Rabu, 13 Februari 2008

Api di Bukit Menoreh 22


Sejak ia menginjakkan kakinya didaerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya. Orang itu adalah Kiai Gringsing. Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila Widura dan Sedayu berada disana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan kesana pula. Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri melawan tiga orang yang jauh berada diatas kemampuannya.
Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur nyenyak dikademangan Sangkal Putung, dan Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.
Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Kebih-lebih lagi, mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan pakaian mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna yang beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian mereka sendiri yang mereka hias dengan berbagai keoncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula diantara mereka yang membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. Mereka kalungkan rangkaian bunga itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada senjata-senjata mereka.
Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan kesipbukan yang luar biasa. Hampir segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan dimuka banjar desa. Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan jauh berbeda.
Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu. “Jangan seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah berempat. Pergunakan kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap saat dan disetiap tempat”
Perintah itu agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa karena didaerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus diperkuatnya.
Demikianlah maka lapangan dimuka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia. Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar ditengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya dari satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan bermain dengan manisnya diatas punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itupun seakan-akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk kelapangan dengan tombak ditangan, bumbung panah dilambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya. Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itupun segera nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda itupun segera nyongklang, berlari keliling lapangan.
Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk melepaskan kejemuan mereka, banyak juga diantara mereka yang mengikutinya.
Widurapun kemudian hadir pula dilapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dibelakang mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar dilapangan itu. Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan didalam hati mereka. Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga kemudian mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik “Apakah pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”
Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia menjawab “Tak sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang”
Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang masuk diakalnya.
Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk ditempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat pemukul bende disudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, dua kali dan kemudian tiga kali.
Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah lapangan, memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya pedang yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.
Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang gagah telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru. Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali tidak terasa pedihnya.
Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka permainan itupun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika diarena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah diantara anak-anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, bernama Wisuda.
Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan dan sorak sorai membahana diudara Sangkal Putung.
Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang sengit itu. Dengan seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan adalah pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian bawah leher.
Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.
Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati “Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat pendek, bernama Swandaru”
Langit seakan-akan runtuh diatas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya “Sebutlah selengkapnya paman, Swandaru Geni”
Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya, karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri.
Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda Sangkal Putung itu mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati “Swandaru itu pasti akan menjadi bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak buah laskar Pajang untuk melakukannya”
Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk dipunggung kuda mereka mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Diantara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dair kuda-kuda mereka.
Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai lapangan dimuka banjar desa itu. Kuda putihnya seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berbangga atas hasil yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.
Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia mengedarkan pandangannya kesegenap sudut. Diantara perhatiannya atas permainan-permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara para penonton yang sekian banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah mustahil untuk menemukan seorang diantara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain gringsing memang banyak digemari orang.
Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan panahan ini diikuti pula oleh anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah lama dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya anak muda itu mampu berbuat sesuatu?
Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-sungut Swandaru menyelinap diantara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya. Katanya berbisik “Apakah tuan tidak ikut serta?”
Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya “Tidak Swandaru”
Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan ini.
Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak terkecuali, anak buah Widura. diantaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.
Dihadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur angsa, leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari leher dan yang terakhir bandul sebesar jeruk bali.
Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah diantara para pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya.
Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi diantara mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan apabila pana mereka mengenai bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.
Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher sasaran. Tiga nilai.
Maka penontonpun berteriak-teriak pula “Tiga, tiga”
Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena anak panah itu mengenai bandul.
“Habis, habis” teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.
Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan. Namun iapun menjadi geli juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.
Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga diantara mereka yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling banyak dua diantaranya yang dapat mengenai sasarannya.
Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka penontonpun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan dua kemenangan berturut-turut didalam arena pertandingan itu. karena itu, maka diantara penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak mengecewakan mereka.
Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher. Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh disekitar arena “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit”
Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak panah Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran.
Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian, anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya.
Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil bertolak pinggang “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit saja, maka anak panah itu akan hinggap dikepalamu”
Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah Widura dengan perlombaan itu. Namun ada pula diantaranya yang tidak lebih tepat dari anak-anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia dapat mengenai perut lawannya dimedan-medan pertempuran. Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-orangan yang harus dikenainya sebagai sasaran.
Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia merik busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula. Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah pembidik yang baik.
Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati ketengah-tengah lingkaran. Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya “Hudaya, ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat berbuat lebih baik daripadamu”
Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala.
Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan rakyat Sangkal Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya yang lain.
Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak penonton. Anak panah itupun hinggap dikepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua, ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Ketika ia memasang anak panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan berkata “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali”
“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.
Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan diujung lapangan.
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini ia membidikkan anak panahnya yang kelima.
Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa orang yang todal dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam benda keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasara. Kepala.
Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia berkata “Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku”
Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.
Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ketengah-tengah lingkaran, maka para penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam, pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti.
Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat mengenai sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah melakukannya.
Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sanbil mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itupun meluncur menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, sehingga dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan.
Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak keras-keras.
Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak panah inipun menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling kearah Sekar Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap disasarannya, dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya.
Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda itu memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tnagan karena orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar diwajahnya.
“Persetan dengan anak itu” gerutunya didalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak berani turun kearena”
Sidanti puas dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan kembali anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-jadinya dilapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat dikepala orang-orangan itu pula.
Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri dan melangkah maju kearena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata “Kita masih harus memilih satu diantara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama. Membidikkan anak panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam hitungan sampai angka kelima belas”
Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik “Sekarang aku harus mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya”
“Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan sasaran dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.
Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin yang kencang.
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.
Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya “Satu, dua, tiga, ………..”
Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula.
“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena anak panah Sidanti. “Makin sulit” gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai kepala sasaran.
Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan yang tak kalah kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya. Kepala.
Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya.
Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai sasarannya pula.
Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra Gati itu hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan padanya telah melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa langkah dari orang-orangan itu.
“Gila” teriak Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula.Hudaya menggeram. Ia belum melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan memgigit bibirnya, anak panah itu berlari kencang sekali. Namun sekali lagi penonton menyesal karenanya. (bersambung)

13 komentar:

Anonim mengatakan...

