Kamis, 29 November 2007

Api di Bukit Menoreh 5


Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah.
Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat terdengarlah suara kaki kuda berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan kecepatan penuh.
Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal Putung.
Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk mencekiknya.
Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa.
Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-daun padi yang subur ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan sinar bulan yang redup itu.
Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu ditubuhnya menjadi tegak.
Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya sampai keluar daerah perburuan mereka.
Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang diujung jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti.
Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya.
“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada Widura daripada kepadanya.
“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya.
Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda.
Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi sendang gabus menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah mengambil jalan barat.
“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat “Mudah-mudahan aku dapat menyusulnya”
Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan berbatu menuju Kali Asat. Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila ia bertemu dengan Untara.
Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung.
Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu.
Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur diatas punggung kudanya yang tegak seperti patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali terdengar ia mengeluh. Ditengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan didadanya.
Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti ditengah-tengah jalan diantara sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-lamat didengarnya derap kuda dibelakangnya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap kuda”, desisnya. “Siapa?”
Sedayu mencoba untuk menebak “Adakah kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri.
“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik maka perhitungannyapun picik pula. Katanya “Alap-alap Jalatunda tidak berkuda”
Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah didalam benaknya “Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?”
Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya “Derap kuda itu adalah derap kudaku sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”.
Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada didalam hatinya tinggallah “Bagaimana aku harus bersembunyi dibulak ini?”
Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat menira-irakan, masih seberapa jauhnya. Namun dimalam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya tinggal beberapa langkah dibelakangnya.
Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia jatuh terjerebab ditanah yang becek. Tertatih-tatihia bangun, kemudian berlari-lari terjun kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian berputar-putar dan berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas.
Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum dapat melihat bahwa dipunggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-benar sakti seperti yang dikatakan Untara.
“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya. “Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara sedang terluka parah”
Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung alap-alap yang berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila.
Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari dimuka hidungnya.
Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak didalam rongga dadanya.
Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo bermata satu diujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. Lingkaran yang keputih-putihan ditengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam kepusat dadanya. Demikian takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu berlari-lari kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari kemana saja. Tidak kearah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai kepangkal jalan bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. Karena itu langkahnyapun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu datang. Ketika ia menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian bingungnya sehingga kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu.
Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti.
Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-malangnya.
Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?”
Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung ubun-ubunnya.
“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.”
Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci.
“Nah” suara itu berkata pula “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.”
Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka berderailah tertawanya.
“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. Ayo bangunlah”
Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi “Hem, benar-benar kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa membangunkan kau”
Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata “Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula “Bangunlah hai pertapa mumpung kau baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum kau wudar dari tapamu”
Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk bersandar kedua belah tangannya.
Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring “Ha” katanya “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur”
Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri dihadapannya itu. Dan tiba-tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh didalam dadanya. Meskipun orang yang baru saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda.
“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya.
Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air”
Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu katanya “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?”
Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Tidak?” teriak orang bertopeng itu “Kau tidak mau berkelahi?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya.
“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian”
Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya.
“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak akakn memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang bertopeng itu.
Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya “Siapa?” katanya.
Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya “Namanya Ki Sadewa”
“He” Agung Sedayu terkejut “Kau sebut nama itu?”
“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing.
“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan.
“He” orang itu terkejut “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?”
“Ya” jawab Agung Sedayu pendek.
“Pantas, pantas” gumamnya “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu bertanya menyentak “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?”
“Tidak” jawab Agung sedayu “orang itu benar-benar ayahku”
“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing.
Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya.
Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak mau berkelahi?”
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk.
“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi” ia meneruskan “kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?”
Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan keberanian. Karena iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya.
“Nah” berkata Kiai Gringsing “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan lemparan pula”.
“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya.
Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi “Aku sudah mulai” teriaknya.
Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu.
“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing “Didalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani menanatangmu”
“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga.
“Ya, aku percaya” jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa didalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain.
Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali “Suara kuda” desisnya.
“Ya” jawab Kiai Gringsing “dari arah tikungan randu alas”
Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, maka katanya “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat”
Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara Kiai Gringsing “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?”
Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab “Sejak kecil” Dan terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu kehutan daripada berlatih membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk anak-anak.
Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula.
“Anak muda” berkata Kiai Gringsing “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu”
“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia meloncat mendekati orang bertopeng itu.
“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.
“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu.
“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula.
“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu.
“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?”
“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu.
“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai Gringsing “Apakah Aka-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?”
“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara “jawab Sedayu yang segera disusulnya dengan terbata-bata ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu.
Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya “Kau benar-benar tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak”
“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut”
Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya “Orang-orang sakti sering berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia bertemu Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk meluruskan jalannya”
Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya.
“Itulah dia kiai” berkata Sedayu “Tolonglah aku”
“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai Gringsing “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?”
“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak “aku takut”
“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-sungguh “Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan dibunuhnya”
Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya “Aku tidak berani Kiai, aku takut”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga topengnya bergerak-gerak. “Baiklah” katanya “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu melonca, ringan sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata “Jangan berendam lagi didalam air Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat didengarnya sendiri “Tak berhasil”
Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Diatas punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti ditengah jalan. Karena itu, timbullah pertanyaan didalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?”
Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya.
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang “Dimana kau sembunyi kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi ketika ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung”
Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti kedatangan Alap-alap muda yang garang itu.
“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, kaulah yang bersalah”
Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu desisnya “Jangan Kiai, jangan kalah”
Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha”
Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti beberapa langkah saja dihadapan kuda Kiai Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya didalam parit seorang lain berdiri gemetar “Ha” teriaknya kegirangan “Kaukah itu?”
Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-alap Jalatunda”
“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya “Dari mana kau tahu?”
“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula.
“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing “Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu.
“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu.
“Tidak” sahut Kiai Gringsing “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam didalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. Hidup atau mati. Tetapi …..”
“Cukup!” bentak Alalp-alap Jalatunda “jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula perasaan yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.
Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya” (bersambung)

Tidak ada komentar: