Sabtu, 17 November 2007

Api di Bukit Menoreh 3


Untunglah Untara melihat pisau itu.karana itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam tubuhnya.
Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar kemampuan jangkau manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau telah tertancam langsung menyayat jantung.
Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya sendiri.
Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan pertempuran itu.
Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata lagi itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya.
Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-lamat melihat darah meleleh dar luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan dan dikagumi oleh kawan.
Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada pilihan lain bagi Untara,kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh nyawa di Sangkal Putung termasuk nyawanya sendiri.
Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia memuji didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula.
Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia.
Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Unatara akan segera dapat mengatasi kedua lawannya. Kedua ornag itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun rebah ditanah untuk tidak bangun lagi.
Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak “kali in kau menang Untara, tetapi lain kali kau akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selam aku masih hidup di dunia ini.”
Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai ia terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi menghadapi kemungkinan apapun.
Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan mendekati adiknya.
“Sedayu” desisnya.
Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat “Kakang, kenapa kau?” terdengar suaranya gemetar.
Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir.
“Tolong” desis Untara “balut lukaku”
Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya.
“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau dapat menolong aku berjalan”
“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah tak tampak lagi.
Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada disekitar tempat ini.”
Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu dapat membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua disekitar tempat ini dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat.
Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. Berbagai perasaan tang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayi kehilangan pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan kareena kakaknya menaruhnya berjalan sambil menggantung dipundaknya dengan tangan kanannya.
Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu,apabila ia tidak mendapat pertolongan.
Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui rumah seseorang.
“Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis
Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya.
“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya.
Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-yiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas yang muncul dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan demikian Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar “jalan dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau misalnya?”
“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya “kita pergi ke tempat Ki Tanu Metir.”
“Masih jauh” sehut adiknya.
“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati”
Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada kegelapan dihadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati.
Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap dadanya.
Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena darahnya kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan doa didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau dengar sesuatu?”
Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber hidupnya.
Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan langkah manusia dan bukan pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?”
“Ya” sahut adiknya.
Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu.
“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. “Itu kudaku”
Wajah Sedayupun menjadi agak cerah,katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?”
“Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada,namun kita berdua akan berkuda bersama-sama”
“Kembali?”
“Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.”
Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke atas punggung kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah kuda yang kuat, karena itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda itu masih dapat berlari kencang.
Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya.
Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yan gsubur diujung hutan, sampailah mereka kepadukuhan kecilyang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yangmenusuk ke dalam tubuh seseorang.ornag itulah yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat menolongnya.
Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah menolong kakaknya turun dari kuda,maka dipapahnya kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat.
Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar menembus lubang-lubang dinding.
Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih membekas dihati dukun tua itu.
Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih “Siapa?”
“Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom”
“Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara putera Ki Sadewa?”
“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar.
Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. Karena itu dnegan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara telumpahnya diseret diatas lantai tanah.
Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan muncullah dari celah-celahnya seorang tua bertubuh sedang. Rambutnya telah hamper seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening.
Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya “Kau terluka ngger?”
“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.”
Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya atas kemauan sendiri.
Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu. Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang baik”
Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa kedekat kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka dipundak Untara.
Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya “Hem, luar biasa”
“Apa yang luar biasa?” desis Untara.
“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.”
Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara “Widura harus diselamatkan”
Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak.
Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya “Agaknya angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.”
“Ya” jawab Untara singkat
“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula
Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang”
“Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.”
“Disini?” Untara terkejut mendengarnya.
“Ya,disekitar tempat ini” jawab Ki Tanu.
Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi dari lubang lukanya.
“Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih.
“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah angger bertemu dengan pande besi itu?”
“Ya” jawab Untara
“Sendiri?”
“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat.
“Angger berdua” potong Ki Tanu.
“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya.
“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi itu terkenal didaerah ini” berkata Ki TAnu seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa sajakah mereka itu”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab singkat “Aku belum kenal mereka”
“O” Kitanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan pekerjaannya. BAru kemidoan ia duduk disamping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara meristirahat bersandar setumpuk bantal.
“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu.
Sedayu menjadi bingung. Sebenarknya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia menjawab “Seorang tinggi kekuru-kurusan”
“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya Tumida”
“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu.
“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu.
“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan.
“Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu.
“Kira-kira” Sedayu mengangguk.
“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?”
“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya.
Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak itukah yang disebut Alap-alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas”
“Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”.
Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?”
“Ya” jawab Ki Tanu.
Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya.
Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Seday “Merka itukah yang melukai angger UNtara?”
“Ya” jawab Sedayu.
Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya “Lalu siapakah angger ini?”
“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara”
“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi seakan-akan sepasang burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi dan Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?”
Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang burung rajawali. Tetapi sejalan dengna itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga diantaranya. Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga diantaranya terbunuh, Anak muda yang bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri”.
“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis “Nama Untara benar-bbenar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu”
Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seoerti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat anak-anak muda memandi senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu bubunya menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu.
Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi semakin jelas. DIkenangknya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu, Aku tidak mampu untuk bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?”
Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri.
“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah”
Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam dadanya, perasaan cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan “Sedayu. Hanya negkaulah yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”
Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya “Apa yang harus aku lakukan?”
“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, bagaimana aku harus melindungimu. Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-orang Alap-alap Jalatunda pasti kan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka mereka pasti akan sampai ketempat .ini. Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang kemari. Dan mencobanya mencari”
“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?”
Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”.
Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka keadaannya pasti akan lebih bail.
Ki Tanu menlihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu “Sebenarnya aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan dengan Alap-alap Jalatunda?” (bersambung)

Tidak ada komentar: