Jumat, 25 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 17

Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan menyulitkannya.
Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”
Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan Sidanti itu kakang?”
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak apa-apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang sombong itu”
“Tenaganya kita perlukan disini” sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya? Karena itu ia bertanya “Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak menyenangkan”
“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Jangan. Dengan demikian dendam diantara kalian akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka hidung kita. Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika mereka akan berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula “Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena perempuan”
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara, mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.
“Silakan kakang” sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih “Marilah bapak Demang”
“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita masih sempat ditanami”
“Oh “ sahut Widura sambil duduk pula “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal”
“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku”
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”
“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat, kalau adi menyetujui”
“Bagaimana?”
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”
“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya”
Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat”
Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi ketika pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada ditempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali kepringgitan. Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu “Kau tinggal dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia bertanya “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah keluar. Katanya dalam hati “Biarlah anak itu aku tunggu diregol halaman”
Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan apapun alasannya”
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya “Dimanakah kakang Widura?”
“Diluar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya “Kakang Widura tidak disini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata “Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri”
Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab “Demikianlah”
“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula “Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu “Sidanti, aku menunggumu disini”
“Oh” sahut Sidanti “Aku sedang mencari kakang”
“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram “Baik kakang Widura”. Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum “Terima kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu”
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding diatas pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura “Marilah kakang”
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia berkata “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”
“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya “Aneh”
“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang dibawanya”
“Akupun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula. “Siang tadi aku melihat Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka”
Semua orang berpaling kepadanya “apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya
“Terlalu kabur” jawab Sendawa “Tetapi prasangka yang jelek”
Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu meneruskan “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”
“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan diantara kita”
Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa disengajanya ia bergumam “Anak muda itu benar-benar anak setan”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa
“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti”
“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu”
“Kau bersetuju dulu dengan mereka”
“Bagus” Sendawa berhenti sebentar “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”
Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali kependapa diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan nyenyaknya mendengkur disamping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman, mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau mendapat giliran”
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya “Baik kakang. Kemana kita akan pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan disampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah.
Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya “Kita berhenti disini kakang”
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak disekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura berkata “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”
Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya “Aku ingin minta ijin itu kakang”
“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”
“Ya”
“Sudah aku jawab”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Kakang tidak berhak melarang”
“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu”
“Nah” sahut Sidanti “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya “Terserah atas penilaiannmu Sidanti”
“Apakah bukan sebenarnya demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan didalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula didalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”
“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya “Apakah aku salah duga?”
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya “Jawab”
“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata “Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata “Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan bersama”
Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya “Aku akan memaksakan kehendakku”
“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”
Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata “Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan selalu terjadi”
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata “Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti lantang “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung”
“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.
“Omong kosong!” bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata “Sekarang bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”
“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata “Aku akan mulai kakang”
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah” (bersambung)

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Rizal, lanjutannya dong....
Makasih.

thaphe mengatakan...

Saya mengucapkan banyak terima kasih untuk mas Rizal(kayak nama saya) yang telah meluangkan waktu untuk menulis kembali " Api Di Bukit Menoreh ". Dilanjut ya mas, semoga Tuhan membalas kebaikan mas Rizal

f.novia mengatakan...

semangat koy!!

Anonim mengatakan...

Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Mas Rizal, pokoknya tiap hari akan saya tengok, masih ada Api yang menyusul nggak ? Mudah2an Mas Rizal senantiasa dalam lindungan-Nya sehingga bisa melanjutkan tulisannya. Wass.