi sangat gembira “Besok ayah?”
“Ya”
Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari kebanjar desa dimana kawan-kawannya sering berkumpul.
Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal Putung itu.
Sidantipun mendengar kabar itu. Disudut pendapa, ditempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati “Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang siur dengan tergesa-gesa.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan besok dimuka banjar kademangan. (bersambung)

9 komentar:

rizal mengatakan...

Saudaras/rekans semua,
terima kasih banyak atas dukungannya, semoga bermanfaat ya.....
Utk mas Nindityo, aku coba pake djvu itu biar lebih cepet kerjanya, makasih lho...
wassalam...

Anonim mengatakan...

sangat bermanfaat kang rizal, semoga dimudahkan kerjanya.

Terimakasih kembali kang rizal atas kerja kerasnya.

Anonim mengatakan...

Sangat bermanfaat mas ... terima kasih atas kerja kerasnya.

salam,
ridzal - batam

Anonim mengatakan...

Terimakasiiih....
Tetap semangat mas, kami menanti terus hasil kerja keras anda.

Anonim mengatakan...

kita tunggu mas..kelanjutannya...makasih...

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas kerja kerasnya dan tetap semangat.

Ditunggu kelanjutannya.

Anonim mengatakan...

he eh mas Rizal, kapan nih lanjutannya, di tunggu ya.
btw, thankyu banget lho....

Anonim mengatakan...

Hatiku ikut terbang bersama panah Agung Sedayu ..., terima kasih Mas Rizal ...

Toko Pemancar FM mengatakan...

Terima kasih buat mas Rizal atas usahanya yang sangat berharga mem-postingkan karya SH. Mintardja, semoga karya besar beliau tetap lestari, dan anda sangat berjasa dalam melestarikannya