Selasa, 03 Juni 2008

Api di Bukit Menoreh 49

Sampai digubug Alap-alap Jalatunda Tohpati berhenti. Wajahnya tampak berkerut-kerut. Diangkatnya telinganya sambil bergumam lirih “Siapa itu paman?”
Sumangkar menarik pundaknya tinggi-tinggi. Katanya “Itulah Raden, gambaran kehidupan kita”
Tohpati menggeram. Didengarnya sekali lagi suara tertawa perempuan seperti seekor kucing tercekik. Kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda yang muda itu “Jangan merajuk anak muda. Tinggalkan istrimu disini. Ia tidak akan berkurang cantiknya”
Yang terdengar kemudian ringkik perempua. Katanya “Kembalilah dulu kang, aku ingin tinggal disini dahulu”
Tohpati itu kemudian melihat anak muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang. Anak muda yang pernah diajaknya bercakap-cakap. Anak muda yang istrinya jauh lebih tua dan bernama Nyai Pinan. Laki-laki muda itu berjalan tersuruk-suruk dengan wajah yang suram. Sekali ia berpaling, dan terdengar istrinya berkata “Kang, aku akan segera kembali membawa sepotong daging rusa untuk kakang. Bukankah kakang senang makan daging rusa?”
Laki-laki itu mengangguk. Dan kembali ia berjalan meninggalkan gubug itu diiringi oleh suara tertawa istrinya dan Alap-alap Jalatunda. Diantara suara tertawa itu terdengar Nyai Pinan berkata “Suamiku adalah laki-laki yang baik hati”
Laki-laki muda yang bertubuh kurus itu berhenti sesaat mendengar pujian istrinya. Namun kemudian ia berjalan kembali.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menyambar bahunya. Ketika ia berpaling, maka tubuhnya terputar dengan kuatnya.
Laki-laki itu sesaat seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, ia bertambah terkejut lagi. Dilihatnya sepasang mata Tohpati seolah-olah memancarkan sinar api yang merah membara.
Laki-laki muda itu tidak mengerti apa yang harus dilakukannya, sehingga dengan gemetar ia menyeringai ketika tubuhnya diguncang-guncang oleh tangan Tohpati yang serasa akan meremukkan tulangnya.
“Kembali masuk kedalam gubug itu” teriak Tohpati dengan suara parau dan gemetar, sehingga suaranya seolah-olah telah berubah menjadi suara hantu yang sedang marah “Masuk kembali kegubug itu. Seret perempuan itu keluar. Perempuan yang pernah kau larikan dari suaminya”
Laki-laki muda yang tinggi kurus dan berkumis jarang itu menjadi semakin bingung. Ia kini benar-benar kehilangan akal dengan demikian maka ia masih saja berdiri dengan mulut ternganga.
“Ayo masuk kembali kedalam gubug itu” teriak Macan Kepatihan dengan marahnya.
Laki-laki itu benar-benar menjadi kebingungan, sehingga tanpa sesadarnya terloncat jawabannya “Tetapi tuan, ia masih ingin tinggal disana”
“Ambil perempuan gila itu. Seret keluar kalau tidak mau dilemparkan dari perkemahan ini”
Otak laki-laki kurus itu kini seolah-olah menjadi seperti baling-baling yang dipermainkan angin. Kalau angin itu bertambah kencang sedikit saja, maka ia akan semakin kencang berputar, dan tidak mampu untuk mencoba berhenti dengan sendirinya.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba terdengar suara Alap-alap Jalatunda dengan garangnya “He, siapa diluar?”
Laki-laki kurus itu tidak dapat menjawab. mulutnya benar-benar serasa terbungkam, sehingga sekali lagi terdengar suara Alap-alap Jalatunda “Siapakah laki-laki gila yang mengumpat-ngumpat itu?”
