Selasa, 04 Desember 2007

Api di Bukit Menoreh 8


“Jangan gila” desisi Sidanti.
“Kenapa?”
“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi Sangkal Putung”
“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua”
“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu”
“Aku disini” bantah Swandaru.
Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan “Kembali. Atau aku tampar mulutmu”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu iapun diam.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh pengawas.
“Kembali kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandarupun segera merangkak ke kelompoknya.
Widura telah berdiri dibalik sebatang pohon yang berdiri didekat perapatan. Dari kelokan jalan diujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung.
Namun mereka tidak melewati jalan disimpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal Putung.
“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang.
Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena itu katanya “Bukan induk pasukan. Itulah cara Macan Kepatihan memancing lawannya kearah yang keliru”
Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya “Macan yang cerdik”
“Macan itu memang berotak terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya keutara, maka induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan ini”
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan didalam dadanya, karena itu ia bertanya “Kita menunggu induk pasukan?”
“Ya “ jawab Widura.”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas diatas pematang itu?”
Widura berpikir sejenak “Sedang aku pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil selah seorang anak buahnya “Sonya” katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri disampingnya “Adakah kau masih jagoan lari?”
Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura memberinya penjelasan. “Pancinglah orang-orang itu”
“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu.
Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil mereka seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk menyerang Sangkal Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada mereka hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus bertempur melawan mereka “Apa selanjutnya?” ia bertanya.
“Serahkan kepada kami” jawab Widura.
Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya.
“Sekarang?” bertanya orang itu.
“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura.
Sonya itupun kemudian merangkak, dan melompat kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring “Hei, siapa itu. Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?”
Didalam kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi. Orang-orang yang berjalan dipematang itupun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti dan memandang kearah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil mengulangi pertanyaannya.
Rombongan yang tak begitu besar itupun berhenti. Mereka tegak berjajar dipematang seperti wayang sedang disimping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika mereka mendengar suara Sonya berteriak “Hei dengar, desa kalian akan mendapat serangan. Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang”
Orang-orang dalam rombongan itupun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu telah melihat induk pasukannya.
Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil keputusan. Sesaat mereka masih tegak diatas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang diantara mereka bergumam sesama “Siapakah dia?”
Kawannya menggeleng, jawabnya “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan”
“Berbahaya” sahut yang lain.
“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itupun berkata “Tangkap orang gila itu”
Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. Sedang yang lain masih diam mematung.
Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka terulur. Apabila induk pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan rombongan kecil pecahan laskar Macan Kepatihan itu.
Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya didalam hati “Tepat juga dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak “Hei, ternyata kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran disebelah utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.”
“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya.
Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itupun mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali.
Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan perapatan.
Kawan-kawan merekapun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran.
Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-pengejarnya tidak dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain, maka iapun berlari terus ke Sangkal Putung.
Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya sebuah rombongan lain dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura, demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem” geramnya “Itulah induk pasukan mereka”
Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan tak teratur, seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena kekalahan-kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga gugur, maka tekad mereka sudah tidak sebulat sebelumnya.
Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak dipematang. Dan dengan serta merta ia berteriak “Hei, kenapa kalian masih disana?”
Pemimpin rombongan itupun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda bahaya bergema dikademangan Sangkal Putung. Kentong titir.
“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami”
“Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah.
Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak “Dari mana kau tahu?”
“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan induk pasukan” Sahut yang di pematang.
“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?”
“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal”
Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan keningnya.
“Berhenti ditempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang terbentang dihadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan adalah seorang yang cerdas dan cermat disetiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia berkata nyaring kepada yang masih tegak dipematang “Jalan terus, kamipun akan mengikuti jalanmu itu”
“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti demit”
Demang Sangkal Putung itupun menggeleng-geleng pula. Katanya “Apakah yang akan kita lakukan?”
Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata “Kita harus cepat mulai, sebelum jarak diantara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat mencapai hasil seperti apabila mereka berjalan tepat dimuka hidung kita”
Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang disampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan Kepatihan itu tidak akan lewat disimpang empat.
Kepada Ki Demang, Widura berkata “Bapak Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung langsung memotong laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha membantu induk pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya”.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali.
Sindanti tersenyum. Iapun telah tegak dibelakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung kearah Macan Kepatihan.
Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu iapun segera berteriak nyaring “Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja dihadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri mereka, dan dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka.
Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Kedua laskar itupun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi aba-aba kepada pecahan laskarnya “Jangan kembali, langsung kejantung Sangkal Putung. Bakar setiap rumah yang ada disana dan bunuh semua orang!”
Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu iapun berteriak pula “Swandaru, cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain tetap pada rencana!”
Swandarupun segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar pedang bertangkai gading ditangannya. Terdengarlah anak itu berkata “Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya.
“Adakah Macan Kepatihan itu disana?” bertanya anak itu pula.
