Selasa, 20 Mei 2008

Api di Bukit Menoreh 43

“Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.
“Ya” sahut Agung Sedayu “Aku lebih senang”
“Baiklah” sahut Swandaru “Marilah, minumlah”
Widura dan Agung Sedayupun minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin banyak mengalir membasahi tubuh mereka.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir itupun bertanya pula “Dari manakah angger berdua malam ini. Apakah seperti biasanya nganglang setiap gardu perondan?”
“Ya” sahut Widura “Dan ke gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah mencobakan ilmu yang paling akhir”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah “Ah”
Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura berkata “Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun tidak dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelum berkata sesuatu, maka Widura telah berkata pula “Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami berpacu dengan orang yang tidak kami kenal itu kekademangan”
Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Siapakah yang lebih dahulu sampai?”
“Ki Tanu Metir” jawab Widura.
“He” sahut Ki Tanu Metir “Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?”
Widura menggeleng, jawabnya “Entahlah. Aku tidak tahu”
Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya. Widura dan Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah mereka.
Agung Sedayu yang semula juga ikut menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya “Bagaimanakah dengan kakang Untara?”
Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir, sehingga dengan serta-merta ia menjawab “Sudah semakin baik. Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka iu akan sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya”
“Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda ke Sangkal Putung sendiri. dan Kiai tidak usah menyusulku dan setelah Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda”
Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Untara. Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya “Bagaimana Kiai?”
“Kemana aku harus bersembunyi lagi ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara.
“Kiai tidak perlu bersembunyi lagi”
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Kemudian gumamnya “Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing”
“Cerita itu sudah lama tamat” sahut Widura.
Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa geli. Katanya “Terlalu banyak yang ingin kau ketahui ngger. Tetapi baiklah, aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar”
Widura tertawa. Agung Sedayupun tertawa. tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu.
Karena itu, maka Swandaru itupun segera bertanya “Apakah yang aneh paman Widura?”
Widura menggeleng sambil tersenyum “Tidak apa-apa. hanya suatu permainan saja”
“Permainan apa?”
“Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya”
Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban Widura itu semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia mendesaknya “Tetapi, bagaimanakah cerita tentang paman Widura dan orang yang disebut gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?”
Oh” sahut Widura “Aku hanya bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku, karena aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya, Agung Sedayu”
Swandaru mengumpat-umpat didalam hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi. Namun, bagaimanapun juga, ia tidak dapat menjajagi, bahwa senda gurau itu telah mengungkapkan suatu peristiwa yang selama ini menjadi teka-teki bagi Widura. meskipun Ki Tanu Metir belum mengatakan kepadanya, namun Widura telah dapat merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas Untara. Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang disekitar rumah Ki Tanu Metir menyangka bahwa orang tua itu bersama Untara telah hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini semuanya sudah menjadi agak jelas bagi Widura. sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-alap Jalatunda tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadapnya.
Ki Demang Sangkal Putungpun sebenarnya mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan diluar dirinya, dan mungkin menyangkut kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut mempersoalkannya apabila tidak diminta.
Sesaat kemudian kembali mereka duduk melingkar diatas tikar pandan dipringgitan. Untara masih tetap berbaring dipembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun ia masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk.
Diantara mereka sudah terhidang berbagai makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga untuk menggerakkan rahang-rahang mereka.
Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil lalu saja “Bagaimanakah kabarnya angger Sidanti itu sekarang?”
Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang.
“Tak ada kabarnya” jawab Widura “Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung”
“Tetapi ia pasti mendendam” potong Swandaru tiba-tiba “Aku telah melukainya”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja kepada Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan Agung Sedayupun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, bahwa dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar Mirah, dan Swandaru yang telah melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai Gringsing yang sekarang duduk dihadapannya sebagai seorang dukun tua itu, akan melindunginya.
Tetapi Swandaru tidak mendengar janji yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar apabila diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada dihalaman yang sama, Sidanti telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak akan sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya.
Ayahnyapun merasakan kecemasan itu. Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki Demang Sangkal Putung itupun ingin mencari perlindungan bagi anaknya. Maka katanya “Aku menjadi cemas juga akan angger Sidanti itu. Hubungannya dengan Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru kinipun selalu terancam pula olehnya. Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah berusaha untuk membunuhnya, sehingga dengan demikian maka dendam angger Sidanti itupun menjadi semakin dalam pula”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis “Swandaru berusaha menyelamatkan aku”
Widura melihat kecemasan yang membayang diwajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, maka Widura itupun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata “Jangan cemas kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih disini”
Ki Demang terkejut mendengar kata-kata Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiripun terkejut. Tetapi kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah “Ah, nasib Swandaru benar-benar mencemaskan”
Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka katanya kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu “Aku berkata sebenarnya kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama”
Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak segara dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga akhirnya ia bertanya “Maksud adi, apakah apabila angger Agung Sedayu atau Swandaru dicederai oleh angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya hingga sembuh?”
Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu benar-benar tidak mengerti maksud Widura. dan sebenarnya bahwa Widura mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk menerimanya. Widura mengatakan suatu hal diluar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki Tanu Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya.
Setelah menimbang beberapa lama, maka kemudian Widura itupun menjawab “Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti”
Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Katanya dengan ragu-ragu “Angger Agung Sedayu barangkali dapat berbuat demikian. Sebab malahan angger Sedayu sudah melampaui ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?”
“Itulah yang aku maksud, kakang” sahut Widura “Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah untuk Sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung Sedayu. Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka akupun minta dengan sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu”
Ki Demang Sangkal Putung benar-benar menjadi pening mendengar keterangan Widura yang justru menjadikannya semakin bingung. Swandarupun tidak kalah bingungnya. Sehingga bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata “Paman Widura, bahaya itu sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu. Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka supaya aku sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti mencelakakan aku?”
Widura benar-benar menjadi sulit untuk mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali tidak membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir “Ki Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada kakang Demang dan Swandaru. dan katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan kami. Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai dan memberi mereka bekal keselamatannya dari ancaman Sidanti”
Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. ditatapnya setiap orang yang duduk disekitarnya satu demi satu. Kemudian perlahan-lahan ia berkata “Jadi bagaimana angger Widura?”
“Terserahlah kepada Kiai” jawab Widura.
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian kepada Widura ia berkata “Angger, permintaan angger aku terima dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian, seperti yang telah aku ucapkan Ki Tambak Wedi sendiri. sekarang apakah angger Agung Sedayu dan angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?”
Agung Sedayulah yang dengan serta-merta menjawabnya “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai”
Tetapi Swandaru belum juga menyadari keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa, hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan kebingungannya.
Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan dihati Swandaru itu. karena itu, maka katanya “Angger, aku tahu angger menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh Sidanti. karena itu, maka aku akan mencoba menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan angger sendiri” Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada disekitarnya. Terasa alangkah berat hatinya untuk mengatakan sesuatu yang terkandung didalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir bukanlah seorang yang suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya kepada orang lain. Sebenarnyalah bahwa apakah Swandaru percaya atau tidak, bukanlah kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak akan mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itupun sama sekali bukan kepentingannya. Namun ia sadari bahwa seharusnyalah anak itu diusahakan untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu Metir itupun mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru dan Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu. Tetapi sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada. Namun sebab yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu. Karena itu, oleh sesuatu tekanan didalam hatinya yang belum pernah dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia menolong Agung Sedayu sendiri, karena persoalan yang bersangkut-paut.
Dengan demikian, maka setelah berhenti sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata “Angger Swandaru, sebelum angger mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah wajah sekali kalau angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi itu akan dapat memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan angger. Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat cara yang lain untuk itu”
Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa berkedip. Ki Demang Sangkal Putungpun menjadi semakin bingung. Tetapi ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir itu.
Ki Tanu Metir itupun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan berkata “Angger, apakah peristiwa yang angger saksikan tadi mampu meyakinkan angger Swandaru?”
Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya. Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri.
Meskipun demikian, maka Agung Sedayu telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir itu sendiri.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun tampaklah pada wajah Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung Sedayu.
Mereka bukan tidak percaya pada Agung Sedayu, namun mereka sangatlah sukar utuk membayangkannya, bahwa hal itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir itu.
Ki Tanu Metirpun dapat menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan mereka itu.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Untara berkata “Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah kau mau mendengarkan Swandaru?”
“Tentu” sahut Swandaru kosong.
“Baiklah” berkata Untara pula. perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan duduk disamping Ki Tanu Metir.
“Lukaku sudah tidak berbahaya lagi” katanya.
Swandaru dan kesempatan memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.
“Ki Demang Sangkal Putung dan kau Swandaru” berkata Untara itu kemudian “Cerita ini adalah cerita tentang diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu, namun aku yakin bahwa pada saat itu paman Widura dan Agung Sedayu telah berusaha mencari aku” Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi juga Agung Sedayu dan Widura sendiri.
“Aku kira, pada waktu itu hampir semua orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka bahwa aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal Agung Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Namun ternyata aku selamat. Didalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut dugaan kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan Plasa Ireng itu?”
Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan mampu mengambil Untara pada saat itu, sebab didalam rumah itu ada Ki Tanu Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya kira-kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki Tambak Wedi ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng dengan beberapa orang kawannya.
Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian terdengar Untara berkata seterusnya “Nah, ternyata Ki Tanu Metirlah yang berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir Plasa Ireng dan orangnya, maka segera akupun disembunyikannya diatas kandang kuda, sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu. Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya pergi, mengungsi ketempat yang tak banyak dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang yang akan menyangka bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun sebenarnyalah demikian”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar seandainya kakaknya mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi pingsan ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat terakhir, tidak seorangpun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa Agung Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya akan terjadi.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan yang bersarang didalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan.
Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itupun kemudian berkata “Angger Swandaru. Aku akan mencoba menunjukkan beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-mata aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar kepercayaan kepada angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia. mungkin memang tidak akan dapat berhasil seperti yang diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada usaha kearah itu. Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari sedikit”
Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau ia akan dapat melihat apapun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir, maka ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian, maka ia berjanji didalam hatinya, bahwa ia tidak akan merasa seorang murid yang tekun. Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti sepanjang umurnya.
Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak mereka itu kehalaman, maka dengan serta-merta Swandaru itupun berdiri dan berkata “Benar-benar diluar kemampuanku untuk memikirkan apa yang telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku berjanji, bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku sendiri dan demi kelangsungan ketentraman didaerah ini”
“Bagus” seis Ki Tanu Metir “Angger adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu. Mudah-mudahan angger akan dapat membawa bekal secukupnya”
“Terima kasih Kiai” jawab Swandaru.
Ki Tanu Metir itupun kemudian berjalan mendahului mereka. Tetapi dimuka pintu ia berhenti. Sambil berpaling ia berkata “Kita ke gunung Gowok”
Swandaru tidak peduli, apakah permainan itu dilakukan dirumah, dihalaman, atau di gunung Gowok. Karena itu ia menjawab “Marilah. Aku akan kut kemana Kiai akan pergi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan kehalaman. Ki Demang Sangkal Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya Untara sajalah yang tinggal dipringgitan dan kembali ia membaringkan dirinya.
Para penjaga regol yang melihat mereka keluar menjadi heran dan bertanya-tanya didalam hati. Kemanakah mereka itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang. Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu?
Tetapi mereka ridak bertanya terlalu banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya “Berjalan-jalan” katanya.
Mereka itupun kemudian berjalan tergesa-gesa ke gunung Gowok. Disepanjang jalan itu, mereka hampir tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angannya.
Ki Tanu Metir itupun sibuk pula dengan pikirannya sendiri. adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan memaksa seseorang untuk menjadi muridnya tidak atas permintaan anak itu sendiri. hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan kepada anak itu sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya. Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Widura. dan ia tidak dapat membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan orang lain yang mendendamnya. Ia harus menolongnya, meskipun dengan demikian terjadi kejanggalan itu.
Pada saat permulaan dari penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya pada Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak Demang, sehingga seakan-akan iapun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh ayahnya, Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi muridnya. Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-hal yang tidak dimengertinya itu lambat laun, namun dalam kebimbangan ia menunggu, meskipun telah didenganya beberapa keterangna mengenai dirinya.
Tetapi dengan demikian, maka Swandaru memnpunyai sifat yang lebih terbuka pula. ia lebih senang melihat dan membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki didalam hatinya.
“Namun anak muda itu harus tahu” berkata Ki Tanu Metir didalam hatinya “Bahwa bukan kehendakku untuk mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku lakukan adalah untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia seharusnya tidak berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi harus benar-benar bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri”
Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan segera dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus melihat sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya dan kepercayaannya. Tetapi apa?
Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain. Benar-benar suatu hal yang asing baginya. “Mudah-mudahan aku tidak sekedar terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum didalam hati.
Tanpa terasa merekapun kemudian sampai pula disebuah tanah lapang kecil didekat puntuk kecil yang bernama gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan gunung itu. Kepada batang kelapa sawit diatasnya, dan kepada tanah lapang yang kecil itu. Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri.
Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya bintang-bintang yang bergantungan dilangit yang biru. Dilihatnya awan yang tipis bergerak lembut keutara.
Sesaat Ki Tanu Metir berdiri termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah permainan yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam keadaan yang serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih dahulu, maka malahan terasa menjadi sulit.
Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. karena itu, maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya diikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru “Lihatlah ngger, mungkin kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potongan-potongan besi semacam ini Ki Tambak Wedi menvoba menakut-nakuti lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak Wedi membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan bentuk senjata yang disukainya disamping nenggalanya seperti kepunyaan Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dear Mas Rizal,
Sehat dan baik-baik saja kan?
Wadoooou matur nuwun banget.
Obat rindunya sudah datang. Om Ubaid, Persik, Eyang Beno dllllllll hampir pada maboookkk

Apakah ada tanggapan atas usul dan saran teman-teman penggemar AdBM? Jago bener Mas Rizal ini sehingga, komentar di postingan terakhir kemarin panjang bener, dan jadi cerita menarik tersendiri.

Wassalam,
Julius - Tbt