Kamis, 24 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 16


Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil tersenyum “Marilah kakang Sidanti”
Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia berkata “Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya lantang “Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?”
Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata “apakah kepadamu aku harus memberi peringatan?”
Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau penukur. Namun gelora didadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran. “Jangan lekas marah kakang Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya.
“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak senang melihat pergaulan kalian”
Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi Sekar Mirahlah yang menjawab lantang “Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas berbuat apapun dihalaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?”
Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan Sedayupun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya ia berkata “Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya”
Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya “Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini halamanku”
Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya “Sedayu. Aku dengar kau adalah seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan”
Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi dihadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab “Sidanti. Apakah keuntungan kita berbuat demikian?”
“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti.
Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya sampai setengah mati?
Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah.
Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapapun orang bersabar hati, namun bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan.
Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak menguntungkan siapapun juga, selain laskar Tohpati”
Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring disudut rumah “Siapa yang ribut?”
Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan adiknya Sekar Mirah.
“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya“ jawabnya. Sidanti terkejut mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan “Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti sendiri”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus “Ia mengancamku. Nah, apakah haknya?”
Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh “Jangan hiraukan Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun pagi”
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah “Kau setan, Sidanti”
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti, Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati “Celaka. Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan imbul pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada Agung Sedayu “Apa yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-katanya Swandaru “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir terlepas”
Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah “Berdirilah Swandaru” berkata Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus “Tangan kakang Sidanti benar-benar seberat timah”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jauh.
“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali Widura bertanya “Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka jawabnya dengan dada tengadah “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun menjadi berdebar-debar pula. Katanya “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi diantara anak buahku sendiri”
“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan kakang disini”
Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya “Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata “Ada hakku untuk berbuat atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini”
Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang berdiri disamping Citra Gati berbisik “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”
Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya mengambil keputusan yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang disekitar Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata “Aku perintahkan kalian kembali kependapa”
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini”
“Kau dengar perintahku” ulang Widura.
Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata “Sidanti, aku perintahkan kau kembali kependapa”
“Aku disini” jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata lantang “Sidanti, untuk terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa”
Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin melampauinya” katanya didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi. Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa.
Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya “Kembali kependapa”
Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu “Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya didalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku akan minta maaf kepadanya”
Swandaru tersenyum meskipun masam “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak muda disini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat ayahmu” sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram didalam hatinya “Awas Sidanti, suatu ketika aku harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, adalah sorang anak jantan”
Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia duduk saja sambil menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya menjadi berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula “Bukankah aku pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa dengan gadis itu”
“Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga dirimu sendiri”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh didalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana “Atau ke Banyu Asri?” kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, mereka duduk-duduk disamping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak ditempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya “Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu terasa aneh bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini.”
“Berkatalah sekarang” sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah. Diregolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.
“Baiklah kakang” berkata Sidanti “Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku”
Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti sempat berkata terus “Aku bersedia memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya “Tidak. Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus “Kakang, agaknya kurang bijaksana. Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan laskar Jipang”
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas “Tidak. Perkelahian diantara kita sama sekali tak akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan “Kakang, apakah sebenarnya kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata “Jangan mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian berdua akan terpaksa mengalami hukuman”
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya “Hem, kakang Widura. Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”
Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata “Aku mempunyai kekuasaan disini Sidanti”
Sidanti masih tersenyum. Katanya “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Maka katanya “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata “Kakang, aku ingin berbicara tanpa seorangpun yang melihat”
“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya “Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, berjalan kependapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya anak buahnya berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak ditangan.
“Apapun yang terjadi” katanya didalam hati “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan kewibawaan”
“Tetapi” terdengar pula suara yang lain “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri “Aku harus tetap pada keputusanku, keputusan seorang pimpinan prajurit”
Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para penjaga ia bertanya “Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami” (bersambung)

Tidak ada komentar: