Selasa, 20 Mei 2008

Api di Bukit Menoreh 44

Swandaru tidak menjawab. ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu.
Orang-orang yang berdiri tegak itupun kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih Widura. ia pernah melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan permainannya semacam itu.
Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata “Kiai, apakah aku tidak dapat melakukannya?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru “apakah angger ingin mencoba?”
Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab “Biarlah aku mencobanya Kiai”
Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan besi itu berganti-ganti.
“Silakan ngger, silakan mencoba”
Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat oleh Ki Tanu Metir.
Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu, Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan itu amat mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi itu.
Ternyata kekuatan Swandarupun benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.
Nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ternyata kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini hanya mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itupun telah dikerahkan tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat berbuat demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu.
“Bagaimana ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kemudian. Swandaru menyerahkan potongan besi itu kembali sambil berkata “Aku tidak mampu Kiai”
Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu Metir melihat kepercayaan yang mulai tumbuh didalam hati Swandaru. Namun kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar memiliki kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Swandarupun belum pernah melihat kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru telah mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, selain setiap orang menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti disekitar gunung Merapi. Swandaru percaya karena hampir setiap mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah seorang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya.
Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu. Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari pendapat itu. Karena itu, maka ia masih harus mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon muridnya itu.
Namun setiap ia akan mulai, maka keragu-raguannya tumbuh kembali didadanya. Permainan yang manakah yang sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau Widura bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan Agung Sedayu telah bersama-sama bersetuju. Kalau demikian, maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang melakukannya.
Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu tidak harus merupakan perkelahian. karena itu, maka berkatalah Ki Tanu Metir kepada Swandaru “Kau telah melihat pameran dengan kekuatan ngger. Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat menyelamatkannya dari orang lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan seseorang juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang marilah kita melihat, apakah kita cukup memiliki kelincahan”
Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu kemudian mencari beberapa buah batu. Batu itupun kemudian diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian katanya kepada Swandaru “Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah angger Swandaru mampu menyentuh aku didalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat terlalu jauh keluar lingkaran atau apabila angger Swandaru berhasil menyentuh tubuhku, maka aku telah angger kalahkan”
Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu maka ia menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya “Marilah ngger. Kejarlah aku”
Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir didalam lingkaran itu. Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap dirinya sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir itu dengan segan-segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan dengan loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya. Tetapi semakin lama Swandaru itupun menjadi semakin jengkel. Telah berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap kali orang tua itu selalu menghindarinya. Karena itu semakin lama Swandaru menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia tinggal mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk mendapat serangan atau apapun dari orang tua itu. Tetapi ia tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang tua itu menjadi semakin cepat pula. sekali-sekali merunduk, namun disaat yang lain meloncat tinggi-tinggi. Bahkan ketika Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan sepenuh tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah membingungkannya. Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua itu memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada dibelakangnya.
Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki Tanu Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung “Satu, dua, tiga……” dan setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya. Ketika hitungan Ki Tanu Metir telah sampai bilangan keduapuluh lima, maka ia berkata “Kalau kita bertaruh ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka duapuluh lima butir angger harus membayar”
Akhirnya Swandaru itupun berhenti. Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan dengan kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata “Tidak dapat. Tidak dapat Kiai”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan permainan yang sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan kekuatan dan kelincahan yang luar biasa.
Ki Demang Sangkal Putung yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan dengan demikian, maka Ki Demang itupun segera memahami, bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. Bukan orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya.
Namun berbeda dengan Swandaru sendiri, Swandaru adalah anak muda yang sedang berkembang. Angan-angannya membumbung tinggi keatas awan dilangit yang biru. Tak pernah ia puas melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat dan mengejutkan. Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan apa yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu berbuat sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan tangannya sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan main-main kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat melihat kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya “Bagaimana angger Swandaru. apakah angger dapat memahami apa yang angger lihat?”
“Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai” jawab Swandaru “Kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan diri. Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya “Yang paling baik bagi kita ngger, adalah menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita dalam setiap pertempuran?”