Matur suwun mas rizal, yang ditunggu tunggu akhirnya keluar juga.

Tetap semangat

Anonim mengatakan...

Sip cak, tetap semangat .... matur nuwun (Ridzal - Batam)

PERUBAHAN mengatakan...

Semoga tetap diberikan kemudahan untuk senantiasa meneruskan cersil Api di bukit menoreh ini. Saya termasuk yang setia untuk membacanya.

Anonim mengatakan...

Update terus mas....

Ditunggu lanjutannya dan tetap semangat

Anonim mengatakan...

setelah setiap hari ku buka 3 kali sehari blog akhirnya berlanjut juga......ikutan matur suwun mas rizal...

Anonim mengatakan...

makasih bangeeeet.
Saya sampe begadang ngebacanya. Dari dulu susah nyarinya, eh ada yang menghidupkan lagi.
Alhamdulillah..

Anonim mengatakan...

Usul nih...
Gimana kalo diadakan pertemuan para penggemar cersil khususnya Api di Bukit Menoreh? Sehingga para mania cersil punya wadah sendiri buat tatap muka, pasti seru.
Bisa saling tukar e-book sambil berkenalan dll. Gimana teman2?

Anonim mengatakan...

Mas Rizal, ditunggu lanjutan seri yang ke-23 nya nih? Daripada hari sabtu ujan2 gini, saya bengong mulu
Makasih....hehe

Anonim mengatakan...

Salam kenal dan terima kasih banyak atas kerelaan Mas Rizal membuang waktu untuk menampilkan cerita ini.Banyak kenangan indah masa kanak kanak saya dengan buku cerita ini dan kebetulan saya pernah tinggal agak lama dilereng sebelah utara Bukit Menoreh ini. Ditunggu terus mas lanjutan cerita ini. (Sapto-Melaka)

Anonim mengatakan...

matur nuwun banget mas rizal....
ini bacaanku waktu SMP, walaupun aku gak punya bukunya sama sekali. Aku pinjem semua dari temenku yang bapaknya mengkoleksi cersil ini. Aku seneng cersil ini karena dilatarbelakangi sejarah sekitar zaman Pajang, aku suka banget sejarah mas, apalagi ini sejarah negeri sendiri (lebih khusus sejarah tanah jawa). Meskipun aku bukan asli Jawa Tengah (sekitar Merapi dan sekitarnya), tapi kalau baca cersil ini khayalanku terbang kemana-mana, baik dikampungku (di Kediri), maupun dikampung istriku (di Bantul), dll. Ok Mas kutunggu seri berikutnya, di Api di Bukit Menoreh 23. Sekali lagi tanks berat.... (Persikmania)

eldera mengatakan...

Suwun banget mas ... ini bacaan saya waktu masih SD, pinjem kakek tetangga sebelah yang kolektor buku Api di Bukit Menoreh ini. Walah setiap kali baca cerita ini rasanya pikiran melayang ke daerah sekitar gunung Merapi. Kebetulan kampung halamanku di Boyolali timur dekat Kartasura, setiap baca cerita ini perasaanku terbawa mengunjungi daerah-daerah yang diceritakan dalam buku ini. (Dedy Rachmawan - tinggal di Cilangkap - asli mBoyolali)

http://alatkesehatan.blogspot.com/

Anonim mengatakan...

runescape money runescape gold as runescape money buy runescape money runescape gold runescape gold runescape money buy runescape money runescape money runescape gold wow power leveling wow powerleveling Warcraft Power Leveling Warcraft PowerLeveling buy runescape gold buy runescape money runescape itemsrunescape accounts runescape gp dofus kamas buy dofus kamas Guild Wars Gold buy Guild Wars Gold lotro gold buy lotro gold lotro gold buy lotro gold lotro gold buy lotro gold runescape money

blog marketing mengatakan...

北京国际机票预定中心,为您提出供,国内机票国际机票留学生机票特价机票特价国际机票电子机票、欢迎垂询!

北京飞龙搬家公司,是北京搬家行业中值得信赖的北京搬家公司,工作细心、服务周到,欢迎有搬家的朋友们致是垂询!

北京天正搬家公司,是北京搬家行业中值得信赖的北京搬家公司,工作细心、服务周到,欢迎有搬家的朋友!

北京佳佳乐月嫂服务中心,为您提供月嫂育儿嫂育婴师服务,本中心月嫂育儿嫂育婴师均经过严格培训,执证上岗!

北京婚纱摄影工作室,个性的婚纱礼服设计,一流的婚纱礼服设计人才,国际流行风格婚纱礼服的设计理念以及个性婚纱摄影的强力整合;力争成为中国最大的婚纱礼服定做机构!

北京圣诞树专卖中心,厂家销售。可来样加工各种大型超高圣诞树、松针圣诞树大型圣诞树,欢迎前来圣诞树厂家咨询订购!


星云科技,诚信教育,竭力为广大院校组建小学科学探究实验室数字探究实验室数字化实验室探究实验室探究实验配套设施.

创业,大学生创业,如何创业呢?如何选择创业项目?要看投资大小,选择小投资高回报的项目才是最关键的!