Rabu, 25 Juni 2008

Api di Bukit Menoreh 54

“Hem” Sumangkar berdesah “Angger Macan Kepatihan, meskipun angger bernyawa rangkap berkadang dewa-dewa dilangit, namun kau tidak akan mampu melawan Sumangkar”
“Persetan dengan kesombonganmu itu tetapi kau telah berbuat kesalahan terhadap pemimpinmu disini”
“Apa salahku?Aku mencoba mengatakan apa yang baik bagiku. Bagi pendirianku. Apakah itu salah? Kalau kau tidak mau mendengarkan nasehatku, jangan kau dengar. Berbuatlah sesuka hatimu. Kau bukan anakku, bukan cucuku. Kau bagiku tidak lebih dari murid saudara seperguruanku. Apakah kau akan mati pancang, ataukah mati digilas guntur dari lagit, aku tidak akan kehilangan. Tetapi sebagai orang tua aku ingin melihat, kalau kau mati, matilah dengan hormat. Kalau kau jemu melihat penderitaan, jangan kau jerumuskan anak buahmu dalam penderitaan. Kalau kau jemu melihat pepati, jangan kau bawa anak buahmu kedalam lembah kematian. Kau dapat berbuat banyak, namun orang akan menilai apa yang telah kau lakukan. Apalagi kalau kau sudah memutuskan untuk pergi ke Sangkal Putung yang terakhir kalinya. Maka nilaimu sebagai seorang pemimpin akan terletak pada saat-saat yang demikian itu”
Tohpati menjadi seolah-olah terbungkam. Ia tidak mampu menjawab kata-kata Sumangkar itu. Dan bahkan kepalanyapun terkulai tunduk menghunjam ketanah dimuka kakinya. Tongkatnyapun kemudian tertunduk dengan lemahnya.
Terdengar Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Maafkan aku paman”
Sesaat mereka terhentak kedalam kesenyapan. Angin malam yang lembut mengusap mahkota dedaunan. Suaranya yang gemerisik seolah-olah suara tembang yang sangat rawan dikejauhan.
Dalam keheningan malam itu terdengar suara Tohpati berat “Maafkan aku paman. Ternyata aku telah kehilangan akal”
“Jangan menyesal ngger” sahut Sumangkar sambil mendekati Tohpati yang masih berdiri ditempatnya. “Aku hanya ingin memberimu peringatan. Rupa-rupanya dengan cara yang wajar, kau tidak dapat mendengar kata-kataku. Mungkin dinding hatimu yang kisruh itu hampir-hampir telah tertutup rapat oleh kebingungan dan kekecewaan, sehingga aku harus menjebolnya dengan sedikit permainan yang agak kasar”
“Tidak paman” sahut Tohpati “Aku berterima kasih kepada paman. Paman telah menarik aku kembali pada tempat yang sewajarnya bagiku. Aku akan dapat tegak kembali sebagai seorang kesatria dari Kepatihan Jipang. Aku bukan sebangsa cecurut yang kerdil menghadapi kesulitan. Terima kasih paman. Akan aku pikirkan nasehat paman. Aku akan kembali ke Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya, tetapi tidak besok. Aku akan berbicara dengan Sanakeling”
Sementara itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya “Bagus. Angger adalah seorang pemimpin. Angger tidak boleh kehilangan kebeningan pikiran. Kepadamu tergantung beratus-ratus nyawa anak buahmu. Sedang pada beratus-ratus nyawa itu tergantung beribu-ribu jiwa keluarnganya”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata “Marilah kita kembali keperkemahan”
Sumangkar mengangguk kecil “Marilah” katanya.
Sepanjang jalan kembali itu mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka terbenam dalam kesibukan pikiran masing-masing.
Begitu sampai kebaraknya, segera Tohpati berteriak kepada seseorang yang berada disamping barak itu untuk berjaga-jaga “He, panggil Sanakeling kemari”
Orang itu mengangguk hormat sambil menjawab “Baik Raden”
Sepeninggal orang itu maka berkatalah Sumangkar “Aku akan kembali kebarakku Raden. Silakan Raden membicarakan persoalan ini dengan para pemimpin laskar Jipang”
“Tidak paman” sahut Tohpati “Paman tetap disini”
Sumangkar menggeleng lemah “Aku hanya akan mengganggu saja ngger. Mungkin aku akan menambah persoalan yang akan angger bicarakan. Mungkin aku tidak dapat menahan mulutku, apabila aku mendengar persoalan-persoalan yang aku tidak sependapat. Karena itu, aku tidak akan mencampuri persoalan-persoalan para pemimpin. Aku hanya akan tunduk pada setiap perintah. Mudah-mudahan angger tetap pada kejernihan hati”
“Nasehat paman sangat kami perlukan”
“Tetapi aku adalah orang tua ngger. Aku sudah tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan anak-anak muda seperti angger Sanakeling, angger Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain. Tetapi aku akan menjalankan setiap perintah”
Sumangkar benar-benar tidak mau lagi tinggal dibarak Tohpati. Karena itu maka Macan Kepatihan terpaksa membiarkannya pergi meninggalkannya dan berjalan tersuruk-suruk diantara beberapa barak kembali menuju kebaraknya sendiri. Sebuah barak doyong beratap daun-daun ilalang, bertiang bambu muda dan berdinding anyaman bambu pula.
Didalam barak itu ditemuinya beberapa orang tidur mendengkur diatas tumpukan ilalang kering. Ketika salah seorang membuka matanya terdengar suaranya parau “Dari mana kau, paman Sumangkar?”
“Berjalan-jalan” sahut Sumangkar
“Tidurlah, hari telah jauh malam, bahkan hampir menjelang pagi. Besok Kau terlambat bangun. Kenapa golok itu kau bawa kemari?”
“golokku rusak”
“Kenapa?”
“Tulang-tulang harimau yang keras telah memecahkan dibagian tajamnya”
Orang yang terbangun itu menguap sekali, lalu sahutnya “Apakah kau mendapat seekor harimau?”
“Hanya tulang-tulangnya” sahut Sumangkar.
“Huh” orang itu mencibirkan bibirnya. “Jangan membual, sekarang tidurlah”
“Aku belum mengantuk”
Orang itu, yang mengenal Sumangkar tidak lebih dari seorang juru masak yang malas mengumpat. Katanya “Pemalas tua. Besok kau pasti akan terlambat bangun. Kalau kau tidak dapat menyiapkan makan kami, maka kepalamu akan aku gunduli”
“Bukankah tidak aku sendiri juru masak diperkemahan ini?” Bantah Sumangkar.
“Tetapi kaulah yang paling malas diantara mereka. Dan kemalasanmu akan dapat menjalar kesegenap orang.”
“Bukankah itu bukan salahku.”
“Diam. Sekarang kau tidur. Kalau tidak aku sumbat mulutmu dengan ilalang.”
Sumangkar tidak menjawab. Segera ia merebahkan dirinya diatas tumpukan ilalang itu pula.
“Nah. Begitulah.” Gumam orang yang membentak-bentaknya.
Sumangkar hanya tersenyum “Biarlah ia mendapat kepuasan” katanya dalam hati “kasian orang itu. Jarang-jarang ia menemukan kepuasan seperti ini. Apa salahnya aku menyenangkan hatinya?”
Lamat-lamat masih terdengar orang itu berkata “Kalau kau tidak mau menuruti perintahku, maka kau benar-benar akan menyesal seumur hidupmu.”
Sumangkar masih saja berdiam diri. Dan orang itupun masih saja bergumam untuk melepaskan kepuasannya. Ia mengumpat Sumangkar sepuas-puasnya. Akhirnya orang itupun terdiam. Ketika Sumangkar mengangkat kepalanya, dilihatnya orang itu tidur mendekur menikmati mimpi yang indah.
“Kasihan” desis Sumangkar “Anak itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk membentak-bentak orang lain kecuali aku dan para juru masak. Para pemimpin lebih banyak membentak-bentaknya daripada memberinya hati.”
Tetapi sejenak kemudian Sumangkar itupun benar-benar merasa sangat penat. Matanya mulai diganggu oleh kantuk yang amat sangat, sehingga sejenak kemudian orang tua itupun tertidur pula diatas batang-batang ilalang kering.
Dalam pada itu, penjaga yang mendapat perintah dari Tohpati untuk memanggil Sanakeling telah melakukan pekerjaannya. Betapa Sanakeling mengumpat tidak habis-habisnya. Matanya yang seolah-olah melekat itu benar-benar mengganggunya.
“Kenapa tidak menunggu sampai esok” keluhnya. Tetapi ia tidak dapat membantah panggilan itu. Sanakeling tahu, bahwa agaknya Macan Kepatihan sedang diganggu oleh perasaan yang tidak menyenangkannya. Sehingga Alap-alap Jalatunda mengalami perlakuan yang sedemikian buruknya. Karena itu, maka betapapun juga, Sanakeling berjalan pula kebarak Tohpati.
Sedangkan Tohpati hampir tidak sabar menunggu kedatangan Sanakeling. Mondar-mandir ia berjalan didalam ruang yang sempit itu. Ketika itu ia mendengar langkah seorang diluar pintu, maka segera ia menyapa “Kau Sanakeling”
“Ya Raden”
“Duduklah”
Sanakeling melangkah memasuki ruangan yang diterangi oleh pelita yang samar. Meskipun demikian, betapa terkejutnya Sanakeling melihat tubuh Tohpati. Dibeberapa tempat dilihatnya goresan-goresan dan darah yang telah kering.
“Kenapa luka itu?” bertanya Sanakeling dengan serta-merta.
Macan Kepatihan menggeram. Dipandanginya goresan-goresan itu. Tetapi sama sekali luka-luka itu tak terasa lagi.
“Kakang bertempur?” bertanya Sanakeling.
“Ya” sahut Tohpati pendek.
“Dengan orang-orang Sangkal Putung?”
Tohpati menggeleng, “Tidak” sahutnya “Dengan Sidanti”
“Sidanti?” ulang Sanakeling. “Jadi benar dengan orang Sangkal Putung”
“Tidak” Macan Kepatihan mencoba menjelaskan “Sidanti sudah tidak lagi di Sangkal Putung. Agaknya ada pertentangan diantara mereka”
“Oh” Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi kenapa kakang bertempur melawan Sidanti itu? Apakah dengan demikian kakang tidak dapat mengambil keuntungan dari pertentangan itu?”
“Sidanti telah berkhianat atas kesatuan dan kesetiaannya. Dimanapun ia berada maka ia akan berbuat hal yang serupa. Anak itu memang ingin menggabungkan kekuatannya dengan kita. Namun aku menolaknya”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tersirat pula kekecewaan hatinya. Segera ia mengetahui apa yang agaknya terjadi. Tohpati dan Sidanti pasti telah bertempur. Tetapi luka-luka itu benar-benar mengherankannya, sehingga ia bertanya “Apakah Sidanti seorang diri?”
“Tidak, bersama gurunya”
“Oh” Sanakeling mengangguk-angguk kembali. Ia kini dapat membayangkan semakin jelas perkelahian yang terjadi antara Tohpati dan Sumangkar melawan Sidanti dan Ki Tambak Wedi.
