Kamis, 03 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 13


“Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura.
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu. “Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya “Apakah kau yang menamakan dirimu Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju sambil berkata “Benarkah kau Kiai Gringsing yang diBulak Dawa itu?”
Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing”
Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula di dukuh Pakuwon. Maka katanya “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing. Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok”
Kiai Gringsing menggeleng, katanya “Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia murid yang cukup baik”
“Ah” desah Agung Sedayu. “Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal dihari-hari mendatang”
Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya “Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa”
“Itu adalah pamanku” Agung Sedayu mengulangi. Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong “Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itupun pernah juga belajar selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk menyempurnakan”
Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung karenanya. Maka katanya “Kiai, hidup matiku disini tergantung kepada paman. Jangan mempersulit keadaanku”
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran, karena namanyapun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata “Baiklah Kiai Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian, aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah Untara dam Ki Tanu Metir? Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku. Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu”
Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya “Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi salah seorang tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang tukang obat dari dukuh Pakuwon?”
“Jangan berpura-pura” potong Widura , “Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya”.
“He” Kiai Gringsing terkejut. “Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti Agung Sedayu “ Sahut Widura . Tetapi Kiai Gringsing itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya “Hem, tentu. Baru beberapa hari kau menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya”
Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula “Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara sekarang?”
“Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang”
“Jangan bohong” potong Widura, ”Pada malam Untara hilang kau berada dirumah Ki Tanu Metir”
“He” Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayupun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu Kiai Gringsing berada dirumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing pun bertanya “Siapa yang berkata demikian?”
“Aku” jawab Widura.
“Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh”
“Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?”
“Ya”
“Dari mana kau dapat kuda itu?”
“Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?”
“Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal Putung. Disepanjang jalan tak ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.”
Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya “Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol halaman sepanjang jalan?”
Widura menarik nafas “Memang mungkin” sahutnya “Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta tunjukkan anak itu.”
“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu.” Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya “Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat, siapakah kau sebenarnya”.
“He” kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang tegang.
“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?”
“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang.”
“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?”
“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata “Sedayu, apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Widura “Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal.”
“Sedayu” berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan “Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing itupun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang. Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit. “Kenapa kau kejar-kejar aku?”
Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak “Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh.”
“Jangan tangkap aku” katanya.
“Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.”
“Paman” potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas.
Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang Widura langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itupun kini tidak berlari-lari lagi.
Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata “Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang aku?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya.
Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula “Widura, kalau kau marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku.”
Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui dimana Untara dan Ki Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali siapakah sebenarnya orang yang bertopeng itu.
Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu.
Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing.
Akhirnya Kiai Gringsingpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat. Karena itu sekali lagi ia berkata “ Widura, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab Widura.
“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu” minta Kiai Gringsing.
Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram “Baiklah. Kau ingin mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak yang akan aku pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap Jalatunda.”
Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Kiai Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang kesegenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing “Widura, apakah kau akan membunuh aku?”
“Tidak” sahut Widura. “Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu”
“Kenapa dengan pedang?”
“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. “Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu, sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
“Gila” umpat Widura didalam hatinya. “Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”
Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya kedada Kiai Gringsing. Katanya “Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”
Kiai Gringsing masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya.
Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa “Sedayu, apakah orang ini sudah kauajari memegang senjata?”
Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk. Karena itu Widura itupun menggeram “Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan menyesal”
Hem” Kiai Gringsing menarik nafas “Kau benar-benar marah Widura?”
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya Widura pun menjadi bingung memandang kedirinya sendiri. Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika ia melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba saja ia menggeleng “Tidak” jawabnya. “Aku tidak sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena itu adalah salah satu dari kewajibanku pula”
“Baik” sahut Kiai Gringsing “Aku senang bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata ditangan orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita bertempur tanpa kemarahan dihati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. Dan senjata ditangan kita akan menjadi kabur kegunaannya”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu”
Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan Widura “Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti. Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah, apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan”
“Jangan mengigau, bersiaplah!” bentak Widura.
“Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa kemarahan dihati?”
Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir., tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya mengarah kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar akan menghunjam kedadanya. Tetapi justru karena itu, Widura segera menarik serangannya dan berteriak “Hei Kiai. Apakah kau sedang membunuh diri?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak bersenjata?”
“Oh” Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira tamtama yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya harus berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan dan kejujuran.
“Ambillah senjatamu” teriak Widura jengkel.
“Bagus” jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannyapun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya. Cambuk kuda.
“Gila” geram Widura. “Adakah itu senjatamu?”
“Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah”
Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya.
“Widura” berkata Kiai Gringsing pula “Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku memegangnya ditengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu”
Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan gerak naluriah, pedangnyapun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring “Nah, kau dapat aku kenai Widura”
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing senjatamu atau seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti. “Ah” gumamnya “Ia hanya ingin mencari persamaan” pikirnya. “Tetapi” katanya pula didalam hatinya, “Kenapa ia sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?”
Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil berteriak “Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya”
Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai Gringsing dengan cambuk kuda ditangan, dan pamannya dengan sebuah pedang yang menakutkan.
Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh Widura tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha sepenuh tenaga.
Karena itu, maka getar didalam dada Widurapun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui dimana Untara berada. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka pedangnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga.
Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura sehingga pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata yang berbahaya.
Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Sedayupun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya didalam hati.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya.
Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandangnyapun menjadi semakin garang. Gerak pedangnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu.
Kini Widuralah yang mendesak maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit dibelakangnya.
Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur kearah Kiai Gringsing. Widura yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.
Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga iapun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Agung Sedayu itupun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Katanya “Ah, tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu” (bersambung)

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Salut deh sama mas rizal. postingan api bukit menoreh ini sampai muncul di web lain misal dimhad.web, atau ebook.planindo, dll.
Thanks Mas Rizal

Anonim mengatakan...

Cool!! Ini dia yang kita tunggu-tunggu... bravo mas Rizal!

Anonim mengatakan...

salut mas.. sampe kebawa mimpi nungguinnya ...

Anonim mengatakan...

Hehehe teman-teman semua....
mohon maaf agak lelet postingnya bulan desember kemarin krn closing akhir tahun, maklumlah orang rendahan. Tetapi sungguh saya senang sekali membaca komentar teman-teman, seperti minuman suplemen......
Oya, sekalian saya mengucapkan selamat tahun baru 2008, semoga ditahun ini semua bertambah sukses, amin....

Anonim mengatakan...

mas ,lanjut nya mana? sudah ga tahan niiiiihhh

haris widjanarko mengatakan...

wah aku salut deh ama mas, aku tunggu terus kelanjutannya, sampai kapanpun ........ "I miss api di bukit menoreh"

Anonim mengatakan...

Wah..kagak ngira bisa nemu api di bukit menoreh. Seneng banget nih. Makasih ya mas Rizal. aku tunggu lanjutannya ya..

Anonim mengatakan...

wah, lagi capek ya mas. nunggu seri 61 sampe kaya udunen. kok mboten medhal-medhal to mas Rizal. Thanks buat mas Rizal yang telah mau berbagi. Met puasa bagi semua yang sedang menjalankan.

Anonim mengatakan...

agung sedayuuu bertapanya kok luaaamaa buangeet siih..