Rabu, 20 Februari 2008

Api di Bukit Menoreh 23


Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada sasaran itu. Anak panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah jauhnya.
Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. hana pembidik-pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya. Karena itu Citra Gati membidikkan anak panahnya keleher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka yang ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir “Lima belas……” dan terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.
Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak yang melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata tidak lebih dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi dipunggung pamannya”
Hudaya masih berdiri ditempatnya, dan Citra Gatipun masih berada disampingnya pula. terdengar kemudian Hudaya berkata “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. Kau akan menjadi pemenang kedua”
Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya “Lihatlah betapa sombongnya anak muda itu”
“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? bukankah kau dapat dikalahkan dengan jujur?”
”Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya “aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut”
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.
Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang bercakap-cakap dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak buah Widura sendiri, Sidantilah yang menjuarainya.
Namun dalam pada itu, kekecewaan dihatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah sampai kepuncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itupun telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apapun kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.
Beberapa anak buahnya segera mengikutinya dibelakang. Ki Demangpun berjalan pula disampingnya. Katanya “Dimanakah angger Sedayu?”
“Masih dibelakang kakang “ sahut Widura kosong.
Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya Sedayu masih berada ditempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir didadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi didalam hati Agung Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu.
Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. lapangan itu seakan-akan sebuah telaga yang mengalir kesegenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik dilapangan itu.
“apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.
Sedayu mengangguk “Ya’jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk ditempatnya.
“Marilah” ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya “Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”
“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting dilapangan ini?”
Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan lapangan itupun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan itupun benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya “Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan ini?”
Sedayu menggeleng lemah “Tidak Swandaru”
“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata Swandaru pula. “Biarlah nanti dirumah aku hajar perempuan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang disukainya”
Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya “Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya.
Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru “Apakah yang akan tuan katakan?”
Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “apakah aku dapat meminjam panahmu itu?”
“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.
“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalamplb-perlombaan seperti ini”
“Sekarang?”
“Ya”
“Apakah tuan belum pandai memanah?”
Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru”
Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia bertanya “Apakah tuan berkata sebenarnya?”
“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.
“Tuan adalah anak muda yang kami kagun=mi. ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?”
“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku”
Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang dipunggungnya/ dan diambilnya anak panahnya dari bumbung dilambung kuda putihnya. “Inilah tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari”
“Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang”
Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan anak panahnya.
“Swandaru” berkata Sedayu “Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi”
Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus diayunkannya? Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja kearah sasaran yang masih tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.
Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat ayunan orang-orangan itu.
“Aneh”” pikir Swandaru “Apakah yang akan dilakukannya?”
Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah cepat.
Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri disamping anak muda itu “Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu “Apakah yang harus aku kenai?”
“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru. “namun dalam perlombaan-perlombaan, kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi”
Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru memandanginya dengan wajah yang tegang.
“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, kemudian badan, leher dan yang terakhir kepala”
Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dpat membidikkan panahnya.
Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak panah itu mengenai bandulnya tepat ditengah-tengah.
“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta. “Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah. Tuan dapatmengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat”
“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya “Tetapi kau harus berjanji”
“Apakah yang harus aku janjikan?”
“Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan kau lihat”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk kosong sambil menjawab “Baiklah tuan”
“Kau berjanji?”
“Ya”
“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya yang kedua itupun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja terayun-ayun itu.
“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak panah tuan hinggap dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap dibadan. Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”
“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher.
“Bukan main tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-orangan itu?”
Sedayu mengangguk.
“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih pandai dari anak muda yang sombong itu”
“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. Perlombaan itu sudah selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru saja selesai.”
Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak panah dibusur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu.
Sekali lagi Swandaru berteriak “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula”
Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa sebenarnya iapun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun kembali ia menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya, maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya, meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri.
Maka katanya “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”
“Sepuluh tuan” jawab Swandaru.
“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali”
Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari kekudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu “Inilah tuan”
Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak panah berturu-turut. Dan keduanya itupun hinggap dikepala sasaran pula.
Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak “Mengagumkan, mengagumkan”. Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis “Jangan ribut Swandaru, aku tidak mau bermain-main lagi”
“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri tidak ikut serta?”
Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya “Tidak, tak ada hubungannya dengan perlombaan yang baru saja berakhir”
“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah mengagumkan aku. Seandainya tuan melakukannya selagi masih banyak orang dilapangan ini, maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh”
“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-main?”
“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran itu?”
Swandaru mengerutkan keningnya.jnya “Tak ada tuan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya “Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”
Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian ia menjawab juga “Serat tuan, serat nanas yangdipilin menjadi tali yang kuat”
“Apakah bukan jangat?”
“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku”
“Marilah kita buktikan”
Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah dan serat nanas itu? karena itu maka ia bertanya “Bagaimanakah tuan akan membuktikan? Dan apakah gunanya?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya. Perlahan-lahan busur itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu, dan anak panah itu terbang secepat angin.
Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah yang lepas dari busutnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu.
Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya.
Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil berkata terbata-bata “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti tuan tak mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya tepat ditengah-tengah?”
Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata “Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya”
Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia bergumam ”Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata diujung-ujung anak panah itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian “Didalam pertempuran orang tidak saja terikat kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang bahkan diatas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya nampak sebagian kecil karena bersembunyi dibalik pepohonan. Nah, maukah kau membantu aku bermain-main dengan anak panah?”
“Tentu tuan” jawab Swandaru.
“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang”
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung kuda. Aku akan mencoba mengenainya”
“Ah, bukankah itu berbahaya?”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan keudara. Biarlah aku mengenainya dengan anak panah”
“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil sasaran yang telah terjatuh ditanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru untuk melemparkan sasaran itu keudara.
Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.
Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian melemparkan sasarannya kearah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.
Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai diatas kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta melambung keatas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus keudara.
Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah sasarannya yang hampir mencapai puncak ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti diudara, dan sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya.
Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu yang kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian berputar seperti baling-baling diudara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil berteriak-teriak “Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang dikenainya melambung pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya dengan anak panahnya yang kesepuluh.
Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh ditanah. Namun seakan-akan sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung diudara.
Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia berteriak “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung. Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya”
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata “Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?”
“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.
Namun Swandaru solah-olah sudha tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan cepatnya ia berlari kearah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, Swandaru telah meloncat kepunggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu kuda itu lari kencang-kencang.
Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda Swandaru itu tak akan dapat pulang kekandang.
Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah didalam benaknya, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya.
Didalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya.Namun ia sudah tidak dapat berbuat sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan. (bersambung)

19 komentar:

Anonim mengatakan...

Hore comment pertama lagi.... Terimaksih mas rizal, tetep semangat 45. Sesuai cita cita perjuangan

Anonim mengatakan...

Makasih mas Rizal. Saya baca episode Agung Sedayu vs Sidanti 20 tahun yang lalu, masih tetap terekam di kepala saya sampai sekarang. Tapi kok kayaknya episodenya pendek-pendek banget ya? Apa memang dulu satu episodenya pendek banget begitu?

Anonim mengatakan...

Akhirnya....
Setelah setiap hari buka feed update APDM yang ke-23, muncul juga.
Matur nuwun mas....

Anonim mengatakan...

Terima kasih banyak.
Makin asyik aja nih bacanya.

Iya ya.. kok perasaan tiap episodenya pendek2 ya....

BTW, tetap semangat.
Ditunggu lanjutannya.

Anonim mengatakan...

Thansk mas ... tetap semangat.

(ridzal - batam)

Anonim mengatakan...

Mas rizal tuh paling suka bikin penasaran ya...
Udah selesai baca nih ADBM -23, ditunggu selanjutnya
thanks a lot

Unknown mengatakan...

Waaa... jadi tambah penasaran nih.. gk sabar nunggu lanjutannya.
Sbenernya saya, duluuuu sekali, waktu masih SMP ngikutin terus serial ini.
N hebatnya, skarang baca lagi, serunya itu gk kurang yah.... Smoga ini jadi amal ibadahnya Almarhum S.H Mintardja.
N juga amal ibadahnya Mas Rizal yg sdh berbaik hati mau share n melestarikan sebuah Karya Hebat di Blognya.
Makasih bnyak ya Mas Rizal

Anonim mengatakan...

Makasih mas Rizal....
Tambah seru. saya baru mulai baca APDM jilid ke-2, atau mungkin diakhir jilid-1. Pokoknya pas perang tanding Agung sedayu dengan Ajar Tal pitu. Makanya saat ketemu APDM dari awal, rasanya sangat senang sekali..

Unknown mengatakan...

Terimakasih buat bung Rizal. Saya yakin jerih payah bung Rizal akan memberikan kegembiraan buat banyak orang....

Anonim mengatakan...

terima kasih pak rizal...

mudah mudahan ceritanya dimuat sampai tamat jilid 396...
saya sudah lama mencari cari e book ADBM ini, tapi baru sekarang ketemu...

nb: kalo bisa muat sambungannya yang agak cepat ya pak... (maaf maksa...), soalnya kebelet .. hehehe...

Anonim mengatakan...

Bagus banget..!!! jd inget jaman dulu..
karakter2 agung sedayu, glagah putih itu top2 bngt deh.., kemampuannya setinggi langit tp sama sekali ga sombong !!! rendah diri banget...

rizal mengatakan...

Bapaks/Ibu/Rekans semua,
terima kasih sekali atas dukungannya.....
Menjawab comment tentang panjangnya cerita untuk setiap posting, setiap selesai 12 halaman buku asli, langsung saya posting, jadi bukan per episode. Sekarang ini baru sampai jilid 3 dari 396 jilid aslinya.
Saya sudah coba untuk speed up, tapi sepertinya cuma sanggup segitu. Tapi target saya, minimal 6 posting perbulan. Jadi mohon bersabar ya...
Mudah2an bermanfaat bagi semuanya.
Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih atas dukungannya, Insya Allah saya bisa selesaikan sampai tuntas.

Anonim mengatakan...

pantesan... kerasa pendek setiap episode. ibarat minum, airnya baru nyampe tenggorokan! hehe..
anyway.. terimakasih utk bung rizal atas waktunya.. dan tentu juga kpd alm pak mintardja atas karya-nya yg luar biasa ini.. mudah2an di masa depan akan muncul pengarang2 cersil nusantara sekaliber pak mintardja..

Anonim mengatakan...

Oooh begitu..
Makasih banget mas atas jawaban comment dari rekan2. Kita jadi ngerti deh..
Anyway tetap semangat.

Anonim mengatakan...

Terima kasih atas kunjungan dan komentar anda di http://arebuuud-cersil.blogspot.com/ Bagi pecinta cerita silat, silahkan kunjungi alamat diatas.

Unknown mengatakan...

Jadi sesuai penjelasan Pak Rizal, kalau sekarang (posting ke-23) baru jilid 3 dari 396 jilid, berarti 1 jilid rata-rata 8 kali posting, untuk 396 jilid butuh 3168 posting. Jika 1 bulan 6 kali posting, berarti untuk menyelesaikan ADBM dibutuhkan waktu 528 bulan, alias 44 tahun.....
Maaf, saya cuma utak-atik angka saja...kalau ada yang salah mohon koreksi,
Matur nuwun......

Anonim mengatakan...

waduh....gimana nih friends semua ada pendapat untuk mempercepat pengetikan dan edting yg sudah ada.......klw umur tahun ini 38 tahun..jadi selesai umur 80-an tahun...ampun..ampun

Anonim mengatakan...

mas rizal mau nanya ya. sampeyan itu punya lengkap gak cersil ADBM gak?

Herlambang Jatmiko mengatakan...

Makasih bgt buat mas Rizal yg baik bgt merelakan waktunya untuk kebahagiaan orang lain.