Namun ia masih juga diliputi oleh perasaan kecewa. Kalau saja Sidanti dapat berada dipihaknya, maka orang itu akan dapat menambah banyak kekuatan pada kesatuan Jipang. Sudah pasti bahwa Ki Tambak Wedi akan membantunya pula. Mungkin pengaruh yang dimilikinya atas orang-orang dilereng Merapi akan menambah jumlah kekuatan mereka. Tetapi ia tidak berani menanyakannya kepada Tohpati. Besok atau kapan saja apabila ada kesempatan ia ingin menemui Sidanti dan membawanya dalam lingkungan mereka. Namun diantara kekecewaan yang merayapi hatinya, Sanakeling menjadi heran pula. Agaknya Sumangkar yang tua itu masih saja memiliki ketangguhan yang dapat dibanggakan, meskipun selama ini ia lebih senang berada dimuka perapian menanak nasi.
Sanakeling itupun kemudian duduk disebuah bale-bale bambu. Ia masih memandangi tubuh Tohpati yang tergores oleh ujung pedang di beberapa tempat.
“Sidanti menjadi semakin maju” desisnya “Agaknya gurunya selalu mengolahnya”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka Sidanti akan lebih baik baginya.
Namun seolah-olah Tohpati mengetahui apa yang tersirat didalam kepala Sanakeling itu. Maka katanya “Tetapi betapapun baiknya anak itu, namun ia tidak dapat kita jadikan kawan. Suatu ketika ia pasti akan menerkam kita sendiri”
Sanakeling tidak menjawab. Ia mengangguk lemah.
“Nah, lupakanlah Sidanti dan Ki Tambak Wedi itu” berkata Tohpati tiba-tiba. “Kewajiban kita adalah menyerang Sangkal Putung. Bagaimanamun juga kepergian Sidanti pasti akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Aku tidak tahu, apakah laskar Sangkal Putung terpecah atau tidak. Syukurlah kalau ada sebagian dari mereka pergi mengikuti Sidanti, tetapi ukuran kita laskar Sangkal Putung masih utuh”
“Ya” sahut Sanakeling. Ia menjadi gembira mendengar pendapat Macan Kepatihan itu. Laskarnya sudah terlalu lama menunggu sehingga ia takut apabila akan timbul kejemuan dikalangan mereka. Kejemuan itu sudah pasti akan sangat membahayakan. Mereka akan dapat berbuat aneh-aneh untuk mengisi kekosongan waktu mereka. Dan kadang-kadang akan sangat merugikan. Kadang-kadang mereka berpencaran kedesa-desa dan dengan demikian maka kadang-kadang ada diantara mereka yang dapat ditangkap oleh laskar Pajang.
“Bagaimana pendapatmu?” bertanya Macan Kepatihan itu kemudian.
“Sangat menarik. Aku sudah lama mengharap keputusan itu. Agaknya kakang selalu ragu-ragu. Sekarang apabila kakang telah menemukan keputusan, maka keputusan itu harus segera dilaksanakan. Tidak ditunda-tunda lagi. Aku juga sudah membuat perintah untuk bersiap. Tetapi karena aku ragu-ragu bahwa kakang akan menundanya lagi, maka perintahku belum perintah terakhir, belum perintah kepastian”
“Sekarang aku sudah pasti. Kita harus secepatna pergi ke Sangkal Putung, bagaimana kalau besok?”
“He?” mata Sanakeling terbelak. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak mungkin. Besok aku baru mengambil keputusan tentang perintah yang akan aku berikan. Besok perintah itu pula baru akan dijalankan. Besok malam secepat-cepatnya laskar itu baru siap. Sedang kalau ada beberapa kelambatan maka laskar itu baru akan siap lusa. Sehingga sehari sesudah itu kita baru akan dapat mulai dengan setiap rencana penyerangan yang baik. Bukankah kakang telah beberapa kali mengalami kegagalan? Apakah kakang Raden Tohpati, harus gagal lagi nanti?”
“Tidak. Kali ini harus kali yang terakhir”
Sanakeling tertawa. Sahutnya “Bagus. Karena itu persiapan kita harus benar-benar masak. Bukankah kita harus mendapatkan Sangkal Putung sebagai tempat perbekalan? Kalau kita menduduki Sangkal Putung, maka kita harus dapat memanfaatkannya. Lumbung kademangan itu harus dapat segera kita singkirkan. Kita duduki tempat itu sejauh dapat kita pertahankan. Meskipun kakang akan melepaskan beberapa kepentingan didaerah selatan ini kelak, namun apa yang ada didaerah yang subur dan kaya itu harus benar-benar bermanfaat bagi kita. Korban telah banyak jatuh untuk merebut daerah itu”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayanglahh apa saja yang pernah dilakukan untuk merebut daerah ini. Bahkan akhirnya dirinya sendirlilah yang memimpin pasukan Jipang untuk menguasai daerah yang kaya. Kaya akan hasil bumi, sehingga lumbung-lumbung Sangkal Putung penuh dengan padi. Dan kaya akan berbagai macam benda-benda berharga. Penduduk Sangkal Putung terkenal sebagai penduduk yang senang sekali menyimpan barang-barang berharga. Perhiasan, ternak dan benda-benda lainnya.
Tetapi meskipun ia sendiri yang memimpin laskar Jipang didaerah Sangkal Putung, namun ia belum berhasil untuk merebutnya. Belum berhasil untuk menguasai kekayaan yang tersimpan didalamnya. Dan Pajangpun agaknya tidak mau melepaskan daerah itu, sehingga ditempatkannya Untara untuk mencoba melindunginya.