Swandaru menjadi semakin tidak mengerti. Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar menghindarkan diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya “Jadi, apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika aku bertemu dengan Sidanti, dan ia menyerangku, apakah aku hanya akan mampu melarikan diri, atau katakanlah menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian persoalanku dengan Sidanti selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu disaat yang lain?”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Kalau aku bertempur” sahut Swandaru dengan nada yang berat “Maka aku harus dapat menghindari serangan lawan dan harus pula dapat membinasakan lawan”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas. Katanya “Jadi angger harus dapat membinasakan lawan dalam artian membunuhnya atau bagaimana?”
“Ya, demikianlah seharusnya”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam antara Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan mungin sebaya, namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus dihadapinya dengan cara berpikir berbeda. Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia dihadapkan pada kekisruhan yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan lahiriah semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah, dibinasakan atau membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat membinasakan lawan dalam tekad dan tujuannya yang salah, dan menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari kesalahannya, untuk seterusnya menghentikan perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap sebagai usaha yang berhasil, meskipun tanpa membunuhnya.
Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan segera dapat mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu diperlukan waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan untuk Swandaru akan jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung Sedayu. Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai suatu kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng.
Namun banyaklah contoh-contoh yang akan dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika akan dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus dan menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi dalam banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun persoalan yang lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu, masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga karena itu maka mereka terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tercela. Bukan sebagai seorang prajurit yang memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakut-nakuti rakyat.
Apa yang terjadi dihadapan Swandaru itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak oleh mata. Ki Tanu Metirpun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan, tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan. Karena itulah maka Ki Tanu Metir itupun kemudian tidak mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru, meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu contoh yang tepat menurut selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi apakah yang dapat dipertunjukkan dihadapannya. Dihadapan Swandaru dan orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya atau memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak tangannya?
Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat menurut seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk bertanya saja, katanya “Angger Swandaru, kalau angger tidak puas dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah yang angger senangi?”
Swandarupun tertegun diam. Ia sendiri menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia mendengar pertanyaan itu, maka iapun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya, tetapi ia tidak dapat mengatakan.
Karena itu, maka Swandaru itupun berkata dengan jujur “Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi laki-laki yang sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya seperti kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian”
Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru ternyata adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengangankan kemenangan lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi Ki Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya sedikit demi sedikit.
Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Tetapi bagaimana?
Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata “He angger Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan Swandaru. cepat sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini”
Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur melawan Ki Tambak Wedi. tetapi cambuk ini agak lebih kecil.
Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan senjatanya. Letusan cambuk itu meledak-ledak ditelinga Swandaru seperti letusan-letusan bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru benar-benar terkejut melihat gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya. Dan dengan serta-merta iapun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.
Widura dan Agung Sedayupun segera menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir.
Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa seakan-akan sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu dari tangannya.
Sesaat Swandaru tegak seperti patung. Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah daripadanya. Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia tidak bergerak seperti tonggak.
“Kenapa pedangmu kau lepaskan” bertanya Ki Tanu Metir
Swandaru tidak menjawab. namun ia segera menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun serangan keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.
“Mereka tidak bersungguh-sungguh” pikir Swandaru. “Aku akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus yang kagum melihat kucing menari-nari”
“Beri kesempatan aku mengambil senjataku” teriak Swandaru.
“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung Sedayu dan Widura.
Ki Tanu Metir itupun kemudian berkata pula “Marilah Ki Demang kita bermain-main”
Ki Demang belum lagi selesai mengelus dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi ia tersadar ketika Swandaru berbisik “Mereka hanya pura-pura. Mari ayah, kita buktikan, apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja”
Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa segan pula. tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan pedangnya seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka perlahan-lahan Ki Demang itupun menarik pedangnya pula.
Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu Metir dengan pedang ditangan. Swandarupun kemudian dengan tergesa-gesa memungut pedangnya pula. dengan hati-hati ia segera mendekati lingkaran pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa iapun memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit pedangnya, maka pedang itu akan dipertahankan dengan kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki kekuatan yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya, sedangkan orang-orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila Widura dan Agung Sedayu hanya berpura-pura saja.
Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu, tiba-tiba sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia mendengar Ki Tanu Metir itu berkata “Jangan lepaskan Swandaru”
Swandaru menggeram. Berlari-lari ia memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang. Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya, maka pedang itu dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya terjerebab.
Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha bangun. Sekali lagi menggeram. Swandaru merasa bahwa tarikan ujung cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik kedepan dan kehilangan keseimbangan.
Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia terpaksa jatuh terjerebab mencium tanah.
Dengan lengan bajunya, Swandaru membersihkan debu yang melekat diwajahnya. Bajunyapun menjadi kotor pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia benar-benar akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, namun apabila ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk yang kecil itu akan terputus oleh tajam pedangnya, meskipun terbuat dari janget tenatelon sekalipun.
karena itu, maka kini Swandaru memungut pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan hati-hati ia berjalan ketitik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya kearah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya. Sedang kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit. Kini Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung kearah Ki Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak bergerak. Kakinya seakan-akan menghunjam jauh kedalam tanah, sehingga anak muda itu kini seakan-akan sebuah pokok dari sebatang pohon yang berakar jauh kepusat bumi.
“Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat tenagaku” kata Swandaru didalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman pedangnya serta kedua belah kakinya.
Beberapa saat ia melihat pertempuran itu masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya gerak sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat menjilat langit dan memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan yang keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerebab.
Tetapi kembali Swandaru itu terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung ketika Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya “Swandaru, dengan berdiri mematung seperti itu, kau tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya lawanmu itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba menyerangmu dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau sendiri hanya tegak saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan wajahnya menjadi merah. Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk didalam hatinya. Tetapi kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak.
karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu segera meloncat, menyerbu kedalam pertempuran itu. Digerakkan pedangnya dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.
Kali ini Swandaru benar-benar terpaku ditempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun dengan demikian, benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak mendapatkan waktu sekejappun untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba Swandaru berkata “Aku tidak akan mengambil pedangku kembali.”
Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia bertanya “Kenapa ngger?”
“Hem” Swandaru menarik nafas panjang-panjang. Jawabnya “Tak ada gunanya”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya bagaimana? Aku sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa.”
Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat beberapa langkah kebelakang sambil berkata “Sudahlah. Kita akhiri pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.”
Perkelahian itupun segera berakhir. Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apapun juga.
“Bagaimana? Bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada anaknya.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh “Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali tidak.”
“Kenapa?” bertanya Widura sambil tertawa.
Sekali lagi Swandaru menggelengkan kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali. Namun kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar orang yang luar biasa. Tetapi meskipun demikian, selera Swandaru agak berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya yang besar dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan suatu perbuatan yang dapat menggetarkan dadanya. Namun ia tidak berani mengatakannya. Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. “Mungkin suatu ketika aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan gerak tanpa dasar kekuatan?“ Namun kemudian katanya didalam hatinya “Tetapi Ki Tanu Metir mampu melengkungkansepotong besi.”
Swandaru itu menggeleng kepalanya kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya pula “Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau menggempur padas itu sampai pecah.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja didalam hatinya.
Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung. Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu. Orang itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga Swandaru sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bermain pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan tidak menunjukkan kesadaran diri akan kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar jarang ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan perasaan dan pikiran.
Orang-orang yang berada dilapangan kecil itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal dilangit, satu demi satu telah menghilang. Sedang ditimur membayang warna semburat merah mengusap langit yang biru kehitaman.
“Hampir fajar” desis Ki Tanu Metir.
“Apakah permainanmu ini sudah cukup? Bertanya Widura kepada Swandaru.
Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya “Sementara sudah cukup paman.”
“Sementara?” ulang ayahnya.
Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya. Namun hatinya menyahut “Ya. Sementara. Aku ingin melihat kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau mengeringkan lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hiduo. Yang menggetarkan dada ini.” Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat dari bibirnya.
“Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir.
Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka.
Ketika fajar merekah, maka burung-burung liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan selamat pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung pepohonan yang hijau segar. Dilangit awan yang putih berhamburan mengalir ke utara didorong oleh angin ngarai.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu tegak berdiri disamping kandang kuda dibelakang rumah Kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main diatas tanah yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran.

Tidak ada komentar: