Jumat, 16 November 2007

Api di Bukit Menoreh 2



Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohin yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”
Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya menyentuh tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah,bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita”
Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali ia berpegangan baju kakaknya.
Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu,kalau kau tak mau memegang kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai kerismu.”
Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat merobohkannya.
Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan yang sudah mulai mereda.
“He, siapa kalian?”
Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang gabus. Siapakah kalian?”
“Ya” sahut Untara
“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan.
Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa”
“Sadipa” sahut suara diujung hutan
“Ya”
“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu pula”
Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang lain. Tinggi besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.”
“Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?”
Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong.
Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat ia melangkah surut, selangkah saja dimuka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk melindungi adiknya yang menggigil ketakutan.
Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada.
Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang.
“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu.
Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju.
“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara “dua anak yang berani”. Siapakah namamu?”
“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi.
Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa yang tinggi besar,berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. Aku orang Sendang Gabus.”
Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri dihadapannya itu orang Sendang Gabus?
“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara.
“Tebak siapa aku?” ornag itu berkata sambil tertawa.
Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus.
“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.”
Orang itu mengangkat alisnya,katanya “ kau kenal aku?”
Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun dengan demikian Untara menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan orng itu telah melupakannya.
Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba katanya disertai derail tawanya “ Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan. Bukankah kau yang bernama Untara. He?”
Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?”
“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu.
“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.”
“Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak penunggu burung disawah.”
“Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukandan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” Sahut Untara.
“Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu keratin tidak dapat hadir pada sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak tingkir itu.”
“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara
“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu.
Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada Demang sendang Gabus?”
“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus matu. Kau pula harus mati” gertak pande besi itu.
“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara.
Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab “Ya,aku akan membunuhmu. Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.”
“Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi” sambung Untara “Paman bias mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang –orang Pajang bukan pendendam.”
“Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari dalam belukar,
Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. Adiknya masih menggigil ketakutan.Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya sedang dirumah juga belum pasti.
Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si pande besi. Yang seorang bertubuh tingg9i kekurus-kurusan, yang seornag lagi tinggi gagah sedang yang seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya.
“Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama sekali tidak bermaksud menangkap kalian.”
Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata “kalian berdua akan kami bunuh”
Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. Tetapi bagaimana dengan adiknya?
Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu,menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi mereka. Kau tidakperlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Si Pande besi menggeram “ Jangan terlalu sombong.”
Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil ketakuatan denagn dada sesak.
Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Ditangan mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si jangkung kurus memegang golok pendek,yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, sedang si anak muda memegang pedang.
“Anak iini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.”
“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia pasti dapat membunuh orang yang disegani itu.
Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah kalau ada diantara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya.
Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu Agung Sedayu.
Maka dengan gerak yang cepat,secepat tatit menyambar dilangit,Untara meloncat menyerbu diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur,dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat Untara melayang dnegan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah ditangannya.
“Setan,demit,tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si tinggi besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu.
Sementara itu,kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran. Karena itu Untara tidak menyianyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh.
Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit,Pande besi dati Sendang Gabus itupun ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan getaran yang mengerikan. Ornga yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angina maut. Sedang diujung tangannya itu tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan ornag yang tinggi besar itupun kemudian tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari seekor sulung yang terjun ke dalam api.
Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu takut- takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali ia melontar diantara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri diantara percikan-percikan hujan yang hamper reda.
Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali berdentang seperti guntur didalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di daloam dadanya. Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkalahian untuk mempertaruhkan nyawa. Yang pernah rilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk melakukannya.
Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam hatinya “anak yang satu ini aneh benar”
Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian pande besi itu terpaksa menduga-duga “ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut”
Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-ornga ini sama sekali tak cukup bernilai untuk melawanmu.”
Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata diantara derail tawanya “He Untara yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja seperti sabungan ayam.”
Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab “Buat apa ia susah-susah menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan.”
Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara tertawa pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia sempat merendahkan tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi besar.serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar beberapa daripadanya.
Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi.
Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.”
Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi besar menusuknya dari punggung.
Namun Untara adalah seornag prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari kea rah Agung Sedayu.
Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.”
Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.”
Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku ketakutan.
Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri disamping adiknya. Kuda itu manjadi terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti panah.
Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannay dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas kepalanya. Karena itu si pande besi hamper saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.
Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seornag tamtama yang sedang dibakar oleh kemarahan.
Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah.
Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan kewaspadaan anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja serangannya mengarah kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pisau.dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara. Tusukan itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu mencegat pundak kirinya.
Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah kelambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus tongkatnya bergerak mendatar.
Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara tongkat besi ditangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh lawannya. (bersambung)

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih mas...
sudah lama saya cari2 serial api di bukit menoreh ini.
posting terus mas...

rizal mengatakan...

Ok mas, doa'in ya biar saya semangat ngetiknya, trims...

Anonim mengatakan...

RETYPE?
SALUUUT Buat MAs Rizal.... Saya sdh lama denger epik Jawa ini , tapi terus terang belm pernah membacanya cuma denger kemasyhurannya (nyari bukunya juga susah ..). Sekarang alhamdulilah ada Mas Rizal yang mendigitalkan karya alm. Pak Mintardja tsb... sehingga bisa dinikmati generasi kini.
Saya cuma bisa berdoa semga semangatuntuk mengetiknya tetap 'mekantar-kantar' dan diberi kesehatan yg prima. Kalo sometimes, perlu diurut tangannya karena pegel2... boleh lah kapan2 saya bantu he he he... Salam Kenal...Tabikk Rekk !!!

Anonim mengatakan...

Mas ditunggu sambungannya udah lama nunggu nih

Anonim mengatakan...

Mas manalanjutan serialnya, semoga tidak patah semangAT

Amoeba mengatakan...

Thanks mas Rizal. Sewaktu saya masih di SD dulu suka sekali baca karya-karya SH. Mintardja (Tanah Perdikan Menoreh, Api di Bukti Menoreh dan Nogososro & Sabuk Inten), bahkan ibu saya punya koleksi bukunya, tetapi sayang, karena banjir, semua buku ikut terhanyut.

Oh ya, sekali lagi terima kasih, syukur klo ada sekalian Tanah Perdikan Menoreh juga di Posting, atau saya di kirimi file nya via e-mail

Nuwun
Ikhwan