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Sejak Arya Jipang dan kemudian Patih Mantahun terbunuh dipeperangan, maka korban masih saja berjatuhan. Satu demi satu dan bahkan sepuluh dua puluh sekaligus. Peperangan masih saja terjadi dimana-mana. Gerombolan kecil-kecil dari sisa-sisa laskar Jipang masih bergerak terus, meskipun demikian mereka tidak lebih dari gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi karena mereka masih merasa terikat oleh seorang pemimpin yang mereka segani, maka mereka masih belum melepaskan diri dari kelaskaran mereka. Kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka masih mengikat mereka untuk merasa wajib melakukan perang untuk seterusnya. Dan karena itulah maka dimana-mana masih timbul pepati.
Sedang pemimpin itu adalah dirinya sendiri, Tohpati
Tohpati menggigit bibirnya. Ia berterima kasih kepada kesetiaan itu. Ia merasa betapa dirinya mendapat kehormatan untuk mengikat sekian banyak manusia dalam satu ikatan. Tetapi ia merasa bahwa dirinyalah sumber dari setiap akibat dari kesetiaan itu. Akibat yang kadang-kadang tidak dikehendakinya.
Ruangan itu untuk sejenak dikuasai oleh kesepian. Masing-masing terbenam dalam angan-angan sendiri. Angan-angan yang bertolak dari gejolak perasaan yang berbeda-beda. Sanakeling masih dikuasai oleh nafsu untuk memiliki segenap kekayaan yang ada di Sangkal Putung. Kekayaan yang mungkin masih akan dapat membantu gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Dan kekayaan yang mungkin dapat dimilikinya. Bahkan mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin akan ditemuinya perhiasan-perhiasan yang sangat berharga. Gelang, kalung atau pendok emas tretes berlian. Atau apa saja yang dapat dimilikinya sendiri.
Sesaat mereka masih tetap membisu. Sanakeling masih saja berangan-angan tentang kekayaan yang akan dapat dirampasnya dari Sangkal Putung, sedang Tohpati berjejak pada pendapat yang berbeda. Pendapat seorang pemimpin yang melihat kenyataan-kenyataan dari laskar yang dipimpinnya, perkembangan keadaan dan perhitungan-perhitungan atas masa-masa yang akan datang.
Malam yang hening itu kemudian dipecahkan oleh suara Sanakeling penuh nafsu “Kakang, baiklah aku kembali kebarakku. Aku berjanji bahwa orang-orangku dan orang-orang baru yang telah aku panggil dari daerah utara akan merupakan kekuatan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung kini ternyata telah berkurang kekuatan, sedang kekuatan kita bertambah. Menurut perhitunganku maka kekuatan yang telah ada disini ditambah dengan kekuatan-keuatan baru, akan dapat melanda Sangkal Putung dan menghancurkannya. Laskar dari utara itu kelak akan kembali dengan perbekalan untuk mereka, sedang laskar didaerah inipun akan dapat memperkuat diri dengan semua yang akan kita dapatkan dari Sangkal Putung”
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia tidak menanggapi angan-angan Sanakeling itu, tetapi ia berkata “Kembalilah. Aku tidak dapat menunggu lebih lama dari waktu yang kau katakan”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi timbullah keheranannya atas sikap Tohpati itu. Beberapa kali ia menunda penyerangan sehingga laskarnya tercerai berai kembali, namun tiba-tiba kini Macan Kepatihan itu menjadi sangat tergesa-gesa.
“Mungkin Raden Tohpati melihat kelemahan Sangkal Putung kini” pikirnya.
Sanakeling itu kemudian berdiri. Dilihatnya halaman barak itu. Gelapnya masih menghitam.
“Aku akan kembali” katanya.
“Kembalilah. Ingat-ingat perintahku”
“Baik” sahut Sanakeling sambil melangkah meninggalkan ruangan itu. Disepanjang jarak yang ditempuhnya, bahkan sampai ketempatnya dan ketika ia telah membaringkan dirinya, dirasakannya beberapa keanehan pada pemimpinnya itu. Ia melihat wajahnya yang murung, dan kadang-kadang perbuatan-perbuatan yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya. Dalam keseluruhannya, tampaklah Tohpati menjadi sangat gelisah. Tetapi Sanakeling tidak mempedulikannya. Mungkin Tohpati sedang diganggu oleh beberapa persoalan yang bersifat pribadi. Mungkin ia kesal pada kegagalan-kegagalan yang dialaminya, atau mungkin Tohpati sedang membuat rencana-rencana baru yang belum dimengertinya.
Pada hari berikutnya, maka tampaklah kesibukan diperkemahan itu. Beberapa orang berjalan hilir mudik dari satu barak kebarak yang lain, sedang beberapa orang lagi pergi meninggalkan perkemahan itu diatas punggung-punggung kuda. Mereka harus pergi berpencaran mencari tempat-tempat yang tersebar dari kawan-kawan mereka. Gerombolan-gerombolan yang seolah-olah liar dan melakukan berbagai perbuatan yang kadang-kadang benar-benar kasar dan menakutkan. Perampokan, perampasan dan sebagainya. Kadang-kadang hanya sekedar untuk memberikan kesan bahwa keadaan sedemikian buruknya, tetapi kadang-kadang mereka benar-benar melakukannya untuk memperpanjang hidup mereka.
Dalam pada itu Sangkal Putungpun telah disibukkan pula oleh persoalan yang dibawa Kiai Gringsing beserta murid-muridnya. Untara dan Widura yang mendengarkan cerita Ki Tanu Metir menjadi berlega hati, bahwa kekuatan Sidanti pada saat yang pendek masih belum mungkin bergabung dengan kekuatan Tohpati. Meskipun demikian disaat-saat yang akan datang, mereka merasa, bahwa pekerjaan mereka akan menjadi semakin berat. Apakah Sidanti dan Tohpati menemukan titik-titik persamaan dan kemudian dapat bekerja sama, apakah Sidanti dengan Ki Tambak Wedi akan menyusun kekuatan baru untuk menggagalkan semua rencananya. Kalau demikian, maka Sidanti pasti hanya akan sekedar membalas dendam, dan mungkin setelah usaha Untara dan Widura gagal di Sangkal Putung, Sidanti akan menjual jasa melenyapkan Tohpati.
“Tetapi kedudukan Tohpati cukup kuat ngger” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Untara, Widura dan bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang ikut pula mendengarkan segenap cerita itu mengerutkan kening-kening mereka. Terdengarlah kemudian Untara bertanya “Bukankah kita sudah mengetahui kekuatan mereka?”
“Ternyata ada yang belum angger ketahui”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
Ki Tanu Metir memandang mereka satu demi satu. Kemudian katanya “Murid kedua dari Kedung Jati ternyata ada diantara mereka”
“Siapa?” desak Untara
“Angger pasti sudah pernah dengar namanya, Sumangkar”
“Sumangkar” Untara dan Widura hampir bersamaan mengulang nama itu.
“Ya” berkata Untara seterusnya “Aku pernah mendengar nama itu, dan pernah pula melihat dan bertemu dengan orang itu di kepatihan Jipang. Bukankah paman Sumangkar itu adik seperguruan paman Mantahun?”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang terdengar kemudian adalah suara Widura “Nama itu cukup mengejutkan hampir seperti nama patih Matahun sendiri. Tetapi kenapa selama ini orang itu tidak pernah hadir didalam setiap pertempuran? Bukankah dengan tenaganya maka Sangkal Putung pasti sudah dapat dipatahkan sejak serangan yang pertama?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entahlah. Aku tidak tahu. Apakah Sumangkar belum lama berada diantara mereka, apakah ada sebab-sebab lain”
Namun ternyata berita itu benar-benar telah menyebabkan Untara dan Widura berpikir keras. Kalau pada saat-saat mendatang orang itu hadir pula dalam pertempuran, maka keadaan Sangkal Putung pasti akan sangat berbahaya. Tetapi tiba-tiba Untara tersenyum, katanya “Sumangkar benar-benar berbahaya bagi kita disini seandainya ia ikut bertempur bersama Tohpati, kecuali Kiai Gringsing bersedia menolong kami”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Untara itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab “Hem, apakah aku harus melibatkan diriku langsung dalam pertengkaran antara Pajang dan Jipang?”
“Adalah menjadi kewajiban kita bersama untuk berbuat demikian Kiai” sahut Untara “Seperti Sumangkar merasa wajib pula untuk melindungi Tohpati”
“Ya, angger benar. Angger tahu pasti pendirian Sumangkar dalam pertentangan antara Jipang dan Pajang. Sumangkar adalah orang kedua setelah Mantahun dalam perguruannya, sedang orang kedua setelah Mantahun dalam tata kelaskaran Jipang adalah Tohpati itu sendiri. Sehingga mau tidak mau, maka Sumangkar adalah orang yang langsung berkepentingan atas Tohpati itu. Baik Tohpati sebagai pemimpinnya maupun Tohpati sebagai murid saudara seperguruannya”
Mendengar jawaban itu, Untara mengerutkan keningnya. Widura yang duduk disamping Untara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memijit-mijit betisnya.
“Ya” desah Untara “Kiai benar. Seharusnya aku tidak melibatkan Kiai dalam pertentangan yang belum pasti Kiai setujui. Sebenarnyalah bahwa aku belum tahu pasti pendirian Kiai dalam pertentangan antara Pajang dan Jipang”
Kiai Gringsing itupun tertawa. Sahutnya “Jangan menangkap kata-kataku itu terlalu tajam ngger. Meskipun aku termasuk orang yang menjadi bersedih hati melihat pertentangan yang berlarut-larut antara orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang, namun aku melihat kenyataan-kenyataan yang kini berlangsung. Akupun tidak akan dapat melihat kelaliman dan kekerasan berlangsung terus-menerus. Aku tidak menutup mata, bahwa laskar Jipang yang putus asa itu menjadi liar dan berbuat banyak hal yang terkutuk. Karena itu akupun tidak akan mengingkari tugasku untuk membantu mencegah perbuatan-perbuatan itu”
Tiba-tiba wajah Untara dan Widura menjadi cerah. Meskipun Kiai Gringsing tidak menjanjikan sesuatu dengan jelas, namun apa yang dikatakannya adalah jaminan, bahwa apabila Sumangkar turut campur pula dalam pertempuran yang akan datang, dalam setiap pertempuran yang pasti akan berlangsung lagi, maka Kiai Gringsing akan dapat menjadi lawannya yang cukup berbahaya bagi murid kedua setelah Mantahun dari perguruan Kedung Jati itu.

28 komentar:

rizal mengatakan...

Sahabats,
senang sekali ada yang mau bantu mempercepat digitalisasi ADBM ini. Trims berat buat mas Bawuk dan mas Riko. Mdh2n ada sobats lain yang berhasil menemukan sisa2 buku ini digudang ato plafon rumah orang tua/mertua dan ikut mengacungkan jarinya utk gotong royong. Ayo, siapa lagi...siapa lagi...
Dan sepertinya, sebagian besar dari kita adl generasi kedua pembaca ADBM ini ya? Mdh2n dgn cara ini bisa kita warisi kegenerasi berikutnya...

Anonim mengatakan...

akuurr bozzz....daripada demo bakar2an (sorri aktivis, heee222xx) ....mending nostalgia dengan agung sedayu ....
silakan kalo mo bagi tugas ke saya, tlg catat naufalgoodson@yahoo.com
sekali lagi tenkyu bozzz...

Unknown mengatakan...

Ayo mas Rizal, sudah banyak yg mau membantu tuh, kebut terus...
saya bantu doa dan penyemangat saja

Anonim mengatakan...

benar.. perjuangan harus disertai ketulusan hati.
kalo udah bakar2 mobi gimana jadinya?
cerita ini bener2 memberikan nasehat berharga tentang arti perjuangan. .

Anonim mengatakan...

Mas Rizal,
Matur nuwun atas kirimannya.
Mau bantu tapi kagak bisa karena ga punya bahan mentahnya neeh. Apakah bisa kalo sekedar mbantu retype dan proof reading.
Pls send ke juliuswied@gmail.com. Nanti terus aku kirim balik ke Mas Rizal.

Skali lage matur nuwun dan wassalam,

Julius Tebet.

Anonim mengatakan...

heh..hee..heeeh..., maturnuwun lho ngger Rizal dkk,.. atas terbitnya seri I/54 yang 'tlah luama eyang nanti2.." Moga-moga makin banyak generasi muda (seperti angger katakan) yang ikut...nyengkuyung alias "cancut taliwondo" dalam mengorbitkan kembali karya sastra yang adiluhung ini. Lhah yang eyang punya di tangan kali ini cuma seri IV/96 alias seri dan nomor pungkasan....(terakhir) jadi yo akeh tunggale...."

Anonim mengatakan...

waaah 2 - 4 kali sehari saya tengok ADBM,...muncul 1, lumayan. Makasih Bung Rizal!! sepertinya besok langsung 10 diupload!! ha3x

Anonim mengatakan...

Belum ada yang kirim bahan mentah ke saya untuk di proof. Penjaga Bukit Suharto, gimana perkembangan scaning-nya. (DHE2)

Anonim mengatakan...

wah makin ndak sabar menunggu perang besar..
tohpati vs untoro.

sumangkar vs kiai gringsing..

udah rindu berat mas...

Unknown mengatakan...

Mas Rizal,
Saya senang banget akhirnya dapat menemukan crita silat yang sudah lama saya cari. Saya ingat, ibu saya dulu seneng baca baca crita silat dari SH Mintarja. Ada beberapa judul yang masih saya ingat, diantaranya Nagasasra & Sabuk inten, Bende Mataram, Api Di Bukit Menoreh dan masih banyak lagi. Buku-buku tersebut masih tersimpan atau tidak saya gak tahu, maklum itu sudah belasan atau mungkin duapuluh tahun yang lalu. Dan waktu itu saya kurang seneng dengan crita crita yang macam itu, saya lebih senang crita bergambar (komik). Tapi belakangan ini saya jadi tertarik crita crita silat karya SH Mintarja.
Tapi sayang, kalau kita membaca sebuah crita tidak sampai tamat pikiran kita jadi menerka nerka...

Anonim mengatakan...

Hai kawan2,
Waduh maaf banget lama ga ikutan nimbrung. Soalnya beberapa hari kemarin lagi siap2 punya momongan nih, sibuk sana sini. Alhamdulillah akhirnya terlahir juga anak pertama kami 2 hari lalu di rs medistra. Pernah terlintas kalo akan kuberi nama Agung Sedayu, tapi istri protes, jadul katanya. Begitu nama Swandaru Geni, dia tertarik, keren juga. Tapi ketika kubilang Swandaru gendut banget, ga mau juga.hehe
Maklum beratnya aja udah 4.2 kg pas lahir.
Ok anyway, semoga mas rizal dan kawan2 tetap semangat untuk project ADBM ini. Saya juga akan tetap support.

Anonim mengatakan...

Mas Ubaid,
Generasi penggemar ADBM sudah semakin bertambah nih..
Waaah ikut bergembira Mas Ubaid. Ini yang keberapa ya? Pastilah suasana gembira. Semoga sang bayi dan ibunya, serta bapaknya juga sehat-sehat selalu.
Dulu dua anakku juga lahir di Medistra situ. Inget parkirnya sulit bangets.....

Salam dari tetangga,
Julius - Tebet.

Anonim mengatakan...

Pagi mas Julius,
Iya parkirnya emang agak susah.
Ntar siang baru boleh pulang.
Anak pertama ini mas. Makasih doanya, ntar kalo si kecil udah bisa baca, dapat warisan turun temurun ADBM hehe

Anonim mengatakan...

Saya punya seri I dari jilid 1 sampai 100. Cuma gak ada waktu buat ketik ulang. Ada yang mau bantu ??

Anonim mengatakan...

Maaf saya lanjutkan komentar saya. Saya udah scan semua jilid 1 sampai 100 termasuk gambar yang ada di dalamnya. Cuman sekali lagi maaf gak ada waktu untuk ketik. Saya juga mau tanya gimana dengan hak cipta ? Apa udah minta ijin sama keluarga almarhum SH Mintardja ? Bagaimana Bung Rizal ? Nama saya Doelah (43 thn)

pasingsingan mengatakan...

ok mas doelah..
silakan di email..
satu buku aja dulu..
saya bantu ketik.. tapi ndak janji bisa cepet selesai lho..

tapi buku mana yg mas rizal belum ketik ya??


pasingsingan@gmail.com

Anonim mengatakan...

Oke mas Doelah, bisa di email ke saya untuk saya bantu retype. Mungkin supaya nggak rancu dengan mas rizal bisa mulai dari jilid 100, 99, 98 dst. Email saya di doedy_2684@yahoo.com.
Tks. Salam kenal Anggoro H (39 th)

Anonim mengatakan...

Makasih buat mas Pasingsingan dan Anggoro atas komen-nya. Inilah problemnya, saya ndak keberatan kirim via email. Mungkin Jilid 10, krn yang udah diupload itu sampai Jilid 9 hal 63. Cuman gimana nanti upload-nya di site ini, minta ijin bung Rizal ? Juga belum terjawab, gimana hak cipta dan ijin dari keluarga almarhum SH Mintardja ? Dari Doelah.

Anonim mengatakan...

Sekedar urun rembug buat Kang Doellah tentang hak cipta. Setahu saya ADBM sudah dibeli hak ciptanya oleh Indosiar ketika mau di layarkacakan. Jadi barangkali keluarga Mintarja sudah tidak punya hak cipta itu. Kalo mau minta ijin ya ke Indosiar. Tapi yakin, pasti gak dikasih. Sepanjang didunia maya, menurut saya gak masalah. Bukan berarti legal, tapi delik hukumnya yang sulit. Kecuali kalo sharing audio menggunakan berbagai p2p software (torrent, limewire dll), maka komputer sampeyan bisa dilacak. Dan tentu saja bisa didenda. Kalo via blog kayak begini, gak apa2. Wong nama2 yang nongol kan juga nama gabrulan. Iya toh? Wis to aman Kang Doel. Cuma kalo yang ditanya soal legalitas, ya saya bilang ilegal. Anyway, saya bukan pakar hukum. (SEDAYU)

Anonim mengatakan...

para pandemen semua,
pada mulanya saya setiap hari nunggu nunggu terusannya ceritra api dibukit menoreh ini, pas kebetulan saya antar anak sekolah di sma 22 saya lihat taman bacaan dipinggir jalan, penasaran saya nanya apa ada buku api dibukit menoreh. ternyata ada. satu bendel isinya 5 buku sewanya Rp.5000,- selama 10 hari, wuah jan marem banget. saat ini saya lagi baca sekar mirah ilang diculik sidanti, padahal swandaru geni, agung sedayu sutawijaya dan kya gringsing sedang di alas mentaok ,, jan rame banget mas. kalau pada mau minjam datang aja ke taman bacaan yang dekat sma 22 rute mikrolet m 21 cari dah disana
wong anak saya aja sy namai danang

Anonim mengatakan...

Untuk para pandemen (ini istilahnya basiyo pelawak jogya tahun 70an yang artinya pencinta)
pasukan jipang akhirnya dapat dipukul mundur oleh pasukan pajang dan pengawal sangkalputung. sedangkan sanakeling, alap2 jalatunda dan yang lainnya lari kehutan, tohpati akhirnya terbunuh oleh pedang untara, dengan tatu arang kranjang, jenazahnya oleh sumangkar dibawa ke hutan. dihutan terjadi perpecahan, ada yang menyerah dibawah pimpinan sumangkar, ada yang mbalela dan ikut tambak wedi dan sidanti.pas keesokan harinya ki gede pemanahan yang jadi panglima wira tamtama kadipaten pajang datang ke sangkal putung dengan diiringi 25 orang prajurit.nah dijalan dicegat oleh tambak wedi dan sidanti dan pengikutnya terjadi perang rame mas, pemanahan hampir kalah untung datang untara yang merasa bersalah.akhirnya mereka selamat dan pergi ke sangkal putung untuk menerima penyerahan sisa prajurit jipang yang dipimpin oleh sumangkar. dalam pada itu setelah upacara penyerahan selesai, sutawijaya dengan diam diam tanpa sepengetahuan ayahandanya memaksa agung sedayu dan swandaru ikut bersamanya pergi ke alas mentaok. alas yang sudah dijanjikan oleh kanjeng adipati adiwijaya untuk diserahkan kepada ki gede pemanahan.mereka pergi dengan berjalan kaki, sampai di prambanan ketemu dengan pamanya sidanti yang dari tanah perdikan menoreh namanya argajaya. perang rame dan argajaya kalah. dia pergi ke padepokan lereng gunung merapi disana ketemu juga oleh mbah marijan malah sidanti juga diberi obat kuat kuku bima. argajaya salah paham dengan mbah marijan terjadi perang rame, untung adan kris jon hingga argajaya lari terbirit birit sedangkan kris jon langsung ke australia melanjutkan latihan. argajaya yang dendam sama sutawijaya cs akhirnya nyuruh sidanti untuk nyulik sekar mirah mumpung swandaru geni, agung sedayu dan sutawijaya lagi pergi ke hutan mentaok. Tugas sidanti berhasil menculik sekar mirah (kalau digambar sekar mirah dipanggul oleh sidanti dengan kepala sekar mirah didepan perut dipundak sidanti sebelah kiri tangan sidanti megang paha sekarmirah yang memakai kain, matanya melotot ujung kelopak mata sidanti kiri dan kanan naik keatas. wah jan kelihatan serem. pas swandaru pulang dia kaget lihat adiknya nggak ada. dst...

Anonim mengatakan...

koq gak onok terusane sih?
gak diposting maneh ta?

Anonim mengatakan...

untuk Bung DOELAH
hasil scanning ADBM kalau boleh saya bisa di kirim lewat email prayitnoanung@yahoo.com kalau nanti aku dapat melanjutkan hasilnya kukirim ke Bung Doelah kembali.
Mengenai hak cipta dll
sepanjang buku2 dimaksud sudah sulit didapat atau sudah tidak terbit lagi mengcopy/scanning dapat dilakukan untuk personal/private dan bukan untuk bisnis.
di penerbitnya Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta ADBM sudah tidak diproduksi lagi dan dipersewaan buku pun sudah tidak ada.
Solusinya bagi yang ingin membaca/mengkoleksi dapat mengkopy/scanning dll.

Anonim mengatakan...

om rizal .. boleh kasih kabar2 kenapa ndak lanjut ini ?

Admin mengatakan...

Waduh, kok update-nya macet ya mas.
Btw, makasih.

Anonim mengatakan...

Halo Halo...
Seneng banget liat ada Api di Bukit Menoreh ini. Saya sudah lama cari cari buku seri ini.
Mas Rizal kalau perlu bantuan saya mau deh bantuin, sekalian baca juga gitu lho..., tapi gimana caranya? Maklum saya agak ketinggalan zaman, buka internet saja baru baru ini....kalau ada yang mau kirim bahan mentahnya buat saya re-type, boleh kirim ke renata.sca@cbn.net.id.
Sekali lagi Makasih Mas Rizal, mudah mudahan terus semangat updatenya.

Anonim mengatakan...

Kepad seluruh penggemar API DIBUKIT MENOREH karya SH Mintarja, kalau mau sewa bukunya komplit ada di Jalan Kramat Asem dekat SMA 22 Jakarta Timur (Seberang kantor Pusat Bea Cukai) Taman Bacaan PAGILANG No Hp 081381985115. disitu tiap bendel yg isinya 5 jilid sewanya Rp. 5.000,- dari jilid 1 s/d terakhir kalau nggak salah ada semua untuk buku s/d jilid 30 ejaan bahasanya masih ejaan lama dengan mesin ketik manual saat ini saya sedang baca buku yang ke 56 ketika Untara sedang melaksanakan perkawinan di Pengging dengan anak seorang Perwira Prajurit

Anonim mengatakan...

Mas,

Kumpulan ceritanya bisa didown load tidak ?
Kalaubisa , pakai program apa mas ?

Terima kasih