Rabu, 21 Mei 2008

Api di Bukit Menoreh 47

“Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, apakah mereka benar-benar hanya berlima?”
“Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.
“Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang”
Swandaru menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat berlari ketebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh. Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang. Bahkan disudut-sudut desa dikejauhan masih mungkin pula berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan disekitarnya.
Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Ya, Kiai benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi”
“Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian menghadapi sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung Sedayu bertanya pula “Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu bohong belaka? Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat sedemikian kasarnya terhadap penduduk?”
“Tentu tidak ngger”
“Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk”
Ki Tanu Metir tersenyum. “Namun dengan demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan tombak, namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari penduduk disekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat penting. Angger Untara dan angger Widura harus segera mengetahuinya pula”
Kembali Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut pertimbangan yang semasak-masaknya.
Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu berkata pula “Nah ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun apabila mereka kemudian berbicara diantara mereka, dan diketemukannya persoalan-persoalan yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita segera menyingkir”
Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab “Marilah Kiai”
Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu kebatu yang lain. Namun kali ini ia berkata “Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat. Cara inipun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari”
Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling kedalam air. Kini ia dapat memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian sekali-sekali ia masih juga harus terjun kedalam air, meskipun tidak terpelanting jatuh.
Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah senjatapun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir. Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itupun pasti akan dapat diatasinya.
Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai disekitar tanah persawahan yang sedang digarap, maka merekapun segera berhenti. Mereka kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal Putung.
Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah sangat menggelikan. “Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”
Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab “Mandi”
“Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kaian dan kamus timang segala?”
“Ya”
“Tanpa membuka baju dan kain panjang?”
”Aku tejatuh, tahu” potong Swandaru.
“Bertiga?”
“Ya, bertiga. Kami berjatuhan kedalam sungai”
Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka bersama berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang akan sampai dibelakang rumah Swandaru Geni.
Ketika mereka naik pinggiran susukan itu, maka Swandaru itupun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu regol itu. Namun tidak seorangpun yang mendengarnya.
“Gila orang-orang Sangkal Putung” desahnya.
“Marilah kita lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu.
“Tidak mau” jawab Swandaru “Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita”
“Lalu bagaimana?”
Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu diluar regol halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat keatas. Kemudian dengan susah payah ia mencoba menggapai dinding halaman. namun ternyata ia tidak berhasil.
“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menggeleng “Sulit” desahnya.
“Turunlah, biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu.
“Huh. Sejak kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir kau lebih pandai daripadaku?”
“Aku hanya akan mencoba” jawab Agung Sedayu.
Swandaru itupun kemudian meloncat turun. Kini Agung Sedayulah yang mencobanya. Namun iapun tidak juga berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon randu itu tersenyum. Kemudian katanya “Turunlah ngger. Biarlah aku mencoba pula”
Agung Sedayupun turun pula dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran pula didalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat
Namun ternyata orang tua itupun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang randu itu dan melenting hinggap diatas dinding halaman yang cukup tinggi itu.
Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah.
Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat dan menghilang dibelakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding itupun terbuka “Masuklah” berkata orang tua itu.
Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun didalam kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya barulah sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi semakin mantap berguru kepadanya.
Jauh dari padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya. rombongannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada duapuluh orang. Tidak banyak diantara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisik-bisik diantara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri.
Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu Metir “Ya” gumamnya didalam hati “Berapa tahun pertempuran ini akan berakhir?”
Tohpati itupun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti otak mereka yang kosong pula.
“Apakah kepentingan mereka bertempur?” desis Tohpati didalam hatinya “Apakah mereka tahu juga, bahwa kami sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati Jipang?”
Tohpati itupun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya “Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua ditengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat mencapai apa yang sejak semula mereka perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat duduk diatas singgasana.
Macan Kepatihan itu berdesah didalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang tidak tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan kunjung habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui tentang Arya Penangsang dan tuntutan-tuntutannya?
Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat “Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol”
Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya “Kenapa?”
Macan Kepatihan menggeram dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia mengulangi kata-katanya “Orang tua ditengah sungai itu benar-benar bukan orang bodoh”Sanakeling mengangkat alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik pada orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah orang Pajanglah yang selalu datang kepadesannya dan merampas beras. Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi akan memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka lihat dan mereka ketahui.
Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata “Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan orang tua itu”
“Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.
Macan Kepatihan menggeleng “Aku tidak tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh didalam hatiku. Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti bukanlah kebetulan kalau mereka berada ditempat itu disiang hari begini”
Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian menjadi suram.
“Apakah kita akan kembali lagi kesungi itu untuk meyakinkan diri?”
Tohpati menggeleng “Tidak ada gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka basah kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian didalam hati mereka. Mereka duduk terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan sesuatu didalam tubuhnya, sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya”
“Dimana?”
Macan Kepatihan berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan, seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak “Gila!. Kita tidak saja bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kaut tidak mempunyai mata lagi he?”
Sanakeling menjadi bertambah heran “Apa yang telah kau lihat?”
“Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah dilapangan dekat banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang diantara anak-anak muda Sangkal Putung?”
Sanakeling mengerutkan keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya iapun tersentak sambil berkata “Ya, ya. Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi”
“Hem” Tohpati menggeram, namun kemudian ia berkata “Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang”
“Tetapi mereka kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula”
“Ya. Tetapi Untara akan melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung”
Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Marilah kita kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada ditempat itu”
Tohpati menggeleng, katanya “Mereka bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti sudah pergi”
Sanakeling tidak menjawab. dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri “Apakah ia benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”
Dan kembali beberapa pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores dinding hatinya “Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal Putung? Makan. Itu saja?”
Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain bermunculan pula didalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyulitkannya. Apakah ia untuk seterusnya akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya? “Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila kami tetap bertahan dikademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian? Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?”
“Menjemukan” desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan serta-merta ia bertanya “Apa yang menjemukan?”
Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri.
Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya “Apakah yang menjemukan he?”
Tohpati menjawab sekenanya “Widura dan Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan segala macam isinya”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun demikian ia menjawab “Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada ditempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan keutara”
“Aku tidak peduli”
“Masih harus dipertimbangkan” sahut Sanakeling. “Aku tidak mau membunuh diri”
“Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini”
“Jangan kehilangan perhitungan”
Tohpati tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah Macan Kepatihan itu kemudian “Kau tidak sependapat?”
“Berbahaya sekali”
“Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”
“Tiga empat hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar kita yang betembaran disisi utara Pajang. Kekuatan itu akan dipusatkan disini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau telah berhasil disini, maka kau akan membawa seluruh barisan keutara dan melepaskan beberapa kepentingan diselatan. Kalau keadaan diutara menjadi lebih baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan landasan daerah utara. Bukankah begitu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata “Ya. Aku pernah berkata demikian”
“Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”
“Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini seluruh pasukan harus disiapkan”
“Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu”
“Ya, kau benar. Mari kita kembali”
Tohpati tidak menunggu jawaban Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali
kesarangnya. Sanakeling berjalan dibelakangnya bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya “Kenapa dengan Macan Kepatihan itu?”
Sanakeling menggeleng. Entahlah. Mungkin orang tua ditengah-tengah kali yang dijumpainya tadi membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan”
“Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat kakang?”
“Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja disamping Sanakeling. Didalam hatinya ia bergumam “Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan menjadi semakin tercerai berai”
Tetapi orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung meskipun Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu sebaik. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu didalam pertempuran yang terjadi
Karena itulah maka kini Macan Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yan semakin hari tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang tuapun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak akan mengecewakan.
Demikianlah ketika Macan Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal Putung, maka Sangkal Putungpun sedang giat menempa dirinya.
Sementara itu Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka kini tidak lagi berlatih disungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang tertutup dibelakang kademangan, atau ditempat lain yang telah disediakan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke gunung Gowok. Ditempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititi-beratkan pada Swandaru. Anak yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa.
Semakin hati luka Untarapun menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi. Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan diminumnya setiap hari, maka kesehatannyapun telah benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya, ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya kembali.
Dihari-hari terakhir, Untara telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi setelah lewat tiga hari dari peristiwa dipinggir kali itu, Tohpati ternyata belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepada Tohpati telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak.
Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung.
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu.
Tetapi tak seorangpun yang tahu, apakah yang telah bergolak didalam dada Tohpati. Seorang senapati yang tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin yang mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan. Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi bingung tak bernafsu.
Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda. Namun sampai sedemikian jauh, belum ada diantara mereka yang berani menanyakannya.
Meskipun laskar Jipang kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun seluruh sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul dihutan-hutan disebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari seorang laskarnya keorang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kelaskarannya.
Beberapa orang anggota laskarnya menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam banyak persoalan.
Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja Tohpati telah berdiri disampingnya sambil bertanya “He, apa kerjamu?”
Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi “Apa kerjamu?”
Terbata-bata orang itu menjawab “Duduk tuan, aku hanya duduk saja”
Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula “Berapa umurmu?”
Delapan belas tahun, tuan”
“He?” Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi pertanyaannya “Umurmu berapa?”
Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab “Delapan belas tahun tua. Benar-benar delapan belas tahun”
Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata “Kau masih sangat muda. Apakah kau masih mempunyai ayah dan ibu?”
Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itupun menjadi suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara parau ia menjawab “Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan yang lampau”
“Kenapa? Bertanya Tohpati “Siapakah yang membunuhnya?”
“Ayah terbunuh ketika laskar Pajang memasuki padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung tombak orang Pajang telah menyobek dadanya”
“Oh” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya “Sekarang apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”
“Tentu tuan. Aku harus membalas dendam yang membara dihati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus dapat menebus kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang”

7 komentar:

Anonim mengatakan...

no 47 sd 53, mengapa menjadi satu?

Thomas Prasasti mengatakan...

Trimakasih Bung Rizal atas tenaganya mendaur ulang cerita ini. Saya sempat kehilangan cerita ini di pertengahan, dan tidak tahu harus mencari terusan ceritanya dimana. Semoga Bung tetap memposting "karya daur ulang" ini, dan menyebarkan nilai-nilai cerita & nilai-nilai "karya" Bung sendiri. God Bless

Anonim mengatakan...

Kapan mas ada postingan baru?
ga sabar nih...
makasih buat Mas Rizal
smoga jaya slalu

Anonim mengatakan...

Mas Rizal...
saking senenngnya sama ini cerita
aku baca dari awal sampai akhir posting dalam waktu satu hari satu malam, sampe ga tidur.
bravo buat Mas Rizal

aulia mengatakan...

terima kasih banyak buat mas rizal. semoga ALLAH membahagiakan mas rizal seperti mas yg telah membahagiakan para penggemar cersil jawa. saya tunggu edisi selanjutnya. wassalam..

Anonim mengatakan...

Luar Biasa ...
Saya sudah lama sekali mencari Api Dibukit Menoreh ini.
Kapan Bung Rizal akan melanjutkan seri berikutnya ...

IMGO mengatakan...

Gak berlanjut lagi mas?