Rabu, 21 Mei 2008

Api di Bukit Menoreh 48

Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita Aya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha menuntut keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang dikehendaki oleh Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda Lepen. Tidak tahu menahu tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya berkain rambutnya sendii, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang. Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan arya Penangsang dengan tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak. Anak itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya terbunuh. Mungkin ayahnya sedang berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini hanya ingin melepaskan dendam dihatinya.
Tetapi ia melihat semangat yang menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.
Tiba-tiba terluncur dari mulut Tohpati “Ibumu?”
Anak itu menggeleng. Jawabnya “Aku tidak tahu. Ibu telah lama pergi”
“Kemana?”
Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab “Ibu pergi dengan laki-laki lain”
Tohpati mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa ayahnyapun bertempur bukan karena cita-cita. Tetapi sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh keluarga yang buruk itu kemudian telah memaksa anak itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memancarkan dendam dihatinya.
Tiba-tiba Tohpati mendengar kawannya yang duduk disampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda. Tohpati sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia membentak “Kanapa kau tertawa?”
Orang yang tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. karena itu, maka ia menjadi ketakutan.
“Kenapa kau tertawa, he?” Tohpati mengulangi.
Sedemikian takutnya orang itu sehingga tanpa dapat berpikir ia menjawab “Anak itu tuan. Anak itu berbuat seperti laki-laki yang dikatakannya”
“He?” wajah Tohpati menjadi merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu “Apa yang telah kau lakukan?”
Anak muda itu menggigil seperti kawannya yang duduk disampingnya. “Tidak, todal tuan” katanya dengan gemetar. Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia memandang kaki Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu mengatakannya, dan kawannya itupun bukan main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
“Apa yang telah kau lakukan?” bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.
“Aku tidak apa-apa tuan” jawab anak muda itu terbata-bata.
“Apa yang sudah kau lakukan?” ulang Tohpati.
“Tidak ada tuan”
Sekali lagi Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan “Apa yang sudah kau lakukan?”
Tubuh anak muda itu menjadi semakin gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata “Aku hanya membalas sakit hatiku tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia”
“Apa yang telah kau lakukan terhadap perempuan?”
Laki-laki itu menjadi semakin ketakutan. Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab “Tidak apa-apa tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal”
Tohpati berpaling pada kata-kata yang duduk disampingnya. laki-laki itupun menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya “Apa yang sudah dilakukannya?”
Laki-laki itu menjadi gemetar. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata “Ia, ia membawa istri orang tuan”
Bukan main marah Tohpati mendengar jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan berkumis jarang yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba disabarkannya dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.
Tohpati mengangkat wajahnya. Apa yang dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah terjadi diantara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa anak buahnya pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya diperjalanan. Membunuh, menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi Tohpati menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan. Beberapa orangnya telah menjadi berputus asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda yang baru berumur delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukannya.
Tohpati itu menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Kenapa hal itu kau lakukan?”
Anak muda yang kurus pucat dan berkumis jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya kepada dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu tidak pernah merasa bahwa ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu sampai sekarang masih juga selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya.
Ia terkejut pula ketika mendengar Tohpati bertanya pula “Kenapa kau bawa perempuan iu. Dan apakah perempuan itu tidak ketakutan tinggal bersamamu diantara kawan-kawanmu?”
Laki-laki itu menggeleng “Ia senang tinggal bersama kami tuan”
“Oh” Tohpati mengelus kumisnya “Siapakah perempuan itu?”
Laki-laki itu ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya “Namanya Nyai Pinan”
“He?” sekali lagi Tohpati terkejut. Nyai Pinan. “Hem” Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.Kdh “Untunglah anak itu belum aku pukul kepalanya”
Tohpati itu tiba-tiba kehilangan kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai Pinan adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu. Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahu, bukanlah perempuan yang perlu disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah bahwa perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal diantara laskarnya, diantara laki-laki yang kasar dan keras.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih terbayang didalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu dahulu pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain diantara laskarnya.
“Gila. Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan”
Tohpati itupun kemudian langsung pergi kedalam gubugnya ditengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan dirinya diatas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram. Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada dekat-dekat disekitarnya, dan yang betebaran dibeberapa tempat yang lain. Laskar yang diperintahkannya untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
“Apakah hasil yang telah kucapai dengan itu” desahnya.
Dibayangkannya bahwa rakyatnya justru menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
“Tetapi bukankah itu yang aku kehendaki?”
Kata-kata itu dijawabnya sendiri “Ya. Kini ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam dihati, melepaskan kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil menenangkan dirinya dan melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”
Macan Kepatihan itu menggeram. Dengan serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya ketanah sambil berkata kepada dirinya sendiri “Gila. Kenapa aku bertemu dengan orang tua itu. Dengan orang yang mengatakan dirinya orang Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu bukan orang Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh. Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah berada ditengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan kembali.”
Macan Kepatihan itu tiba-tiba melangkah dan berjalan keluar. Diluar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya “Panggil Sanakeling.”
Sesaat kemudian Sanakeling telah berada didalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali timbullah pertanyaan memancar dari matanya.
“Apakah kita sudah benar-benar siap” bertanya Macan Kepatihan.
Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri, bahwa laskar Jipang telah ditarik sebagian besar kedalam hutan itu untuk melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang diperluakan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan baan makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnyapun pasti akan berkurang.
Meskipun demikian, maka Sanakeling itu menjawab “Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir kehilangan gairah untuk bertempur karena pertempuran tertunda-tunda.”
Tohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila mereka harus menunggu dan menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan setiap perintah.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tohpati menjawab “Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita kali ini akan berhasil.”
“Kita telah mengukur kekuatan mereka” sahut Sanakeling “kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada didalam Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah memperhitungkan kekuatan itu pula. Orang yang berhasil membunuh Plasa Ireng itupun telah kita perhitungkan. Tiga orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan melampaui kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan Alap-alap Jalatunda ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari mentaok akan mengawasi Alap-alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku, dan Untara adalah lawanmu. Terserah kepadamu, apakah perlu seseorng untuk membantumu, ataukah kau merasa bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang jumlah laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah banyak. Hanya untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu sehari. Sebab untuk mengurangi kesempatan, sebagian tersebar dibeberapa tempat.
“Bagus. Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”
Sanakeling mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata “Apakah kau bertanya sebenarnya?”
“Kenapa?”
“Apakah kali ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”
Macan Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.
Sesaat mereka berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata “Tinggalkan aku sendiri.”
Sanakeling mengangkat alisnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya. Pemimpin laskar Jipang itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu. Karena itulah Sanakeling menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan yang ada didalam dirinya, didalam tubuh laskarnya, apalagi dipucuk pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat dan dapat menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawan-lawannya. Menimbulkan kengerian dan ketakutan.
Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itupun segera memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu telah agak tua. Orang itu pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas. Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan yang jauh.
Orang tua itu berdebar-debar mendengar panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya. Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati memanggilnya.
“Duduklah paman Sumangkar.”
Orang yang telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu duduk disamping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih, ngger.”
“Kenapa paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?”
“Sumangkar mengerutkan alisnya yang hampir memutih. Jawabnya “Angger tidak pernah memanggil paman ini. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu angger.”Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta “Paman, aku akan memulai dengan sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?”
Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang garang itu bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka Sumangkar menjadi ragu-ragu.
“Bagaimana paman?” desak Tohpati.
Sumangkar menarik nafasnya dalam-dalam. Dikenangannya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang seperti pernah didengarnya dahulu.
Karena itu maka untuk sejenak Sumangkar menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula?
Karena Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya “Bagaimana paman?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya “Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”
“Kenapa? Bukankah paman memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan? Bukankah paman bekas seorang yang cukup dekat dengan paman Mantahun? Nah, bagaimanakah pendapat paman?”
“Akku adalah seorang yang telah berumur agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut pertimbangan didalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah angger pernah marah kepadaku karena aku tidak sependapat dengan angger?”
Tohpati menarik keningnya. Dipandanginya Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya. Dan karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
“Paman” berkata Tohpati “aku tahu paman adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang sukar dicari bandingnya. Kenapa paman berpikiran terlalu pendek. Kalau paman mempunyai tekad yang agak kuat didalam dada paman, maka paman akan dapat menyumabangkan tenaga paman dalam perjuangan ini. Tetapi selama ini paman lebih senang mendekam didapur sambil menghangatkan tubuh. Kenapa paman tidak lagi bersedia memandi tombak atau memegang gagang pedang?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya “Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa aku untuk berdiam diri.”
“Tetapi kenapa paman tidak pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”
Sumangkar mengangkat kepalanya sesaat. Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah sulitlnya. Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur “Raden, aku adalah hamba kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena umurku yang telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih Mantahun. Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut serta menyetujui tuntutan Arya Penansang kepada Pajang dan putra-putra Sultan trenggana yang lain. Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh angger Pangeran. Aku menyarankan agar angger melakukan tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan saudara-saudara sepupunya dengan cara yang telah ditempuh. Dengan demikian maka kawula Demak akan segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah ditempuhnya, dan aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda oleh arus perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang telah terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk menyeberang ke Pajang?”
Tohpati mendengarkan kata demi kata dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya Penangsang. Namun sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat dicapainya dengan perjuangannya itu?
Meskipun demikian Tohpati itu berkata tajam “Tetapi paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, paman ternyata menjadi seorang yang ditakuti digaris-garis perang. Namun kemudian paman tidak lebih dari seorang juru masak yang malas. Kenapa paman tidak mau bertempur seperti masa-masa lampau itu?”
Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi. Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka ia dapat berpikir dengan tenang. Dan dengan enang pula ia menjawab “Kalau aku turut dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku hanya akan memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat Jipang sendiri. Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak akan berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan dendam pada beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan membuat onar dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga cita-cita Arya Penangsang sendiri? Seandainya Arya Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang kira-kira akan dikerjakan? Memanjakan diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk membentuk Demak menurut seleranya? Nah, bandingkanlah dengan apa yang kau lakukan ngger. Dengan anak buah angger dan dengan seluruh perbuatan laskar Jipang ini”
Tohpati mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang tua yang dikumpainya disungai beberapa hari yang lampau. Kata-kata orang tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi Tohpati masih ingin meyakinkan dirinya “Paman, apakah dengan demikian kita tidak menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani menghadapi pahit getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah. Pantang menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan”
“Raden benar” sahut Sumangkar “Jangan menyerah kepada lawan.Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan membutakan diri atas kenyataan. Selama ini kita masih dihadapkan pada cit-cita, maka kita tidak akan berputus asa. Namun apabila kita menyakini kelemahan diri dan meyakini bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi, maka sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah semakin banyak dan korban itu tidak akan berarti apa-apa. Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan dendam dan sakit hati”
Tohpati tidak berkata apa-apa lagi. Ia kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan dikedua belah pihak tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah korban yang sia-sia.
Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati dengan angan-angannya dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. namun sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu menggeram “Apakah paman menyayangkan korban-korban itu?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
“Mati bagi prajurit adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah kemungkinan yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati magi seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan”
“Angger benar. Mati bagi aku dan bagi angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih dekat dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah mati bagi orang-orang Sangkal Putung, dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain disekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, disebelah barat Demak dan disudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar? Laskar Raden yang terpencar dan menyusup didaerah-daerah itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat didaerah itu dan laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati diantara laskar angger dan laskar Pajang adalah wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus peperangnan itu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan menurut bunyi disudut relung hatinya berkata “Bukan hanya mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah orang-orang yang tahu akan keadaannya. Ada diantara mereka yang hanya terlanjur terdorong oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi ada yang dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan yang kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat diluar peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau berpihak kepada musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung terus, maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.
Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang dihadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Tohpati berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia berdesis “Sudah hampir gelap”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap”
Tiba-tiba Tohpati berdiri. Beberapa langkah ia berjalan kesudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja putihnya yang tersangkut diatas pembaringannya. Sumangkar memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat Tohpati memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang wajar, maka Sumangkarpun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk kedalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala disamping dimulut pintu.
“Paman, aku ingin berjalan-jalan bersama paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.
Dada Sumangkar berdesir. Tidak pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengajaknya.
Banyak hal yang dapat terjadi kemudian. Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan itu ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah teka-teki yang tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menolak. Kalau Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak akan pergi berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya. Sumangkar adalah takaran dua tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari gurunya, Patih Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar dari laskarnya yang baru ditemukan oleh orang-orang Jipang sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit Jipang yang tersebar dimana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan baik. Mereka menyangka bahwa orang itu benar-benar seorang juru masak.
Ketika Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata “Paman, kita pergi berdua malam ini”
“Kemana ngger?”
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah tahu kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun demikian Tohpati itu menjawab “Paman pasti sudah tahu, kemana kita akan pergi dalam keadaan ini. Dimana laskarku sudah siap untuk menggempur Sangkal Putung”
“Oh, jadi kita melihat-lihat Sangkal Putung?”
“Ya”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan diri kedalam peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi semakin jauh daru bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada padanya sendiri.
Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu Sumangkar menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kepintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati itupun berjalan terus.
Dimuka gubug Sanakeling dan orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah kakang akan pergi?” bertanya Sanakeling.
“Ya” jawab Tohpati “Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung bersama paman Sumangkar”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Ia kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada masa-masa lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih senang menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur ditangannya. Membelah daing binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar.
Bagi Sanakeling, Sumangkar sekarang hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan. Sebab pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka Sanakeling itupun bertanya “Apakah kau tidak memerlukan orang lain?”
“Tidak” jawab Tohpati menggelengkan kepalanya.
Sanakeling tidak bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya, sehingga ia sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali kedalam biliknya, menjatuhkan dirinya disebuah bale-bale dan kembali meneruskan menikmati daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya keatas bale-bale sedang kakinya yang lain berjuntai kebawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling berkata tersendat-sendat “He, panggil Alap-alap kerdil digubugnya”
Seseorang yang brediri dimuka pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata “Panggil Alap-alap itu”
“Baik, baik Ki Lurah” jawab orang itu sambil berlari-lari kegubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan dihadapannya menuju ke gubug Alap-alap Jalatunda pula.

23 komentar:

rizal mengatakan...

Sahabats,
saya memang agak cemas menjawab pertanyaan2 tentang sudah berapa jauh retype ini, karena, dari 396 jilid lengkap (meski tidak selesai ceritanya...), posting ini baru sampai jilid 8 ...!!!!!
Saya yakin sahabats pasti menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menggaruk siku kiri yang ......
Oleh karena itu untuk sahabats penjaga hutan bukit Soeharto dan yang lainnya yang masih punya sisa2 buku ADBM apabila dapat menyisihkan waktu dan tenaga mendigitalkannya. Sedapatnya kirim saja ke saya biar saya satukan dg yg sudah dibuat.
Rencananya untuk setiap 10 jilid akan saya buatkan pdf nya lengkap dg cover dan ilustrasi dalamnya dan akan diposting. Buat koleksi kita semua ..... kayaknya asik ya.... JAdi kira2 akan jadi 40 jilid buku format baru
Selanjutnya, selamat bersabar lagi ya..... hehehe...terima kasih bgt atas semua doa2 nya dan salam hangat....

Unknown mengatakan...

Weeek!, keluar lagi 2 jilid..., gak sia2 tiap bbrp jam nengokin situsnya mas Rizal....

Kalo saya cumu bisa kasih komentar and doain aja, soalnya ga punya materinya, tapi kalo disuruh bantuin jadi tukang ketik, dengan senang hati saya siap sedia!

terimakasih sekali lagi mas Rizal....

Anonim mengatakan...

Makasih mas atas semua usahanya ini....salut dah.
saya sih agak bingung nih, kenapa ga di scan aja mas, trus pakai OCR. bisa lebih cepet dah. sayang nya saya di luar indonesia nih, coba masih di jakarta, pasti dah kubantu.
anyway,
makasih banyak....

Unknown mengatakan...

Akhirnya datang juga..
Trimakasih berat nih Mas Rizal

Anonim mengatakan...

Weh, belum sempat baca yang tadi pagi, udah nongol lagi dua! Bravo mas Rizal!

Kalau saya pribadi sih, tidak terlalu keberatan dengan kemajuan yang sedikit-sedikit.. ya itung-itung buat teman kerja.. wong waktu saya buat baca juga dikit.. jadi nggak masalah pelan-pelan.. yang penting lanjut terus....

haris widjanarko mengatakan...

OK, jos gandozzz

Anonim mengatakan...

TERIMA KASIH,,,, CERITA NYA BAGUS....... SAYA DARI MALAYSIA......... CERITA NAGASASRA SABUK INTEN JUGA SAYA UDAH HABIS BACA..... SEKARANG ADBP........ BAGUS BANGET......... HARAP DITERUSKAN....... iyalah di malaysia buku ini tiada di jual

Anonim mengatakan...

Mas Rizal, kalau tiap 10 jilid mau disatukan dan di pdf kan, saya bersedia bantu ngeproof. Soalnya saya lihat banyak hal yang secara gramatikal perlu dibetulkan. Yang paling banyak salah adalah pemakaian kata depan (bukan awalan) di dan ke. Juga penggunaan tanda kutip dalam dialog. Sebenarnya, sekaligus membaca, arsipku sudah saya proof. Kalau sewaktu2 diperlukan jangan sungkan.
Buat penjaga bukit suharto: sudah jelas sekarang posisi kita. Nah silakan discan, saya bisa bantu ngeproof. Kirim saja ke email saya. Saya tunggu (DHE2)

Anonim mengatakan...

Terima kasih Mas Rizal,

Thanks Berat.

Handoyo

Kang Edi mengatakan...

Mas Rizal, matur nuwun ya atas jerih payahnya. Mudah-mudahan bermanfaat buat semuanya.

Anonim mengatakan...

memang JOSS TENAN!
mas Rizal, rasanya saya berdosa if gak ikutan sibuk dng komunitas ini...mungkin dengan cara sewa n kmd saya scan, atau bgmn cara terbaik, ketemuan..? kapan..?
tapi yang jelas saya doakan semoga mas rizal selalu sehat, murah rezki dan lancar sgala urusan..Amien

Anonim mengatakan...

oh iya
saya perlu melontarkan pertanyaan dikiit ..terkait dengan visi dan misi mas rizal di atas..
terlepas mulianya jerih payah mas rizal untuk kita-kita ini dalam ikutan memetri karya sastra yg adiluhung, tapi bukankah perlu untuk sekedar beritahu atau izin dari penerbit KR di Jogja itu? brgkali ada yang ahli hukum ttg terbit-menerbit? bisa sumbang sarankan utk keperluan sesama? tq

Anonim mengatakan...

Betul juga Mas Herry Warsono, kita2 gak kepikiran sampe sono, kasihan Mas Rizal nanti kalo sampai ada tuntutan karena meyiarkan/mencetak ulang tanpa seijin penerbit.
Tolong deh teman2, gimana solusinya biar tidak dituduh membajak hasil karya Pak SH Mintarja, padahal kita sudah terlanjur cinta, sayang kalo diputus, bisa bunuh diri he..he

Anonim mengatakan...

mas bedhez yth
mungkin klo kategori membajak tidak la youw..kan oleh mas rizal dicantumkan dng jelas: judul dan nama pengarang, nama penerbit, gambar kulit dan gbr ilustrasinya, persoalannya (mungkin) penyebarluasannya yg melalui fasilitas "maya" ini. Tapi klo dipikir2, semua CERSIL jadul sejak Kho Ping Ho, Herman Pratikto (Bende Mataram) s/d sang Empu SH Mintardja (nagasasra-ADBM) sudah beredar melalui fasilitas yg sama..hayo piye? moga2 ada yang ngerti hukum ttg ini utk merapatkan barisan di blk mas Rizal..SETUJU?

Anonim mengatakan...

Soal hak cipta, mungkin masalah. Dan saya yakin kalo minta ijin KR gak akan dikasih. Tapi sepanjang kita masih di didunia maya, kayaknya gak mudah tuh melacaknya. Apalagi di Indonesia, belumlah. Maksudku mencari yg namanya BEDHEZ ENDHEZ seduania gak bakalan ketemu. Mungkin mereka, seperti juga kita, bisa menemukan blog ini, tapi menemukan fisik Mas Rizal??? Kalo para aparat itu betul-betul mau mberesin pembajakan kan lebih mudah mengganyang para pembajak video. Saya yakin para polisi kita belum mengenal dunia internet. Kalo nanti ada yang minta nutup, hentikan aja. Terus bikin blog dengan nama lain, dan dilanjutkan. Bahkan buku2 baru amerika/eropa yang memiliki kopi-rait, bisa ko ditemukan di internet. Bahkan gak perlu pake torent atau limewire! Jadi, jangan khawatir, gak apa2.
Hla kalo nyebarin video-audio scr ilegal, apalagi lagu2 barat, jangan deh.

Anonim mengatakan...

Setujuuu.. jalan terus Mas Rizal. kalo mo dilacak, lacak aja. Namanya aja dunia maya, tidak nyata alias remang2, hukum yang berlaku yaa hukum remang2, siapa yang dekat dan kepegang duluan, yaa itu yang kena. Saran saya gak usah pake ketemu en kenalan segala, bukan berarti memutus silaturohim, tapi saya jadi GR ntar ada yang ingin tahu siapa sih Bedhez Endhez? he..he

Anonim mengatakan...

Inilah namanya sahabat(s) meski di dunia maya tetap ada respon dengan intensitas tinggi n saling sharing..saya semakin yakin klu misi/visi mas Rizal tetap memperoleh tempat tersendiri di sudut hati terdalam.
Setuju juga untuk terus maju, wong sebgan besar pak/bu polisi malah banyak yg seneng baca ADBM, brgkali di musim demo mhs menuntut turunnya hrg BBM ini,ilmu kanuragan dari perguruan ki Tanumetir banyak bermanfaat adanya..sapa tau? he3x

Anonim mengatakan...

sblmnya numpang kenalan..Tapi maksud mas herry warsono benar..niat yang baik tentunya disertai usaha yang baik juga khan? Komunitas ini kan "non profit" jadi tidak berniat u/ merugikan semuanya..Apalagi ada misi mas rizal Cs utk meneruskan ke anak-cucu, tentunya jangan dengan cara remang2 biar kelak keturunan kita2 ini nggak remang2, meski lewat dunia maya khan bisa dengan etika baik2..gitu kan maksudnya mas herry? maaf yo..tapi saya jg setuju untuk terus laju, bravo mas Rizal n the gank..

Anonim mengatakan...

Wah masalah hak cipta jadi rame. Sebetulnya yang namanya hak cipta itu adalah budaya dan moral KAPITALIS. Dlm dunia kapitalis pengetahuan adalah milik pribadi. Orang lain yang kepingin tahu, silakan beli. Sedang kultur kita, sesungguhnya, bukan kapitalis. Kalo ada orang punya pengetahuan bikin tempe dan diumpetin dari masyarakat sekitar yang ingin mengetahuinya juga, maka ybs akan dijauhi tetangga. Memang, naga2nya budaya kita juga sedang bergerak ke arah kapitalis. Tapi, de jure, kita menolak tuh. Setidaknya itulah yang saya ingat dari pelajaran PMP dulu. Dari segi bisnis, ADBM juga tidak menarik karena begitu panjangnya cerita ini. Kata orang, seluruh jilid ditumpuk bisa sampe 1 meter. Harganya mencapai 2.5 jeti. Toko buku sebesar Gramedia (kalo dia jual) mungkin tidak bisa menjual satu dlm sebulan. Karena jarang sekali orang yang tertarik untuk membelinya. Tentu saja ada beberapa orang atau kolektor yang mampu. Tapi saya yakin mereka ini adalah golongan yg tidak terpengaruh oleh web ini.
Jadi, menurut saya jalan terus Mas Rizal. Sepanjang gak ada yang protes berarti gak ada yang merasa dirugikan. Kalo yang empunya protes, nah hentikan saja. Jangan kuatir, sebentar kemudian akan muncul blog lain yang melanjutkannya. Ibarat kata mati 1 tumbuh 10 aja (gak perlu sampe 1000). Buwat Mas Rizal, tetap semangat! Saya di belakang Anda.

Anonim mengatakan...

Benur mas.....benar dan betul....niat mas rizal..adalah ikhlas....kenapa tidak didukung.....semangat terus mas rizal......

salam
Taufik1crb@yahoo.com

Anonim mengatakan...

waduh... semuanya kok pada ribet soal hak cipta, gak ada yang ngingetin mas Rizal, "..ADBM 49 nya mannnaaa..." maaf mas Rizal, gak memper kesusu panjenengan, tapi sudah gak tahan nich!
TQ berat mas Rizal

Anonim mengatakan...

Sahabats Rizal
cersil beberapa waktu silam itu tenggelam, persewaan2 buku udah pada tutup atau ganti jenis yang disewakan. Di penerbitnya sekarang buku2 itupun dah nggak ada jadi solusinya kayak begini ini. Tapi gini2 aku juga punya Hardcopy Asli warisan dari Babe beberapa buku dan mungkin nanti aku akan bantu 1 atau 2 buku aja. Lanjut deh sahabats.

Anonim mengatakan...

Sahabats rizal
mungkin bisa dibikin kaya di langka.info dulu yaitu dibuat daftar no s.d. 396, kemudian dermawan yang mau nyumbang disuruh milih nomor berapa ndaftarnya dengan email tentunya kemudian nomer yang sudah dipesen dikasih merah-merah biar pada tahu kalau udah dipesen. Mungkin aja aku juga akan ikut nyumbang