Kamis, 29 November 2007

Api di Bukit Menoreh 7

Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, setelah mereka naik kependapa.
Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam. Dilihatnya dipendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang diantaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. Sedang disudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan didinding-dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata.
Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa dipinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak tahu, apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi kakaknya memintanya untuk membawa keris itu.
Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju kepringgitan.Dipringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula.
“Disitulah adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang disaat-saat yang begini.
Demang itupun berbisik pula “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya”
Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun telinganya dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu sebenarnya tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan itu bergerit meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. Ia ingin tahu, siapakah yang datang kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnya.
Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu tersenyum asam “Hem” desisnya, “Ternyata aku tidak perlu membangunkan adi”
Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya “apakah ada seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura.
“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi menunggu esok”
“Siapa?” bertanya Widura.
“Angger Agung Sedayu” jawab Demang.
“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya “Kau Sedayu”.
Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya paman” .
“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya.
“Ya paman” jawab Sedayu pula.
Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain.
Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan penuh pertanyaan didalam dadanya. Dan Sedayupun tidak menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya “Paman, aku disuruh kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar”
“Untara?” bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang memaksa, sehingga Agung Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?”
“Nantilah aku ceriterakan paman” jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang cakap dalam menanggapi setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari kakang Untara”
“Oh” sahut pamannya “Apakah itu?”
Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu.
Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya “Kenapa Untara sendiri tidak datang kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?”
“Belum paman” sahut Sedayu “Kakang Untara masih akan tinggal dirumah. Tugasnya disekitar Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, sehingga Untara terluka karenanya.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya “Kau dan kakakmu bertempur berpasangan?”
Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya dihadapan orang lain. Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya “Adakah Untara akan segera menyusul?”
“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu “Luka itu agaknya parah juga”
“Baiklah” berkata Widura itu kemudian “Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata “Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama mempertahankan lumbung itu?”
“Tentu adi” jawab Demang itu “Sebab apabila lumbung itu lenyap, kamipun akan kelaparan, Isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat membantu perbekalan untuk Pajang”
“Terima kasih kakang” sahut Widura “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita harus bersiap dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan kita. Tempatkan mereka dihalaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan”
Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah laki-laki bersenjata dijalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari jauh desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah dicengkam oleh kegelisahan.
Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah berkumpul dipringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi.
Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti kakaknya. Tidak disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada diantaranya orang-orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus.
Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu.
Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara seorang yang sudah setengah umur duduk disudut ruang itu. Katanya “adakah Ki Lurah sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari yang lampau berkeliaran di Karang Anom?”
“Ya” Widura mengangguk “Aku sependapat”
“Kalau demikian” orang itu meneruskan “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan Jipang”.
Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura seperti minta penjelasan.
Widurapun kemudian menjawab ”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun”
Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang “Laskar di Karang Anom telah bergerak ketimur. Tidak kebarat”
“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan kitapun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita”
Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang cerdik itu.
“Kalau angger Untara sekarang ada disini” desis orang setengar umur disudut itu.
“Kenapa?” bertanya yang lain.
“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang.
Yang berkata kemudian adalah Widura “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka diprapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”.
Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu “Meskipun angger Untara tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan Kepatihan itu?”
Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. Apalagi kalau ia harus melawannya.
Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan bergumam “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada induknya.
Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan dengan tenangnya ia berkata “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Agung Sedayu baru saja menempuh perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena itu, biarlah ia beristirahat”
Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. Terdengar seorang diantara mereka berkata “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan Macan yang garang itu?”
Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka menjadi cemas karenanya.
Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura “Karena aku yang bertanggung jawab atas kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu”
“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain.
Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar ditangannya itu berkata “Apakah aku diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?”
Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak saja muda umurnya, namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang dibeberapa pertempuran tampaklah ia melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar Widura itu.
Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak Wedi dari lereng gunung Merapi.
Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya “Kakang Widura, berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan kesaktiannya”
Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar segarang harimau belang”
“Ya” jawab Sidanti “Aku pernah mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk menangkapnya”
Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap?
Kemudian berkata Widura itu “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka katanya kepada dua orang lain “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah bertempur tidak terlalu jauh daripadanya”
Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu”
“Baiklah kakang” jawab Sidanti.
Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itupun tersenyum, katanya “Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan angger Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya”
Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukanna. Bahkan menyebut nama Tohpati itupun ia tak berani.
Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkan.
Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu sombong. Katanya kemudian “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu”
Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia tidak bermaksud apa-apa.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Widura melihat keadaan itu. Maka katanya “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri”.
Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda”
Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat menyahut “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham”
“Aku tidak mulai” jawab Sidanti.
Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang sempat melihat wajah Sedayu yang pucat.
Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya “Kau salah paham Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada”
Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan “Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi menjadi pahlawan”
Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang aneh. Karena dibalik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung Sedayu.
Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera berkata “Adakah kita akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”.
Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata “Beristirahatlah dipembaringanku Sedayu”
Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil berbisik “Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, apakah ada diantara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon perlindunganmu”.
Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung itupun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata “Ya, ya, Bapak Demang”
Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya “Terima kasih anakmas”
Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan besiaplah kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri dipaling depan adalah anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni.
“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?”
“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya.
Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang didadanya selalu tersimpan keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya “Apakah ukuran kesaktian seseorang? Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya”
Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Dalam laskar adi Widura, seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”.
“Siapa?” bertanya anak muda itu.
“Angger Sidanti” jawab ayahnya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja tangannya telah terpilin kebelakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit.
Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan Sidanti kepadanya.
“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa Sidantipun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali.
Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka ilmunyapun akan masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, bahkan menyamaipun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor anak kerbau.
Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap untuk bersama-sama dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang berusaha merebut perbekalan mereka.
Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itupun segera menyembunyikan diri dibelakang puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu.
Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling membelit. Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu.
Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada didalam kepalanya adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-sekali dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya “Apakah kau akan mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?”
Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu bersenjata sebuah tongkat baja putih. Diujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan senjata yang tak kalah dahsyatnya.
Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya “Sidanti, di Jipang, sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera ditempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat kesempatan yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani kelak menjadi urusanku”
Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang meskipun jauh.
Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik dibelakangnya. Ketika menoleh dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya.
“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik.
Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih “Mencarimu. Kau akan melawan Macan Kepatihan?”
Sidanti mengangguk
“Sendiri?”
Kembali Sidanti mengangguk.
“Aku ikut” minta Swandaru (bersambung)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ayik juga membaca ABM dan sudah 30 tahun lebih tidak baca ceitera ini, terima kasih