Selasa, 03 Juni 2008

Api di Bukit Menoreh 50

“Apa yang paman sesali?”
“Angger sudah mulai berkelahi dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri. Angger melihat kewajaran didalam diri angger, tetapi angger tidak mau”
“Bohong” teriak Tohpati tiba-tiba. Wajahnya benar-benar menjadi merah. Tanpa disangka-sangka ia melangkah maju mendekati Sumangkar sambil menundingnya “Jangan berkhianat terhadap pimpinanmu paman. Paman sedang berusaha melemahkan hatiku”
“Kekuatan hati seseorang tidak harus ditampakkan pada kekerasan pendirian yang membabi buta. Mungkin angger mampu menghancurkan Sangkal Putung. Tetapi itu perbuatan putus asa. Angger benar-benar kehilangan akal. Dengan demikian maka beribu-ribu jiwa akan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian apabila sawah-sawahnya dihancurkan. Mereka akan kelaparan dam mereka akan mati sia-sia”
“Itu adalah akibat dari kekerasan kepala mereka. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa mereka harus menyerah?”
“Siapakah yang keras kepala? Siapakah yang tidak menyadari keadaannya?”
“Setan” potong Tohpati “Paman benar-benar telah berkhianat. Karena itu maka tidak sewajarnya paman ada didalam barisanku”
“Apakah aku harus pergi ke Pajang?”
“Tidak, tidak dapam barisanku dan tidak boleh pergi ke Pajang. Sebab dengan demikian maka pengkhianatan paman akan menjadi sempurna”
“Jadi, apa yang harus aku kerjakan?”
Sejenak Tohpati terbungkam. Yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang terengah-engah. Tetapi tiba-tiba ia berteriak “Mati, kau harus mati”
“He?” Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga untuk sesaat mulutnya seakan-akan terkunci. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu telah berhasil menguasai dirinya kembali sepenuhnya.
Bahkan Sumangkar itu kemudian tersenyum. Ditatapnya mata Tohpati seolah-olah orang tua itu ingin memandang tembus kedalam pusat jantungnya. Dengan tenangnya Sumangkar itu kemudian menjawab “Angger, apakah angger bermaksud membunuh aku?”
Pertanyaan itu menghantam dada Tohpati sehingga serasa akan meruntuhkan segenap tulang-tulang iganya. Sesaat Tohpati terdiam, namun kemudian dikerahkannya segenap tenaga dan kekuatannya untuk menjawab, hanya sepatah kata, “Ya”
Kembali Sumangkar tersenyum. Senyum yang menggoncangkan hati Macan yang garang itu. Dimata Tohpati, Sumangkar yang berdiri dihadapannya itu bukan lagi seorang juru masak yang malas, namun Sumangkar itu kini berdiri dengan wajah tengadah. Sumangkar tu kini benar-benar bersikap sebagai seorang senapati digaris peperangan. Sumangkar yang pernah dikenalnya dahulu.
Karena itu dada Tohpati menjadi berdentang cepat. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk tegak dengan wajah yang tegang, menghadapi orang tua itu.
Mendengar jawaban Tohpati yang pendek itu, Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata “Raden, aku adalah seorang abdi yang sejak Pamanda Kepatihan masih hidup aku adalah abdi kepatihan. Kalau aku kebetulan menjadi saudara seperguruan Gusti Patih itu bukanlah soal dalam hubungan antara hamba dan gustinya. Kini angger adalah pimpinan laskar Jipang sepeninggal Arya Penangsang. Dalam hal inipun siapa Sumangkar dan siapa Tohpati bukan juga menjadi soal”
“Diam” potong Tohpati dengan suara bergetar “Kubunuh kau”
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat Sumangkar meletakkan golok pembelah kayu ditangannya dan selangkah ia maju mendekatinya “Marilah ngger. Seperti juga Pamanda Kepatihan, Sumangkar dapat pula dibunuh dan mati untuk tidak bangkit kembali. Hanya dongeng-dongeng ngayawara saja yang mengatakan bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati memiliki nyawa rangkap sepuluh”
Macan Kepatihan itu kemudian menundukkan wajahnya dalam-dalam. Bahkan kemudian kelangkah ia berjalan kesamping, dan dengan lemahnya menjatuhkan dirinya duduk datas rerumputan liar.
Sumangkarpun kemudian duduk pula disampingnya. kini ia sudah yakin apa yang terjadi didalam diri Tohpati itu. Kini ia yakin bahwa Tohpati telah menemukan nilai-nilai yang lain dari apa yang dimilikinya selama ini.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Sumangkar sengaja membiarkan Tohpati meyakinkan dirinya sendiri, sebelum ia membantunya.
Malam menjadi semakin lama semakin dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan membeku. Bagaimana didalam dada mereka telah bergolak dengan riuhnya, berbagai-bagai pertimbangan dan angan-angan.
“Paman” berkata Tohpati kemudian “Sejak aku memanggil paman Sumangkar, sebenarnya aku sudah dilanda oleh perasaan yang tidak menentu. Itulah sebabnya aku menunda penyerangan ke Sangkal Putung sampai beberapa kali. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian terus-menerus. Aku tidak dapat membiarkan anak buahku mejadi jemu dan semakin liar. Tetapi tiba-tiba aku kehilangan keberanian untuk menyerang Sangkal Putung”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Iapun menjadi terharu mendengar pengakuan itu. Pengakuan seorang pemimpin yang teguh hati serta soerang yang memiliki keberanian dan kemampuan yang cukup. Namun orang itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang berlawanan dengan tekad serta kemauannya.
Dalam keremangan malam dibawah cahaya bulan sepotong, Sumangkar melihat kegelisahan wajah Tohpati. Tampaklah betapa ia menyesali keadaan dan menyesali kenyataan. Tetapi kenyataan itu telah dihadapkan dimuka wajahnya.
Tohpati benar-benar bukan seekor binatang liar yang tidak mempunyai jantung. Betapa ia keras dan buas didalam medan-medan peperangan, namun ia memiliki perasaan yang utuh. Karena itulah, maka ia dapat mengerti beberapa keberatan yang dikatakan oleh orang lain kepadanya. Yang dikatakan oleh orang tua diatas batu-batu ditengah sungai beberapa hari yang lalu, dan apa yang dikatakan Sumangkar sejak lama kepadanya. Meskipun ia telah berusaha menindas perasaan yang berkecamuk didalam dadanya, meskipun ia tidak ingin terpengaruh oleh perasaan-perasaan itu, namun sebenarnya hatinya selalu tersentuh-sentuh. Setiap kali ia pulang dari peperangan, setiap kali ia kembali dari nganglang, dan setiap kali ia melihat kekerasan, apalagi atas penduduk yang tidak banyak mengetahui seluk beluk pertentangan antara Pajang dan Jipang, hatinya selalu terganggu. Puncak dari gangguan dihatinya adalah orang tua ditengah-tengah kali itu, dan selanjutnya kata-kata Sumangkar itu sendiri. Sehingga seandainya benar Untara dan Widura mengatakan, bahwa pertentangan ini menjadi amat menjemukan, adalah benar. Kalau seseorang mengatakan bahwa pertentangan ini hanya akan menyengsarakan rakyat, adalah beralasan. Dan sejak ia melakukan pembunuhan yang pertama atas Sunan Prawata, apalagi ketika Sumangkar mendengar Ratu Kalinyamat bertapa tanpa mengenakan pakaian apapun selain rambutnya sendiri sebagai suatu penolakan, sebagai suatu jerit seorang wanita atas kekerasan dan kebiadaban yang terjadi pada suaminya. Namun Sumangkarpun mencoba mengingkari perasaan sendiri pada waktu itu.