Demikian marahnya Macan Kepatihan mendengar kata-kata itu sehingga bibirnya menjadi gemetar, dan bahkan tak sepatah katapun yang dapat melontar dari bibirnya.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan dari dalam bilik itu “Ah, jangan marah kang. Tunggulah diluar. Sebentar lagi antarkan aku kembali kegubug suamiku”
Bukan main marahnya Macan Kepatihan itu. Dan kemarahannya itu benar-benar menimbulkan keheranan pada Sumangkar yang tua. Apa yang terjadi itu bukanlah barang baru didalam perkemahan ini. Tetapi agaknya Tohpati tidak pernah menaruh perhatian atasnya. Namun tiba-tiba ada suatu perubahan pada sikapnya. Perubahan yang tak dapat diketahui ujung dan pangkalnya. Namun yang dilihatnya kini Macan Kepatihan itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Karena itu, maka tiba-tiba Tohpati itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Sekali ia meloncat mendekati gubug itu, dan dengan sekuat tenaganya tiang sudut gubug itu berderak patah, dan runtuhlah sudut gubug Alap-alap Jalatunda.
Mendengar suara berderak-derak itu, alangkah terkejutnya Alap-alap Jalatunda dan Nyai Pinan. Dengan tangkasnya anak muda itu meloncat kepintu dan dengan sebuah loncatan yang panjang ia telah berdiri tegak diluar pintu.
Tetapi alangkah terkejutnya Alap-alap yang garang itu. Demikian ia berdiri tegak, maka dengan serta-merta sebuah tangan terjulur kearahnya dan dengan kuatnya menggenggam leher bajunya. Alangkah kuatnya tangan itu. Alap-alap Jalatunda itu serasa kehilangan segenap kekuatannya ketika tangan itu menariknya.
Sebelum Alap-alap Jalatunda sadar akan keadaannya, maka sebuah tamparan yang keras mengenai pipinya. Kini ia terhuyung-huyung. Tangan yang kuat itu telah tidak menggenggam bajunya lagi, sehingga Alap-alap itu terbanting jatuh. Namun sebenarnya tubuh Alap-alap Jalatunda itu sedemikian kokohnya. Demikian ia terguling, maka segera ia meloncat berdiri diatas kedua kakinya yang kokoh.
Kini barulah ia melihat siapakah laki-laki yang telah menamparnya itu. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekar berkumis tebal melintang. Macan Kepatihan.
Ketika disadarinya siapa yang berdiri dihadapannya itu, maka berdesirlah hatinya. Tiba-tiba ia tidak lagi bersikap garang. Sekali ia membungkukkan badannya dan berkata “Maafkan aku Raden. Aku tidak tahu, bahwa Raden berada disini”
Terdengar gigi Macan Kepatihan gemeretak menahan kemarahannya yang memuncak. Dengan tajamnya ia memandangi wajah Alap-alap Jalatunda yang tunduk.
Seandainya pada saat itu Alap-alap Jalatunda berkata sepatah kata saja, maka wajahnya pasti akan menjadi bengkak, karena Tohpati telah menggenggam tinjunya siap untuk memukul mulut Alap-alap Jalatunda itu. Namun untunglah bahwa Sumangkar sempat menenangkannya, katanya “Sudahlah ngger, biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap orang diperkemahan ini. Anak muda itu telah menyesal”
Tohpati tidak menjawab. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Ternyata disekitar tempat itu telah berdiri berkerumun beberapa orang. Diujung berdiri seseorang dengan mulut yang bergerak-gerak, Sanakeling. Meskipun ia tegak dengan wajah tegang, namun mulutnya masih saja mengunyah daging menjangan yang belum sempat ditelannya.
Tohpati itu kemudian melangkah selangkah maju. Dengan tongkatnya ia menunjuk kedalam kekelaman malam, kekelaman hutan disekitarnya “Perempuan yang jahat. Pergi dari sini. Kaulah yang membawa sial dalam laskar kami”
“Raden” cegah Sumangkar hati-hati “Biarkan perempuan ini disini. Tempatkanlah perempuan itu pada suaminya. Jangan meninggalkan tempat ini. Kalau ia pergi maka suaminyalah yang akan menjadi gantinya”
Betapa marahnya Macan Kepatihan, namun naluri kepemimpinannya segera merayapi otaknya. Karena itu, maka katanya “Paman benar. Perempuan itu tidak boleh meninggalkan tempat ini”. Kemudian katanya kepada laki-laki kurus berkumis jarang “Kau menjaga istrimu digubug ini. Biarlah Alap-alap gila itu mencari tempat lain. Kalau istrimu sampai meninggalkan tempat ini, maka lehermu menjadi taruhannya”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya dalam-dalam sambil gemetar. Ia tidak tahu kenapa istrinya tidak boleh meninggalkan tempat itu. Apakah besok istrinya akan dihukum, apakah ada persoalan-persoalan lain yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan itu? Tetapi ia hanya mampu menjawab “Ya, ya tuan”
Namun Sumangkar yang berpengalaman itu dapat membayangkan apa saja yang akan terjadi seandainya perempuan itu benar-benar meninggalkan perkemahan itu. Perkemahan yang dengan hati-hati dipersiapkan khusus untuk tujuan yang penting. Perkemahan yang dibangun dengan tergesa-gesa untuk mempersiapkan laskar-laskar Jipang yang terpencar disegala penjuru. Kalau perempuan itu lepas dengan luka dihatinya, maka perkemahan itu pasti segera akan hancur. Sebab tidak mustahil, tempat itupun akan segera diketahui oleh Untara dan Widura. Untunglah bahwa Tohpati segera menyadari pula keadaan itu, sehingga orang-orang Untara belum dapat mengetahui dengan pasti letak perkemahan itu. Hubungan-hubungan yang dibuat dengan orang-orang dalam masih terlalu sulit dan kesempatan untuk itu masih belum dapat diperoleh. Yang baru diketahui oleh orang-orang Untara adalah persiapan-persiapan dan kesibukan dari beberapa orang yang terpencar-pencar. Pemusatan kekuatan disekitar daerah yang sudah dikenal. Namun secara pasti, tempat itu belum dapat diketahui. Apalagi tempat ini belum lama dibangun, setelah beberapa puluh kali berpindah-pindah.
Nyai Pinan kemudian menjadi ketakutan bukan alang kepalang. Merangkak-rangkak ia menangis minta ampun. Bahkan ketika ia hampir sampai dihadapan Tohpati, maka segera ia menjatuhkan dirinya menelungkup. Namun Tohpati tidak menghiraukannya. Sekali lagi matanya beredar diantara orang-orangnya yang berdiri berkerumun sambil menahan gelora hati masing-masing. Dengan lantang ia berkata “Aku tidak mau melihat perbuatan terkutuk berulang diperkemahan ini”
Dan sebelum gema suaranya lenyap dalam kekelaman malam, maka segera Tohpati itu melangkah pergi. Beberapa orang menyibak kesamping memberinya jalan. Tanpa menoleh Tohpati berjalan masuk kedalam malam yang gelap. Dibelakangnya Sumangkar berjalan cepat-cepat. Diujung perkemahan itu Sumangkar masih sempat meraih sebuah golok pembelah kayu. Kalau mereka pergi ke Sangkal Putung, maka perjalanan itu bukanlah perjalanan tamasya dimalam purnama. Sehingga karena itu, maka golok itu akan sangat bermanfaat baginya apabila ditemuinya bahaya diperjalanan.
Sepeninggal Tohpati, Sanakeling melangkah maju. Mulutnya yang masih mengunyah daging menjangan itu berkata “Apakah yang kau lakukan Alap-alap kecil?”
Alap-alap Jalatunda menundukkan wajahnya. Terasa darah yang seakan-akan menggelegak, namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Meskipun demikian terasa juga bahwa telah terjadi suatu perubahan sikap pada Tohpati yang garang itu.
Meskipun Pratanda yang juga bergelar Alap-alap Jalatunda itu belum menjawab, namun dengan melihat Nyai Pinan yang masih merangkak-rangkak, segera Sanakeling dapat menduga apa yang telah terjadi. karena itu, maka gumamnya didalam mulutnya “Hem, karena itu aku tidak mau berurusan dengan perempuan. Perempuan dimana-mana dapat menimbulkan persoalan. Dunia ini dapat menjadi sedemikian indah dan menggairahkan, karena perempuan. Namun dunia ini dapat berubah menjadi neraka juga karena perempuan. Nah alap-alap kecil, jangan menyesal. Yang sudah biarlah terjadi, tetapi ingatlah untuk seterusnya, bahwa Macan Kepatihan yang garang itu membenci perempuan”
Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya. Dilihatnya Sanakeling masih menggerak-gerakkan mulutnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda tidak berkata apa-apa. dengan langkah yang gontai ia berjalan meninggalkan tempat itu.
“Mau kemana?” bertanya Sanakeling.
“Tidak kemana-mana” sahut Alap-alap Jalatunda.
“Kau tidak boleh menempati gubug yang hampir roboh itu. Tidurlah ditempatku bersama orang-orangku”
Alap-alap Jalatunda menggeleng, katanya “Aku akan tidur bersama orang-orangku sendiri”
Sanakeling dengan susah payah menelan segumpal daging yang tidak dapat dikunyahnya. Sesaat terasa kerongkongannya tersumbat. Namun setelah gumpalan daging itu melalui lehernya ia berkata “Terserahlah, tetapi aku akan berbicara kepadamu. Datanglah kegubukku”
“Tentang apa?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Tidak tentang perempuan” sahut Sanakeling.
“Ah” desah Alap-alap Jalatunda “Tentang apa?”
Sanakeling memandang Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya. Ia tidak senang mendengar Alap-alap itu berkata tajam kepadanya. Meskipun demikian ia menjawab “Tentan kedudukan kita dan Sangkal Putung. Pergilah”
“Apa yang akan kita bicarakan?”
“Pergilah kegubugku” desak Sanakeling.
“Kita bicara disini saja”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Katanya “He, apakah kau sudah menjadi gila?”
Alap-alap Jalatunda tidak memperdulikannya. Selangkah ia berjalan kesamping sambil bergumam “Aku akan pergi”
“Pergilah ketempatku. Aku perlu berbicara tentang berbagai persoalan”
Alap-alap Jalatunda yang sedang dibakar oleh gejolak hatinya itu menjawab dengan jengkelnya “Berbicaralah disini”
Sanakeling menjadi marah pula karenanya. Selangkah ia maju sambil menggeram perlahan-lahan “Alap-alap kecil. Jangan menjadi gila. Kau dihukum karena kesalahanmu. Jangan membuat persoalan baru. Pergi kegubug itu, atau kau aku tampar mulutmu dimuka anak buahmu. Aku masih merasa berbaik hati kepadamu bahwa aku memperingatkanmu perlahan-lahan”
Langkah Alap-alap Jalatunda itu terhenti. Alangkah sakit hatinya mendengar geram itu. Tetapi ketika dilihatnya mata Sanakeling yang seolah-olah menyala itupun, hatinya menjadi kecut. Disadarinya kini kekecilannya diantara para pemimpin Jipang. Sanakeling adalah orang yang garang segarang Plasa Ireng yang telah mati dibunuh oleh Sidanti dengan luka arang kranjang ditubuhnya.
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda terpaksa menahan gelora didadanya. Ditelannya kepahitan itu meskipun hatinya tidak ikhlas. Karena itu, maka ia menjawab pendek “Ya, aku akan pergi kesana”
Sanakeling menarik nafas panjang. Namun matanya masih saja menyalakan kemarahannya. Dengan langkah yang berat ia berjalan meninggalkan gubug itu sambil memperingatkan perempuan yang masih saja menangis sambil duduk ditanah “Ingat semua kata-kata Macan Kepatihan supaya nyawamu tidak dicabut dengan tongkatnya yang mengerikan itu. Sekali kepalamu tersentuh kepala tongkatnya, maka otakmu pasti akan berhamburan. Nah, masuklah kegubug itu dan jangan meninggalkan tempat ini”
“Baik tuan. Aku tidak berani melanggar perintah itu” tangis Nyai Pinan.
Sanakeling itupun kemudian kembali kegubugnya. Ia dapat mengerti juga kenapa Nyai Pinan tidak boleh meninggalkan tempat itu. Sebab perbuatan itu akan sangat berbahaya bagi rahasia gerombolannya.
Alap-alap Jalatundapun tidak dapat berbuat lain daripada datang memenuhi permintaan Sanakeling. Ia sudah dapat membayangkan apa saja yang akan dikatakan oleh Sanakeling itu. Persiapan untuk menyerbu kembali Sangkal Putung.
Dalam pada itu, Tohpati berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Tempat yang dibangunnya sebagai landasannya untuk meloncat kedaerah perbekalan yang subur, Sangkal Putung. Namun perkemahan itu telah menumbuhkan kebencian padanya. Tempat yang terkutuk. Tempat yang dipenuhi oleh berbagai ciri kehidupan liar yang benar-benar menjemukan. Ia tidak mengerti apa yang terjadi didalam dirinya, bahwa baru sekarang ia merasa muak melihat perbuatan-perbuatan itu. Bukankah sebelumnya telah diketahui, setidak-tidaknya pernah didengarnya bahwa hal-hal semacam itu pernah dan bahkan sering terjadi? Kenapa pada saat itu ia tidak berbuat apa-apa? Kenapa pada saat itu dibiarkannya kemaksiatan semacam itu tumbuh seenaknya?
Macan Kepatihan itu menggeram. Ketika ia berpaling dilihatna Sumangkar berjalan beberapa langkah dibelakangnya sambil menjinjing sebilah golok.
“Apakah yang paman bawa itu?”
“Golok” sahut Sumangkar.
“Untuk apa?”
“Tongkat” jawabnya pendek.
Tohpati mengerutkan keningnya dan memperlambat langkahnya, sehingga Sumangkarpun berjalan lebih lambat pula.
Sekali-sekali Macan Kepatihan itu berpaling dan akhirnya ia berkata “Golok itu terlampau pendek untuk dijadikan tongkat”
Sumangkar terkejut mendengar kata-kata itu. Cepat ia mencari kawaban yang lain, katanya “Tidak ngger. Bukan tongkat sebagai penyangga tubuh. Maksudku, golok ini dapat dipakai untuk menerabas dahan-dahan yang mengganggu jalan”
Tohpati itu tersenyum. Katanya dengan nada datar “Paman ternyata memerlukan juga senjata”
Sumangkar tidak menjawab. Ternyata Macan Kepatihan itu dapat menebak maksudnya. Namun bukankah ia akan pergi kedaerah lawan? Maka adalah kewajibannya untuk berhati-hati. Meskipun demikian Sumangkar itu tidak menjawab. Ia masih saja berjalan dibelakang Tohpati sampai mereka muncul dari balik rimbunnya dedaunan yang agak lebat.
Demikianlah mereka melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Tohpati menarik nafas lega, seolah-olah ia telah keluar dari suatu daerah yang dibencinya. Suatu daerah yang sama sekali tidak menyenangkan. Seakan-akan ia baru keluar dari suatu tempat yang padat pepat sehingga menyesakkan nafasnya.
Ketika Tohpati menengadahkan wajahnya, dilangit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut.
Sekali lagi Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Bulan itu tampaknya sangat asing baginya. Sudah beberapa tahun ia melupakan keindahan bulan, langit yang sumeblak, bintang-bintang dan bahkan melupakan apa saja yang dapat memberinya kesegaran seperti malam ini. Angin yang lembut dan daun-daun yang bergerak-gerak dibelai oleh angin yang lembut itu.
“Hem” desahnya.
Sumangkar melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia berjalan disamping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar Tohpati itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa.
Tohpati masih mengagumi kesegaran angin malam dan kembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit digaris cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat gunung Merapi menyentuh langit.
“Paman” tiba-tiba terdengar Tohpati itu berkata “Umurku sudah cukup banyak paman. Sudah sepertiga abad. Tetapi aku merasa tiba-tiba menjadi orang asing disini. Asing dari alam disekitarku ini”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertanyaan itu telah mengatakan kepadanya, bahwa terjadi sesuatu pergolakan didalam dada murid saudara seperguruannya itu. Namun Sumangkar menjawab “Mungkin angger merasa asing. Tetapi alam yang Raden anggap asing ini, adalah alam yang sehari-hari telah memeluk angger dalam rangkumannya. Alam ini mengenal angger dengan baik. Sebab angger adalah bagian daripadanya. Angger telah lahir dari sumber yang sama”
Tohpati berdesir mendengar kata-kata Sumangkar itu. Tiba-tiba disadarinya bahwa alam adalah saudara kandungnya. Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan, matahari dan seluruh isi angkasa. Semuanya telah tercipata oleh sabda yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecilnya dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini.
Tetapi selama ini Tohpati tidak pernah mengingat sumbernya lagi. Yang diingatnya sehari-hari adalah nafsu yang menyala-nyala didalam dadanya untuk memusnahkan lawan. Membunuh dan menghancurkan. Membuat malapetaka dan meruntuhkan air mata.
Sekali lagi Tohpati menengadahkan wajahnya. Bulan itu masih memancar dilangit, dan bintang-bintang masih bergayutan pada dataran yang biru.
“Paman” gumam Macan Kepatihan itu perlahan-lahan “Besok kita akan mulai dengan persiapan yang terakhir. Mudah-mudahan kita akan dapat merebut daerah perbekalan itu kali ini”
Sumangkar berpaling. Kata-kata itu sama sekali tidak bernafsu seperti arti katanya. Tohpati itu seakan-akan berkata asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu Sumangkar tidak segera menjawab. Dibiarkannya Tohpati berkata pula “Besok kita akan mulai lagi dengan suatu gerakan. Aku mengharap lusa kita telah berada di Sangkal Putung”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya pendek “Ya ngger”
Tohpati sama sekali tidak tertarik kepada jawaban Sumangkar. Bahkan seolah-olah tidak didengarnya. Ia masih saja berkata seterusnya “Besok aku akan mulai dengan pembunuhan-pembunuhan dan kematian-kematian baru. Besok aku mengadakan benturan benturan antara manusia dengan manusia. Antara sesama yang mengalir dari sumber yang satu”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tahu benar apa yang terkandung didalam hati Macan Kepatihan itu. Sehingga karena itu diberanikan dirinya berkata “Besok itu belum terjadi. Kita masih dalam keadaan kita sekarang. Apa yang terjadi besok bukanlah suatu kepastian dari sekarang. Kita mendapat wewenang untuk menentukan hari besok. Hari kita sendiri”
“Ya” sahut Tohpati “Paman benar. Tetapi apa yang kita lakukan besok pasti berdasarkan pertimbangan tentang hari sekarang dan hari kemarin. Apakah dan siapakah kita sekarang dan kemarin. Dengan dasar itulah kita berbuat untuk besok”
“Ya. Kita sendiri adalah kelanjutan dari masa lampau. Tetapi tidak seharusnya apa yang kita lakukan besok harus senafas dengan apa yang kita lakukan kemarin” sahut Sumangkar “Dengan demikian maka tidak akan ada perubahan-perubahan didalam diri manusia. Tetapi perubahan-perubahan itu selalu terjadi. Seorang yang hidup karena pekerjaan yang nista suatu ketika akan dapat menjadi seorang yang alim dan berbudi. Seorang yang baik hati, suatu saat dapat berbuat diluar batas kemanusiaan”
“Seorang pahlawan dimedan-medan perang, suatu ketika memilih jalan hidupnya didapur-dapur dan disudut-sudut perapian” potong Tohpati.
“Ya, itupun suatu perkembangan yang terjadi didalam diri manusia” sahut Sumangkar.
Tohpati mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Ditatapnya padang rumput yang sempit dihadapannya, kemudian diseberang padang rumput itu terdapat sawah-sawah yang tidak pernah ditanami selama kerusuhan terjadi didaerah ini. Para petani yang memilikinya menjadi ketakutan untuk menggarapnya, sebab setiap saat laskat Jipang yang liar sering memerang mereka.
Ketika mereka melangkah semakin jauh kedalam padang itu, kembali Tohpati berkata tanpa berpaling “Oaman, apakah paman puas dengan keadaan paman sekarang?”
“Puas tentang apa, ngger?”
“Tentang keadaan paman. Paman yang pernah dikagumi digaris perang, kini tidak lebih dari seorang juru masak didapur”
“Aku puas ngger. Aku puas bahwa aku untuk sekian lamanya berhasil meletakkan senjataku dan menggantinya dengan pisau dapur dan golok pembelah kayu ini”
Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu menggeram didalam rongga dadanya, tetapi ia ragu-ragu untuk mengutarakannya.
Namun yang terloncat dari bibirnya adalah “Paman adalah seorang yang berhati goyah. Paman telah meletakkan suatu tekad perjuangan. Namun paman berhenti ditengah jalan”
“Raden” sahut Sumangkar perlahan-lahan “Aku memang pernah meletakkan suatu tekad. Tetapi aku bukan orang yang buta pada keadaan. Orang yang dengan membabi buta pula berbuat hanya karena sudah terlanjur. Sebenarna ngger, terus terang, sejak Arya Penangsang dan pamanda Patih Mantahun melakukan rangkaian-rangkaian pembunuhan, sejak itu hatiku telah goyah. Tetapi aku pada saat itu tidak yakin, hatiku dapat goyah. Aku tidak percaya pada setiap persoalan yang timbul didalam diriku. Dan aku telah berusaha untuk membutakan mataku dan berbuat seperti yang sudah mulai aku lakukan. Tetapi akhirnya aku menyadari keadaanku. Aku tidak dapat membohongi perasaanku terus memerus. Aku jemu pada peperangan”
“Jangan berkata begitu” potong Tohpati. Langkahnyapun terhenti dan dengan pandangan yang tajam ditatapnya mata Sumangkar. Namun kini Sumangkar tidak lagi menundukkan wajahnya. Bahkan langsung dipandangnya biji mata Tohpati yang seakan-akan menyala itu. Pandangan mata seorang yang sudah lanjut usia.
Tohpatilah yang kemudian berpaling. Meskipun demikian ia bergumam “Paman jangan mencoba melemahkan hatiku. Apakah paman ingin memaksa aku untuk berbuat seperti paman itu. Meletakkan senjata ini dan merunduk-runduk kepada orang Pajang untuk menjadi juru masak atau pekatik”
“Tidak” sahut Sumangkar “Angger tidak dan akupun tidak”
“Lalu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Timbullah kebimbangan didalam hatinya. Sudah pasti ia tidak dapat mengatakan kepada Tohpati meskipun ia tahu bahwa hati Macan Kepatihan yang garang itu sedang goncang.
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar Tohpati berkata “Paman, aku bukan pengecut. Aku bukan orang yang takut melihat beberapa kekalahan kecil. Dan aku tak akan dapat digoyahkan oleh keadaan yang bagaimanapun juga. Lusa apabila Sanakeling telah berhasil mengumpulkan segenap orang-orang kita, maka aku benar-benar akan menghancur-lumatkan Sangkal Putung. Kali ini yang terakhir. Kalau aku tidak berhasil menguasai Sangkal Putung, maka lebih baik Sangkal Putung itu aku binasakan. Rumah-rumahnya, sawah-sawahnya dan segala kekayaan yang ada didalamnya. Buat apa aku menyayangkan kehancurannya, kalau aku tidak dapat memanfaatkannya”
Sumangkar memandangi wajah Tohpati dalam keremangan cahaya bulan. Dilihatnya Macan Kepatihan itu kemudian menggigit bibirnya dan terdengar ia menggeram.
“Hem” Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, meskipun ia tidak segera mengucapkan kata-kata.
“Kenapa paman berdesah?” bertanya Tohpati
“Tidak” sahut Sumangkar “Aku tidak berdesah. Aku sedang menyesal”

Tidak ada komentar: