Kamis, 24 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 15

Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga disepanjang jalan pulang, Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu sendang mendengarnya.
Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya dipringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya “Mirah” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung” jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Mirah, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya”
Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu dengan Sedayu dijalan, dan aku antarkan ia kewarung diujung desa”
Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya”
Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang “Apakah hakmu?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja kebelakang rumah dan lenyap dibalik pepohonan yang rapat.
Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda itupun tak pernah menyakiti hatinya.
Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk menyiapkan makan pagi.
“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya.
“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu segera diserahkannya kepada ibunya.
“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya.
“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?”
“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk dimuka api.
“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. Apapun tidak menyenangkan mereka”
“Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak dihadapanku”
Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya “Bibi, siapakah yang membelikan lurik abang itu?”
“Oh, oh” orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab “Aku tidak pernah minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini”
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia mendengar orang membentaknya “Kau baru datang Mirah?”
Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. “He, kau baru datang?” desak kakaknya.
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya.
“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak.
Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan sendirinya.
Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang ditangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya.
Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya.
Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa saat berselang. “Mirah” katanya “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaannya itu”
Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu karenanya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Bukankah aku mengagumi Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi kebiliknya.
“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. Katanya “Tidak panas Mirah”
Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri didalam biliknya. Pesannya “Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah”
Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening.
Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik bukit-bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi.
Demikian lah kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula berkeliling kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung Gowok.
Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja terloncat pertanyaannya “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?”
“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga Untara tidak usah terluka karenanya.”
Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga dihatinya, setiap kali ai melihat perkelahian, timbul juga kata-kata dihatinya “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”. Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara dan kini Widura.
“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah juga berlatih dengan pedang?”
Sedayu mengangguk. “Pernah” jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan kakang Untarapun pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak”
“Aneh. Aneh” gumam Widura.
“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu.
“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan”
Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya keneraka ini?
“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun kau simpan didalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani melampaui batas itu, batas antara ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar mengagumkan. Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan dengan bahaya apapun”.
Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. Dan hatinya sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi. “Hem” Sedayu menarik nafas. Katanya didalam hati “Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan kedamaian. Lahir dan batin.
Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri.
Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. Karena itu, iapun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil membingungkannya karena kecepatannya.
Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka iapun menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu.
“Suatu ketika” katanya didalam hati “Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri”
Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun berusaha untuk mengimbanginya.
Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu terdorong beberapa langkah pula.
“Luar biasa” desis pamannya. “Kekuatanmupun luar biasa”
Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya “Bukankah bibi dahulu selalu memberiku pekerjaan itu?”
“He” pamannya mengerutkan keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya.
“Membelah kayu” jawab Sedayu.
“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain”
“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan diatas tangan dengan kaki diatas. Kemudian bermain-main dengan pasir ditepian”
“Permainan apakah itu?”
“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari”
“Oh” Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh “Jiwanya. Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memeberinya bekal”
Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura menyapanya “Selamat malam Kiai”
“Oh” jawabnya “Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?”
“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. Karena itu katanya “Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah mencoba mempercepat latihan-latihanku”
Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian “Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu”
“Bagus” sahut Widura. “Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi”
Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung menyerang.
“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya. “Luar biasa” katanya nyaring “Seranganmu bertambah cepat”
Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing.
Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap baginya, namun firasatnya berkata “Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir”
Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan ilmunya, sebab Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan perkelahian itu dengan tekad “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan menuntunku”
Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya.
Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh.
Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir diantara mereka. Bahkan apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya.
Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam digunung Gowok itu. Yang dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan. Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak didadanya.
Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Sidanti. “Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”
Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap didalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah duduk dihalaman bersama dengan Agung Sedayu.
Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka Sekar Mirahlah yang pergi mencarinya.
Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya.
“Sedayu” berkata pamannya kepada kemenakannya itu “Kau harus dapat memperhitungkan segenap perbuatanmu disini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau berani menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja berkeliaran disana-sini”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apapun yag akan terjadi. Bukankah ia mampu pula menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya dipringgitan.
Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Kebelakang, kepadasan, untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya.
“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding dibelakang rumah “Dari manakah tuan?”
“Dari sumur Mirah”
“Ah” jawab gadis itu “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu”
“Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar paman Widura itupun bukan. Aku disini seorang diri”
Sekar Mirah tertawa. Jawabnya “Tuan seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?”
Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya “Jangan memperkecil arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.”
“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?”
“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun dihatinya terdengar kata-katanya sambil meneruskan “Apalagi seorang diri. Sepasukanpun tidak mungkin” namun kata-kata itu disekapnya jauh-jauh disudut dadanya.
Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak habis-habisnya. Tak putus-putusnya.
“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung kembali?” bertanya Sekar Mirah.
Agung Sedayu menggeleng. “Lain kali Mirah”
“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?”
Agung Sedayu menggeleng kembali. “Lain kali saja Mirah”
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa sikap Agung Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan?
Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti. (bersambung)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jadi penasaran Mas Rizal. Apa akan semua jilid diretype? Atau, kapan kira-kira akan selesai? Tapi ngga papa, Mas. Dulu juga versi cetaknya harus menunggu satu bulan dari seri ke seri. Salut, Mas.