Demikianlah meskipun Tohpati itu duduk diam seperti patung, namun hatinya bergolak dahsyat. Sedahsyat pusaran dimuara sungai yang sedang banjir bandang.
Tiba-tiba Tohpati itu mengeluh “Aku kini sampai pada suatu titik yang terkatung-katung ditengah-tengah gumulan ombak yang tidak menentu. Aku tidak dapat terus, tetapi aku tidak dapat kembali”
Sumangkar merasakan kesulitan itu. Sumangkar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Tohpati benar-benar tidak dapat maju tetapi juga tidak dapat kembali. Meskipun demikian ia mencoba menjajagi hati anak muda yang perkasa itu “Angger tidak usah terus dan tidak usah kembali. Angger dapat mencoba berhenti. Tetapi angger harus membiarkan orang lain kembali”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang benar, ia dapat menghilang dan tidak muncul kembali. Ia dapat menganjurkan orang lain untuk menghentikan perlawanan. Tetapi kenyataannya tidak dapat membenarkannya. Ia tidak mau lari dari kenyataan yang bagaimanapun pahitnya. Karena itu, Tohpati itu menggeleng lemah “Tidak paman, tidak”
Sumangkarpun tahu, bahwa Tohpati tidak akan dapat menyetujuinya. Tetapi ia tidak mempunyai pendapat lain yang dapat dikemukakan saat itu, sehingga sejenak ia terdiam.
Kembali mereka diamuk oleh kegelisahan dihati masing-masing. Kembali mereka dicengkam oleh kesepian dipadang rumput yang tidak terlalu luas itu. Suara cengkerik terdengar mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik binatang-binatang hutan mengejutkan.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba Sumangkar menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir dihatinya, sehingga duduknya bergeser beberapa jari. Matanya yang tajam, menembus keremangan malam menusuk kekejauhan.
Sumangkar menarik nafas. Ia berpaling ketika terdengar Tohpati menggeram perlahan-lahan. Tetapi Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Tohpati bergumam perlahan-lahan “Dua orang berjalan diujung padang ini”
“Ya, aku melihatnya”
“Siapa paman, apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah ngger. Apakah angger memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak. Entahlah kalau Sanakeling. Atau Alap-alap Jalatunda atau yang lain. Mungkin juga para pengawas yang telah dikirim lebih dahulu”
Meskipun demikian, firasat Sumangkar yang tua itu memberitahukan kepadana, bahwa orang itu akan dapat membawa bahaya. Dengan demikian maka Sumangkar beringsut sejengkal demi sejengkal untuk meraih golok pembelah kayu yang diletakkannya.
“Apakah paman memerlukan benda itu?”
“Aku tidak tahu ngger, mudah-mudahan tidak”
“Mudah-mudahan. Tetapi orang itu datang dari jurusan yang lain dari setiap jurusan yang akan dilalui para pengawas ke Sangkal Putung. Juga sama sekali bukan jurusan orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung”
“Mungkin mereka memilih jalan yang melingkar demi keamanan mereka”
“Mungkin”
Sumangkar memandang kedua bayangan itu dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya mereka belum melihat Sumangkar berdua dengan Tohpati yang sedang duduk.
“Bagaimana kalau mereka orang-orang Pajang paman?”
“Apakah angger akan membiarkannya?”
“Tidak, aku tidak dapat membiarkan mereka mengetahui kedudukan kami. Aku tidak dapat membiarkan orang-orangku dihancurkan oleh orang-orang Pajang dalam peperangan”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu Tohpati tidak akan berbuat demikian. Tidak akan membiarkan orang-orangnya hancur disergap oleh lawannya, betapapun juga.
Maka kalau benar kedua orang itu orang Pajang, maka kedua orang itu pasti mendapat tugas untuk menyelidiki pertahanan laskar Jipang.
Sumangkar dan Tohpati kemudian saling berdiam diri. Bahkan nafas merekapun seakan-akan mereka tahankan, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh kedua orang itu.
“Kalau orang-orang itu orang Pajang” bisik Tohpati perlahan-lahan sekali “alangkah beraninya”
Sumangkar mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Tohpati hampir tak terdengar.
Sekali lagi Sumangkar mengangguk.
Dada mereka tiba-tiba berdesir ketika melihat kedua orang itu berhenti sesaat. Namun kemudian mereka melangkah kembali. Tetapi mereka kini tidak menuruti arah mereka semula. Menyilang garis pandangan Tohpati. Jantung Tohpati hampir-hampir berhenti berdenyut, ketika dilihatnya kedua orang itu berjalan kearahnya.
“Mereka kemari” bisik Tohpati.
Sumangkar menerik afas panjang-panjang “Tak ada gunanya untuk menyembunyikan diri dan mengintai mereka. Mereka telah melihat kehadiran kita.”
“Belum tentu. Mungkin suatu kebetulan.”
Sumangkar menggeleng. “Aku yakin.”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila demikian maka kedua orang itu pasti dua orang yang terlalu percaya kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka sengaja mendatanginya.
Terkaan Sumangkar itu sesaat kemudian ternyata terbukti. Kedua orang itu berhenti berjalan, dan salah seorang daripada mereka berkata “Siapa yang duduk disitu?”
Tohpati menjadi bimbang sesaat. Ditatapnya wajah Sumangkar untuk mendapatkan pertimbangan. Ketika Sumangkar menganggukan kepalanya, maka Macan Kepatihan itupun segera menjawab “Aku disini, siapa kalian?”
“Aku siapa?” desak salah seorang yang berdiri itu.
“Kau siapa?” Jawab Tohpati.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Kedua orang itu masih tegak seperti patung. Dalam keremangan cahaya bulan,mereka tempaknya seperti bayangan hitam yang menakutkan.
Tohpati menjadi semakin berdebar-debar ketika kedua orang itu melangkah kembali. Dan bahkan mendekatinya.
“Berhenti” teriak Tohpati “Kalau tidak, aku akan menyerang kalian dengan senjata jarak jauh.”
“Apa kau membawa panah?” terdengar suara diantara mereka.
“Tulup” sahut Tohpati “Aku tulup biji tulupku dengan getah pohon luwing dan bisa serangga. Kalian akan mati terkena sentuh saja”.
“Jangan terlalu kejam” sahut suara itu pula.
“Karena itu jawab, siapa kalian?”
Tohpati terkejut ketika kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Diantara suara tertawa itu terdengarlah kata-kata “Menyerang dengan tulup bukanlah pekerjaan yang mudah. Bagaimanakah kalau aku berlari melingkar-lingkar.”
Sesaat Tohpati tidak menjawab. sebenarnya ia tidak membawa tulup. Kalau orang itu berlari melingkar-lingkar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan berlari melingkar-lingkar sedangkan apabila mereka berjalan perlahan-lahan dalam garis yang lurus sekalipun ia tidak akan dapat menyerang dari jarak yang jauh. Sebenarnya Tohpatipun tidak perlu menyerangnya dari jarak yang jauh. Namun ia hanya ingin menggertaknya dan segera mengetahui siapakah mereka itu. Tetapi ternyata orang itu orang yang berani dan tidak gentar mendengar ancamannya.
Namun tiba-tiba terasa Sumangkar merebut tongkat bajanya. Demikian tiba-tiba sehingga Tohpati tidak sempat menahannya. Sebelum Tohpati itu menyadari, Sumangkar telah melatakkan ujung tongkat itu dimuka mulutnya sambil berjongkok. Dengan suara parau Sumangkar berteriak “Nah cobalah. Berlarilah melingkar-lingkat. Salah seorang dari kalian berdua akan mati. Aku tidak akan memperdulikan yang seorang lagi.”
Kedua orang yang berdiri beberapa puluh langkah dari mereka itupun terdiam. Baru sejenak kemudian terdengar salah seorang berkata “Bagus. Kalian benar-benar dapat mempergunakan tulup. Kalian tidak akan dapat dibingungkan oleh bayangan kami berdua yang berlari melingkar-lingkar. Tetapi kami benar-benar tidak akan berbuat jahat terhadap kalian, siapapun kalian berdua itu.”
“Kalau demikian, sebut namamu” sahut Sumangkar.
Orang itu diam sesaat , dan kemudian terdengar ia menyebutkan sebuah nama “Supita, namaku Supita dan kawanku ini bernama Sukra.”
Sumangkar menarik nafas panjang-panjang. Bahkan hampir ia tertawa mendengar orang-orang itu menyebutkan namanya. Sekali ia berpaling memandang wajah Tohpati. Agaknya Tohpatipun sependapat dengan pikirannya, sehingga karena itu terdengar Tohpati menjawab lantang “Namaku Patra dan kawanku bernama Dadi. Nah apakah kau puas mendengar nama-nama kami?”
Orang itu terdengar tertawa. Suaranya berderai melingkar-lingkar membentur dinding hutan dan menggema kembali berulang-ulang. Katanya “Adakah gunanya kita menyebutkan nama masing-masing?”
Sumangkar menyahut “Nama-nama yang kami sebut, mungkin jauh lebih baik dari nama kalian sebenarnya. Nah apakah maksudmu datang kemari.”
“Apakah kita dapat berbicara perlahan-lahan” berkata orang itu.
Sumangkar tidak segera menyahut. Ditatapnya wajah Tohpati seakan-akan menyerahkan segenap persoalan kepadanya. Namun Tohpati tidak dapat berbuat lain daripada menerima orang itu. Seandainya orang itu lari sekalipun pasti akan dikejarnya. Dan kini orang itu bersedia datang kepadanya.
Karena itu, maka Tohpati menjawab tegas “Datanglah, supaya aku tidak mengajarmu.”
Sekali lagi terdengar salah seorang daripadanya tertawa. Sejenak kemudian kedua bayangan itu bergerak maju perlahan-lahan penuh kewaspadaan.
Tohpati dan Sumangkarpun segera berdiri. Diserahkannya tongkat Tohpati kembali. Tongkat ciri kebesaran, keperkasaan dan kewibawaan Macan Kepatihan, sehingga kawan maupun lawan mengenal tongkat itu seperti mengenal pemiliknya sendiri.
Semakin dekat kedua bayangan itu, hati mereka masing-masing baik yang menunggu maupun yan mendatangi, saling berdebaran. Semakin dekat, maka wujud masing-masing menjadi semakin jelas dibawah cahaya keremangan bulan sepotong yang menggantung diantara bintang-bintang dilangit.
Ketika bayangan itu sudah cukup dekat, maka terdengarlah Tohpati menggeram keras. Selangkah ia maju dan tiba-tiba tubuhnya menjadi gemetar. Bayangan itupun kemudian berhenti beberapa langkah daripadanya.
Yang terdengar adalah suara Macan Kepatihan itu parau “Kau. Kau guru dan murid lereng merapi. He, apa kerjamu disini Tambak Wedi?”
Terdengar orang itu, yang tak lain adalah Ki Tambak Wedi dann Sidanti, menarik nafas perlahan-lahan. Dengan menganggukkan kepalanya Ki Tambak Wedi menjawab “Selamat malam angger Macan Kepatihan. Apakah angger pernah melihat muridku?”
“Hampir kupecahkan dadanya dengan tongkatku ini kalau paman Widura tidak menyelamatkannya. Nah, sekarang kalian datang untuk memberi kesempatan kepadaku menyelesaikan pekerjaan itu?”
“Jangan marah. Dengarlah dulu maksud kedatangan kami” berkata Ki Tambak Wedi. Sesaat ia berpaling kepada Sumangkar yang berdiri dibelakang Tohpati. Tampaknya alisnya berkerut, dan dengan ragu-ragu ia berkata “Adi Sumangkar?”
Sumangkar tertawa pendek. Kini ia maju selangkah. Goloknya terselip pada ikat pinggangnya. Sambil mengangguk ia menjawab “Ya, Kakang Tambak Wedi. Agaknya kakang masih ingat kepadaku.”
“Ah. Aku tidak akan dapat melupakan kalian. Sepasang murid perguruan Kedung Jati.”
“Huh” potong Tohpati “Kau juga tidak lupa kepada guruku?”
“Tentu tidak angger. Aku adalah kawan seiring dengan almarhum patih Mantahun.”
“Omong kosong. Kau tinggalkan paman dalam kesulitan. Bahkan kemudian aku temui muridmu di Sangkal Putung dalam laskar paman Widura.”
Tambak Wedi terbahak-bahak. Sahutnya “Angger keliru. Angger keliru. Muridku berada di Sangkal Putung dengan tugasnya sendiri. apakah angger tidak mendengar bahwa Untara terluka?”
“Untara?”
Tambak Wedi mengangguk penuh kebanggaan.”Ya, angger Untara terluka. Hampir-hampir mambawa nyawanya.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya “Apakah hubungan luka Untara itu dengan paman Tambak Wedi?”
“Ada sangkut paut yang erat dengan perjuanganmu, ngger” jawab Tambak Wedi “Karena itulah maka aku sengaja menemuimu. Maksudku aku akan datang keperkemahanmu.”
“Apakah paman Tambak Wedi tahu letak perkemahan kami?”
“Aku tidak tahu tepat. Tetapi aku kira-kira saja letak perkemahan itu.”
Macan Kepatihan menggeram. “Kau sedang memata-matai perkemahan kami untuk kepentingan Untara?”
“Tidak ngger, tidak.” potong Tambak Wedi cepat-cepat. “Aku datang untuk keperluan yang cukup penting.”
“Apa itu?”
“Apakah angger dapat menerima kami diperkemahan angger?”
Tohpati menggeleng. Dengan tegas ia berkata “Tidak. Disini paman dapat mengatakan keperluan itu.”
Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi kecewa tetapi ia tahu keberatan Macan Kepatihan. Karena itu ia berkata “Angger. Luka Untara adalah bukti, bahwa sebenarnya aku tidak pernah meninggalkan pamanmu patih Mantahun.”
“Apakah hubungannya?”
“Sidantilah yang melakukannya atas petunjukku.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Desisnya “Tetapi Untara masih hidup. Ia masih berkeliaran, bahkan sampai ke Benda dan sekitarnya.”
“Sidanti salah hitung. Disangkanya serangannya berhasil, karena itu tidak diulanginya.”
“Omong kosong. Mungkin benar Sidanti melukai Untara, sebagai suatu cara untuk berpura-pura mengusir atau mengejar Sidanti. Sidanti akan lari kepadaku. Namun dalam pada itu, segala rahasiaku akan jatuh ketangan Untara.”
“Tidak angger. Tidak. Sebenarnya Untara dan Sidanti telah bermusuhan. Aku memang memberikan beberapa petunjuk. Bukankah aku sahabat pamanda kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Dan dibiarkannya Tambak Wedi berkata “Namun sayang. Tugas Sidanti itu tidak dapat selesai dengan baik.”
“Apa sebabnya Sidanti melukai Untara?”
“Untara adalah pemimpin laskar Pajang dilereng merapi ini. Sedangkan lereng merapi ini adalah Ki Tambak Wedi. Apalagi Untara adalah lawan sahabat Tambak Wedi, patih Mantahun.”
Tohpati menarik alisnya. Sesaat ia terdiam. Dicobanya untuk menimbang kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata “Muridmu yang bernama Sidanti itu, berusaha membunuh Untara karena daerah kekuasaanmu dikuasai pula olehnya, begitu?”
“Ya. Sebagian begitu.”
“Kalau demikian, maka kalian telah terlibat dalam persoalan kalian sendiri.” sahut Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sumangkar. Namun sejenak kemudian ia tersenyum sambil berkata “Hem, Adi Sumangkar, jangan menarik garis dari kepentingan yang saling mendorong itu. Aku mendendamnya karena ia berada didalam daerah kekuasaanku, tetapi aku tidak akan berbuat demikian terhadap angger Macan Kepatihan, meskipun angger itu berada dilereng merapi pula.”
Namun kata-kata itu segera disahut oleh Tohpati “Jangan mengelabuhi aku paman. Seorang pimpinan Jipang telah dibunuh mati oleh Sidanti.”
Hati Sidanti menjadi berdebar-debar karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak ikut campur dalam percakapan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempunyai kepentingan, atau benar-benar seperti anak-anak yang sedang dibicarakan nasibnya oleh ayah bundanya.
Yang menjawab kemudian adalah Ki Tambak Wedi “Ya, angger. Hal itu terpaksa dilakukan. Maksudnya untuk menghilangkan jejak dibunuhnya Untara, sehingga Sidanti tidak pernah meninggalkan Sangkal Putung dan dapat berbuat serupa terhadap pemimpin-pemimpin yang lain”
“Hem” geram Tohpati “Jadi Sidanti membunuh Plasa Ireng hanya sekedar untuk mendapat kepercayaan. Jadi Plasa Ireng itu nilainya tidak lebih dari alat untuk mendapat kepercayaan. Seandainya demikian, kenapa Sidanti kemudian melukainya arang kranjang meskipun Plasa Ireng telah terbunuh? Itu benar-benar suatu kekejaman. Kekejaman yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang beradab. Orang-orangku yang kalian sebut liar itupun jarang-jarang yang berbuat demikian.”Sekali lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas. Ia terdorong dalam kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Meskipun demikian ia tidak segera kehilangan akal, maka katanya “Angger, memang sulit untuk menjawab pertanyaan angger. Memang sukar untuk menjelaskan sikap kami. Tetapi biarlah aku coba urut-urutannya. Sidanti menggabungkan diri dalam kelaskaran Pajang dan berhasil memilih Sangkal Putung sebagai daerah garis perangnya, kenapa tidak ditempat lain? Karena aku yakin bahwa suatu ketika Untara akan hadir ditempat itu. Kemudian Sidanti akan membunuh pimpinan-pimpinan Pajang itu satu demi satu tanpa kecurigaan. Baru kemudian setelah selasai pekerjaannya, ia akan memberitahukan kepada angger. Sebab apabila sebelum itu angger telah menyadari kedudukan Sidanti , serta orang lain mendengarnya, maka jiwa Sidanti sendiri akan terancam. Karena itulah, maka Sidanti selalu berusaha menjadi orang yang tampaknya paling gigih di Sangkal Putung sebagai usaha untuk menyelubungi dirinya. Tetapi usahanya itu tidak dapat sempurna. Suatu ketika usaha itu diketahui setelah Untara hampir mati. Sayang ia dapat sadar kembali dan mengatakan siapa yang telah berusaha untuk membunuhnya. Nah sekarang tidak ada lagi cara lain untuk berjuang selain melalui garis perang yang langsung berhadapan. Karena itu Sidanti aku bawa kemari. Mungkin dapat angger pergunakan untuk ganti yang telah terbunuh itu.”

12 komentar:

rizal mengatakan...

Sahabats,
terima kasih atas komentar2nya, semoga tidak mengganggu kelancaran posting ini supaya bisa kita nikmati karya yang indah ini. Tul ga?
Saya setuju sekali tentang saran gotong royong yang sudah didengungkan sejak posting2 awal, dan silakan bagi sahabats yang masih punya bukunya dan berkenan gotong royong utk retype dan diinform disini nomor bukunya agar tidak kerja ganda. Ayo mari, dipilih....dipilih.... seri mana yang mau bantu...
Wass...

Unknown mengatakan...

Terimakasih atas lanjutan AdBM-nya mas Rizal.

Unknown mengatakan...

terima kasih mas atas updatenya..

Anonim mengatakan...

siaaaaaaaaap .... grak.... ayo kamu bisa. di luar pusing lagi pada brantem, tidak ada damai lagi. lebih enak baca warisan tanah leluhur .......... lanjut trus bosz, jangan sampe bosen...

Anonim mengatakan...

trims utk lanjutan AdBM-nya mas rizal

Anonim mengatakan...

Mas Rizal,
Ma kasih kirimannya.
Tohpati yang gelisah dan Ki Sumangkar yang sudah sumeleh dan berhati tenang terlibat pembicaraan yang sangat indah dan inspiratif. Di jaman ini juga banyak yang berhati panas, esmosi, mau menang sendiri, egois, tetapi ada juga yang berhati selebar samudra, pembawaan tenang....

Di sini disadarkan sikap lapang dada, humanis, cinta pada perdamaian, pertimbangan jangka panjang dst..dst..... wis pokoke indahlah.

Almarhum SH Mintardja pasti senang kalau values yang disemai di cerita ADBM-nya masih bisa dinikmati dan memberi inspirasi banyak orang...

Ma kasih mas. Senang ada Mas Rizal yang mau repot-repot menyenangkan orang lain dan juga menjadi saluran nilai budi luhur..hikkk,hiikk jadi panjang.
Ujung-ujungnya... kita tunggu kiriman selanjutnya.


Wassalam,
Julius-Tebet

Anonim mengatakan...

setuju mas julius - tebet.......
terima kasih banyak buat mas rizal.... (papar-persikmania)

Anonim mengatakan...

Heh..heh..heh apalagi yang kita tunggu,
"holobis kuntul baris"
(awas mbacanya jangan kliru)

Anonim mengatakan...

Wee..ladalah... udah nyampe episode 50 rupanya. Dan ternyata juga baru nyampe buku ke-8. Tapi aku harus nunggu lama nih mas rizal, soalnya obat yang kemarin menurut resep dokter kan harus diminum sehari sekali, karena pengin cepat sembuh, aku minumnya 3 kali sehari.
Kepala nggliyeng..nunggu resep berikutnya. Untunglah sambil nunggu saya masih bisa ngikutin karya SH Mintardja yang lain, "Sayap-Sayap yang Terkembang" yang ga kalah serunya, yang saat ini udah mencapai episode 994.
Aku belum dengar kelanjutannya nih dari kawan2 yang pengin kolaborasi dalam retypr ADBM ini. Bukankah mas Rizal sudah minta untuk menyebutkan jilid berapa saja yang dimiliki sobat dan sobit semua.
Aku kira via blog comment ini juga boleh, agar yang lain juga tahu dan langsung bisa bagi2 tugas.

Anonim mengatakan...

saya membacanya selama 7 jam nonstop 50 jilid...kecuali BAK dan sholat...luar biasa mas rizal yang anda lakukan...apa yg bsa saya bantu....dgn senang hati

Anonim mengatakan...

Selamat datang mas Budhi. Nah ada satu lagi pemabok AdBM yang baru. Malah 7 tajam mantheng kayak orang bertapa. Hati-hati Mas bisa mabok kepayang lho dan sementara ini obatnya yang bisa kasih hanya Mas Rizal.
Saya sendiri ingin bantu, tapi sudah susah sekali melacak materinya. Dulu baca di rumah Pakdhe di Jogya, lalu bertumpuk-tumpuk buku AdBM dihibahkan ke perpustakaan kampung saya.

Mas Ubaid mungkin bisa memelopori untuk copy darat kali ya... he..he.. usul aja.

Salam,
Julius -Tbt.

ibun lungsur mengatakan...

Teng kyu