“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera”
Swandaru yang gemuk itupun kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding ditanah-tanah yang becek. Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang menghalau burung pipit yang mencuri padi disawah. Kawan-kawannya yang melihat Swandaru itupun segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak pula memekakkan telinga.
Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka telah menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan, mereka melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura berserta laskarnya. Anak-anak itupun menjadi semakin bernafsu melatih diri. Karena itu, maka merekapun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka.
Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, Jagabaya dan kemudian demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap laskar Jipang yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. Karena itu, maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk membantu mereka, serta untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena kekalahan-kekalahan kecil.
Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itupun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu, ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad perlawanan musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh pengaruh kata-kata Widura itu. Karena itu, maka kesempatan yang pendek itupun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan menarik suatu garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itupun laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. Beberapa orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung.
Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya kesatu sisi, dan dibuatnya sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal.
Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya “Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?”
Kemudian Widura itupun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup diantara kesibukan laskar kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya ditengah-tengah sawah yang juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. Ternyata, meskipun Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun kekuatannya benar-benar berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar mengerikan. Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu terpental jatuh.
Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya “Apa maumu?”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada didalam pertempuran”
“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?”
“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti.
Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura diantara laskar lawannya. Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa lampaunya.
“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti.
“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Semantara itu tangan kiri Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya. “Selesaikan anak ini” katanya.
Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran disekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itupun segera menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itupun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Sidanti telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting ditanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti.
Wajah Macan Kepatihan itupun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak muda itu tersenyum.
Sementara itu langitpun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-akan berloncat-loncatan diujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka kemudian Tohpati melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya ditangan Sidanti itu. Tohpati itupun terkejut. Terdengarlah ia menggeram parau “Tambak Wedi”
Sidanti masih tersenyum. Jawabnya “Kau kenal nama itu?”
“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang muridnya”
Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya.
“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat paman Mantahun. Namun ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari persahabatannya. Bahkan kini muridnya ditempatkannya dipihak Pajang”
“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, sebab Jipang pasti akan hancur”
“Pamankupun berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara, maka tunduklah ia kearah angin itu, bila angin kemudian berputar keselatan, batang ilalang itupun berputar pula”
“Cukup” teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu iapun segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar.
“Senjata itu ada ditanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah kau dapat mempergunakannya”.
Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu.
Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itupun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Sidanti itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti benar-benar dapat memanfaatkan kedua tajam senjatanya diujung dan pangkalnya itu. Nanggala itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya matahari pagi, seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur disekitar tempat perkelahian itu. Dan diujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap ditubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk tengkorak kecil.
Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar didalam dada masing-masing.
Disekitar merekapun pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan memimpin anak buahnya hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup disegala titik pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab setiap kali dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada disampingnya.
Ditengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itupun bertempur dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadi-jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk seterusnya mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang karena lumbung-lumbung mereka akan habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan yang lain. Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula karenanya. Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah sebabnya maka kadang-kadang mereka menjumpai perlawanan-perlawanan yang tak mereka duga-duga. Untunglah bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. Jagabaya Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung jawab ada pula diantara mereka. Meskipun batapa berat hati Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang ditangannya harus diayunkan, apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula diantara mereka, beberapa orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit.
Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura berloncatan kian kemari hampir diseluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Sidantipun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun tidak, atas Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu.
“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hati. Ternyata Macan Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya - Tohpati dapat berubah menjadi asap -.
Meskipun demikian, betapapun garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak lekas berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap melawan Macan Kepatihan itu betapapun berbahayanya.
Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin mendekat. Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang berputar-putar ditelinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa beberapa kali melangkah surut, semakin lama semakin dalam dibelakang garis semula.
Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab disamping anak muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia sendiri masih tetap berputar-putar disepanjang garis pertempuran. Karena itulah maka kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan yang lebih baik dari lawannya.Hudayapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya dan menyerahkannya kepada beberapa orang lain. (bersambung)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ayo Cak, kapan diupdate lagi ... sudah penasaran nih.

Ceritanya banyak yg lupa, ini bacaan ku saat masih SMP.

drnyol mengatakan...

Aku tidak bisa berhenti baca .... huaaa !!!