Senin, 09 Juni 2008

Api di Bukit Menoreh 51

Tohpati mendengarkan kata-kata Tambak Wedi itu dengan wajah yang tegang. Sepercik harapan timbuk didalam hatinya. Mungkin Sidanti tidak benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu, namun dengan hadirnya Sidanti diperkemahannya, pasti akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Mungkin ia masih harus mencoba kesetiaannya sekali dua kali dengan pangawasan yang ketat. Namun apabila kemudian ternyata kata-kata Tambak Wedi itu benar, maka ia akan mendapat kekuatan baru disamping berkurangnya kekuatan di Sangkal Putung.
Tetapi tidak demikian yang terlintas diotak Sumangkar. Ia tidak dapat menerima Sidanti apapun alasannya. Ia tidak mau melihat Sidanti mengkhianati Tohpati. Menusuk dari belakang atau perbuatan apapun yang akan mencelakakannya. Tetapi seandainya Sidanti benar-benar ingin bekerja sama dengan Tohpatipun sama sekali tidak dikehendakinya. Dengan demikian maka peperangan ini akan semakin riuh. Dengan kekuatan baru mungkin Tohpati akan melupakan persoalan-perasoaan yang sudah timbul didalam kepalanya. Hal itu akan menghanyutkan kejemuannya terhadap perang, seandainya ia mendapat kemenangan baru saat-saat terakhir nanti. Dengan demikian penderitaan akan berjalan semakin lama. Usaha yang sia-sia dan putus asa inipun akan berjalan semakin lama pula. Korban yang berjatuhan akan menjadi semakin banyak. Korban-korban dari mereka yang sama sekali tidak tahu sudut tepinya peristiwa antara Pajang dan Jipang.
Karena itu, ketika diketahuinya Tohpati menjadi ragu-ragu maka Sumangkar itupun menjadi cemas. Sehingga ketika Tohpati tidak segera menjawab, berkatalah Sumangkar sambil tertawa lirih “Sebuah dongeng yang bagus Kakang Tambek Wedi.”
Tambak Wedi terkajut mendengar tanggapan Sumangkar itu. Karena itu, maka segera wajahnya menjadi tegang. Suaranyapun menjadi tegang pula. Katanya “Adi Sumangkar. Apakah adi tidak percaya pada muridku, murid Ki Tambak Wedi.”
“Kakang, bagaimana aku akan percaya. Ingatkah kakang apa yang telah kakang lakukan pada saat-saat ki Patih Mantahun terjepit antara dua pasukan Pajang yang kuat, yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, segera sepeninggal Arya Penangsang. Alangkah ngerinya. Patih itu berjuang mati-matian tanpa mengenal takut meskipun usianya telah lanjut. Nah, apa kerjamu waktu itu Ki Tambak Wedi? Seandainya kau tidak meninggalkannya waktu itu, setidak-tidaknya Patih Mantahun akan dapat meloloskan dirinya.”
Wajah Tambak Wedi menjadi merah semerah bara. Untunglah malam yang remang-remang telah melindunginya, sehingga perubahan wajah itu tidak segera diketahui oleh Tohpati. Namun demikian terasa dadanya bergetar dan suaranyapun gemetar pula. “Adi. Adi terlalu berparasangka. Aku sudah menasehatkan untuk meninggalkan pertempuran kepada kakang Mantahun waktu itu. Tetapi ia menolak.”
Mendengar jawaban Tambak Wedi Sumangkar tertawa. Dengan menengadahkan wajahnya ia berkata “Kata-katamu aneh kakang. Pada saat perang antara Jiang dan Pajang pecah, setelah Arya Penangsang gagal membunuh Karebet karena ia memiliki Aji Lembu Sekilan, maka kau hampir-hampir tak pernah tampak lagi dikepatihan Jipang. Apalagi setelah laskar Jipang terdesak dan Arya Penangsang terbunuh. Sehingga tidak mungkin kau berada disekitar kakang Mantahun pada saat menjelang ajalnya. Ketahuilah, bahwa kakang Mantahun meninggal dalam pangkuanku, setelah menyingkir dari peperangan. Namun laskar Pajang berhasil merebut jenazahnya.”
Tubuh Tambak Wedi menjadi gemetar menahan marah. Meskipun demikian ditenangkannya hatinya sejauh mungkin. Ia masih mengharap Macan Kepatihan menerima muridnya. Karena itu, maka katanya “Angger Macan Kepatihan, terserahlah dalam penilaian angger. Tetapi kalau angger mau bekerja bersama Sidanti, maka aku janjikan bahwa tenagaku akan aku serahkan pula. Angger pasti percaya, bahwa Untara, Widura, Agung Sedayu dan siapa lagi, biarlah mereka maju bersama-sama, maka mereka akan terbunuh olehku, asal laskar Jipang membebaskan aku dari laskar Pajang yang pasti akan membantu pemimpin-pemimpinnya”
Dentang jantung Tohpati seakan-akan menjadi semakin cepat. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya memandang Sumangkar, namun Sumangkar tidak sedang memandangnya. Bahkan Sumangkar itu agaknya benar-benar menyerahkan persoalan itu kepadanya. Namun percakapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah memberinya banyak bahan. Dikenangnya apa yang pernah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi itu atas gurunya, Patih Mantahun. Dikenangnya pula saat Sidanti datang menyongsongnya, benar-benar bukan sedang bermain-main. Dikenangnya bentuk mayat Plasa Ireng yang sobek dipunggungnya arang kranjang. Ya, dikenangnya semuanya. Sehingga kemudian Tohpati itu menjawab “Paman Tambak Wedi, aku tidak dapat percaya, bahwa Sidanti akan melakukan kerjasama yang jujur. Pada saat Adipati Jipang sedang berusaha merebut kekuasaan dengan kekuatan yang agaknya cukup, paman berada dipihak kami. Tetapi demikian Jipang terdesak oleh kekuatan Pajang yang tak terduga-duga, murid paman itu berada dipihak Pajang. Apakah sekarang ada persoalan baru yang telah menyebabkan Sidanti berbalik pendirian lagi?”
“Sudah aku katakan sebabnya ngger, bukan benar-benar berpihak pada Untara”
Tohpati menggeram, kemudian katanya sambil menggeleng “Aku semakin yakin, bahwa kejujurannya tidak dapat dipercaya. Mungkin ia berselisih dengan Untara atau dengan Widura. Jangan disangka bahwa aku akan terjebak”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram keras. Tubuhnya menjadi semakin gemetar oleh kemarahannya yang semakin memuncak. Namun lebih dari Ki Tambak Wedi yang sudah tua itu, Sidanti tidak dapat melawan kemarahannya. Karena itu dengan lantang ia mendahului gurunya “Guru. Kenapa kita harus mengemis belas kasihannya?”
Mendengar kata-kata Sidanti itu, maka telinga Macan Kepatihan serasa tersentuh api. Sekali ia menggeretakkan giginya, kemudian setapak ia melangkah maju sambil menunjuk wajah Sidanti “Kau ternyata lebih jantan dari gurumu. Nah, sekarang bersikaplah jantan untuk seterusnya”
“Baik” sahut Sidanti dengan beraninya. Diangkatnya dadanya sambil berkata “Aku juga memiliki harga diri, Tohpati yang perkasa. Jangan disangka, bahwa hidup matiku ada ditanganmu”
Ki Tambak Wedipun kemudian telah benar-benar kehilangan setiap kesempatan untuk menggabungkan Sidanti pada kekuatan Tohpati untuk membalas dendam kepada Untara beserta laskarnya. Alangkah kecewanya ketika semua rencananya dapat ditebak oleh Sumangkar, dan karena itu, maka didalam hatinya, Ki Tambak Wedi itu mengumpat tiada habisnya. Diumpatinya Sumangkar, dan bahkan Ki Tambak Wedi itu berjanji, bahwa Sumangkar itu harus dilenyapkannya. Kini muridnya telah kehilangan kesabaran dan merasa tersinggung harga dirinya. Maka keadaan akan dapat berkembang kearah yang tidak dikehendakinya. Namun ia tidak perlu pengkhawatirkan Sidanti. Selama ini anak muda itu telah ditempanya terus menerus. Mudah-mudahan telah dicapainya suatu tingkatan yang dapat menyamai Macan Kepatihan itu. Bukankah pada saat mereka bertempur di Sangkal Putung, kekuatan mereka tidak terpaut terlalu banyak. Ki Tambak Wedi itupun bahkan dengan bernafsu mendorong muridnya untuk masuk kedalam pertengkaran yang lebih dalam, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk membinasakan Sumangkar yang telah merusak segenap rencananya.
Macan Kepatihan itupun menjadi marah bukan buatan. Tangannyapun kemudian menjadi gemetar dan dengan serta-merta ia berkata “Siapkan senjatamu. Tohpati akan mengayunkan tongatnya pada gerakan yang pertama”
Sidanti tidak menjawab. selangkah ia meloncat kesamping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya, dan tiba-tiba kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek.
Dalam pada itu Ki Tambak Wedi berkata “angger Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku tidak dapat menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak akan bersedia menelan hinaan”
“Persetan” sahut Tohpati “Dengan membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung”
Sidanti sama sekali tidak berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan dimuka dadanya.
Namun Tohpati masih juga menggeram “Manakah senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih tetap diam. Hanya didalam hatinya ia berkata “Peduli apa kau dengan senjata yang tertinggal di Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku cukup kuat dengan senjata yang sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu”
Kediaman Tohpati benar-benar telah membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya. Karena itu segera ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja putihnya.
Tohpati Sidanti telah benar-benar bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati terayun kekepalanya, Sidanti sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Sidanti itu telah pernah bertempur dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati telah diketahuinya.
Sidanti yakin bahwa selama ini Tohpati pasti tidak akan sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah dimilikinya. Karena itu sengaja ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya serangan itu dengan kedua pedang pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti ingin menunjukkan, bahwa kini kekuatannya tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu, setelah dengan tekun ia melatih diri sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang tidak terlalu parah segera dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada itu Sidanti yang menyimpan dendam dihatinya, segera berusaha untuk menambah ilmunya. Dendam kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus ditumpahkan.
Kini tiba-tiba Sidanti menemukan lawan yang tidak disangka-sangka. Namun lawan inipun sedahsyat orang yang didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia harus berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Ketika tongkat baja putih Tohpati membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing senjata-senjata itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung rimba. Demikian dahsyatnya sehingga bunga-bunga api memercik keudara.
Tohpati terkejut mengalami benturan senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap ditempatnya, dan kedua senjatanya masih ditangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda murid Ki Tambak Wedi itu menggeram.
Alangkah marahnya Macan Kepatihan. Terasa bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak muda itu kini dapat mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat putihnya. Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa lawannya kini bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau.
Meskipun demikian, sebenarnya tangan Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan, merasakan arus kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan menggeretakkan giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu, meskipun tangannya terasa nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa, bahwa kekuatan Macan Kepatihan masih belum dapat dikembarinya, namun ia masih dapat membanggakan kelincahannya dan ketajaman ujung pedangnya. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat merobek kulit Macan Kepatihan itu. Namun apabila ia tersentuh kepala tongkat Tohpati yang kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu, maka tulang-tulangnyapun akan dipecahkan.
Demikianlah maka mereka segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah meloncat-loncat disekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang sedang menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor harimau yang garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya melawan sambaran-sambaran pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan tongkat putihnya, dan sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh lawannya. Namun Sidanti benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat disentuhnya.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itupun menjadi semakin garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua senjatanya dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru. Dengan kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh tubuh Tohpati meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang runcing itu telah berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil meneteskan darah. Tetapi darah yang menetes dari luka itu bahkan telah membakar kemarahan Tohpati. Wajahnya yang membara seakan-akan menyala dalam kegelapan. Sehingga tandangnyapun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi untuk sesaat berdiri mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih juga ragu-ragu, apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian Ia tersenyum. Ia telah menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum dapat menyamai Tohpati sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati berbuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat membantu Sidanti Seandainya tidak sekalipun, maka ia tidak perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan dikalahkan oleh lawannya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian mengangguk-angguk sambil bergumam “Itulah murid Ki Tambak Wedi. He, adi Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang memperhatikan perkelahian itu berpaling. Jawabnya “Ya, kakang dapat berbangga karenanya. Umurnya masih cukup muda, sehingga perkembangannya dihari depan akan menjadi semakin menggemparkan lereng Merapi”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata “Siapakah yang akan menang diantara mereka?”
“Aku tidak tahu” jawab Sumangkar pula. “Mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, muridmu masih harus belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia dapat mensejajarkan diri dengan angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk memenangkan perkelahian ini”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Perkelahian diantara keduanya masih berjalan dengan serunya. Bahkan semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar. Tetapi semakin seru perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati adalah seorang yang pilih tanding.
“Kau lihat perkembangan perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya kembali sambil menjawab “Apakah kau sedang bergembira karena kau melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi tertawa. Tertawa berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata “Meskipun tampak kekurangan pada muridku, namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk menanti aku membunuhmu, adi”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki Tambak Wedi masih tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu. Namun Sumangkar sama sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar kata-kataku adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak “Bahwa aku akan membunuhmu?”
Sumangkar mengangguk perlahan “Ya, aku mendengar” sahutnya.
Namun ancaman Ki Tambak Wedi itu telah mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur dengan Sidanti, sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia menggeram “Ki Tambak Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti. Paman Sumangkar tidak akan ikut campur dalam hal ini”
“Benar ngger, pamanmu Sumangkar tidak ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti menghalangi aku seandainya aku ingin membunuh angger pula bersama-sama dengan muridku. Karena itu maafkan aku ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu untuk membunuh angger Macan Kepatihan yang perkasa akan mejadi semudah seperti membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa didada, atau lebih baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh Macan Kepatihan. Kepala angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan oleh Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah pangkat Senapati dari Wiratamtama Pajang. Kalau mereka yang membunuh adipati Jipang mendapat Mentaok dan Pati, maka kami akan memilih daerah disebelah barat Mentaok, atau daerah Wanakerta disebelah Pajang. Dari daerah-daerah itu kami akan dapat menguasainya, atau apabila kami mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus jantung Pajang”
“Diam” teriak Tohpati keras sekali. Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi. Namun suara itu ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi “Bukankah itu suatu rencana yang bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada angger Tohpati. Siapakah yang akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati Jipang itu didalam laskar angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk dada melawan mereka. Karena itu jangan menyesal”
“Persetan dengan ocehanmu Tambak Wedi. Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo, majulah bersama Sidanti, Macan Kepatihan bukan seorang pengecut”
Suara Ki Tambak Wedi semakin berkepanjangan. Katanya “Nah, kenapa angger menolak uluran tangan kami? Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami dapat membagi tanah Demak ini? Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang dan Demak beserta daerah pesisir lainnya”
“Kau jangan banyak bicara pemimpi tua. Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat mengantuk dan mimpi seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk melawanmu. Apalagi Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini”
“Jangan sombong ngger, jangan membual. Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa kau menjadi berputus asa menjelang saat kematianmu yang nista”
Mendengar hinaan itu Macan Kepatihan menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka tandangnya menjadi terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu sebaik-baiknya, menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya.
Macan Kepatihan menggeram keras sekali untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah akan meledakkan dadanya. Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja mengganggunya.
Namun Disela suara tertawa Ki Tambak Wedi itu kemudian terdengar Sumangkar berkata “Angger Tohpati, kenapa angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat kesempatan untuk memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden, maka Sidanti benar-benar sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan tongkat angger. Namun karena angger terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi, maka Sidanti itu mampu bernafas kembali”
Sekali lagi Tohpati menggeram. Kata-kata Sumangkar telah memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Namun dalam pada itu kembali suara Ki Tambak Wedi “Suatu peringatan yang baik. Peringatan yang terakhir dari adi Sumangkar. Setelah ini maka adi akan mati aku cekik, dan angger Tohpati akan mati pula untuk kemudian aku penggal lehernya”
Kembali kegelisahan merambat dihati Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang kepada Tohpati “Jangan hiraukan aku ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik? Karena itu aku selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai murid Kedung Jati, sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka golok ini akan dapat aku pergunakan untuk membelah dada Ki Tambak Wedi yang sombong. Bukankah Sumangkar murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tidak kalah besarnya dari perguruan lereng Merapi?”
“Setan” desis Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya wajah Sumangkar didalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang setenang awan yang berlayar lembut dikebiruan langit “Kau merasa dirimu setingkat dengan Ki Tambak Wedi?”
Sumangkar tidak menghiraukan pertanyaan itu, namun kepada Tohpati ia berkata “Cekiklah Sidanti itu Raden. Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua itu dengan golokku”
Ternyata kata-kata Sumangkar itu memberi juga ketenangan pada Macan Kepatihan. Disadarinya kemudian, bahwa Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya sendiri, sehingga karena itu Macan Kepatihan itu tersenyum sendiri atas kegelisahan yang mencengkam dadanya. Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru masak yang malas itu? Ia bukan seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah seorang murid dari perguruan Kedung Jati seperti juga gurunya sendiri. Patih Mantahun yang sakti.
Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata “Cecurut yang malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup. Bukankah Ki Tambak Wedi telah terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar tersenyum, jawabnya “Perguruan Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkapan didalam tubuhnya”
Ki Tambak Wedi menggeram penuh kemarahan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan telah menemukan keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya “Kau juga pandai membual adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan nyawa rangkap didalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati terbunuh meskipun harus bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi atau Ki Juru Mertani ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring Pasar”
Sumangkarlah yang kini tertawa menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab “Kau salah kakang. Mantahun waktu itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia benar-benar harus melawan lima orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Karebet, Juru Mertani dan Sutawijaya dengan Kiai Pered ditangannya. Nah, karena itulah maka ketiga nyawanya terpaksa dilepaskan”
“Setan belang” umpat Ki Tambak Wedi “Jangan banyak bicara. Sekarang kau harus dienyahkan”
Sumangkar memutar tubuhnya menghadap Ki Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji matanya akan meloncat dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam ketenangan. Ia tahu, bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia tidak bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus bertahan, sampai Macan Kepatihan menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia akan dapat menghindar bersama-sama dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap bahwa ia akan mampu melakukannya, bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan Macan Kepatihan.
Karena itu ketika Ki Tambak Wedi memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar “Kakang, aku sudah siap. Kali ini akupun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu mencekik lehermu itu”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Sumangkar. Namun Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena itu maka sambil menghindar ia berkata “Kakang, sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila aku letakkan. Sebab aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu golok ini untuk membelah kayu bakar”
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika terasa goloknya menyentuh benda keras ditangan Ki Tambak Wedi. Barulah kini ia sadar. Didalam kedua tangan hantu lereng Merapi itu tergenggam sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki Tambak Wedi menyambar golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat menyadarinya, sehingga goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Sumangkar tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya.
Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tambak Wedi yang menjadi amat marah itupun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Ki Tambak Wedipun segera berusaha untuk menyingkirkan Sumangkar supaya muridnya dapat membunuh Tohpati meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti kematian itu ke Pajang, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Sidanti akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat Untara, sebab apabila ia berhasil, maka telah membawa bukti kesetiannya, sedang Untara dan Widura yang telah berjuang berbulan-bulan di Sangkal Putung sama sekali tidak mampu menangkap Macan Kepatihan hidup atau mati.
Tetapi Sumangkar ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat, maka gerakannyapun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Sumangkar tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya. Meskipun golok itu golok pembelah kayu yang tidak setajam pedang Sidanti, namun ditangan Sumangkar senjata itu merupakan senjata yang cukup berbahaya.
Bulan dilangit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah menjadi basah, maka gerak merekapun menjadi semakin cepat dan semakin lincah.
Sidanti kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru didalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya.
Tohpati kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa olehnya, bahwa keduanyapun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Sumangkar.Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa murid kedua perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun senjata yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang umurnya.

Tidak ada komentar: