Senin, 07 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 14


“Setan” terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.
“Jangan main-main kiai” geram Widura dengan wajah yang membara “Aku dapat bertempur tanpa pedang”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing “Cabutlah pedangmu. Aku menunggu”
Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat didalam hatinya. Ternyata pedang yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya.
Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata “Minggirlah, coba apakah aku mampu mencabutnya”
Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia melangkah kesamping dan memberi kesempatan kepada orang bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa Widura menjadi heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkann hampir saja ia tergelincir jatuh.
“Hem” orang bertopeng itu menarik nafas “Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum. Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?”
Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.
“Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus” Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing itu berkata “Sedayu, kau harus bekerja lebih berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya. Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang disini? Apabila Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan berkurang”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus? Tetapi Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata “Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu”
Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya.
Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan dihatinya “Orang aneh” gumamnya.
Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya “Orang aneh. Ya, memang orang itu orang yang aneh”
Widura menarik nafas panjang. Katanya “Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula aku merasa ia menghinaku” Widura berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan “Namun agaknya ada sesuatu maksud tersimpan dibalik sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-sungguh itu”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata “Bukankah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari gurunya yang dahsyat itu?”
“Ya” Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Kiai Gringsing lenyap dibalik batang-batang ilalang.
“Sedayu” berkata Widura kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau yang mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun demikian setiap malam kita datang ketempat ini”
Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju kademangan Sangkal Putung.
Hampir disepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan oleh angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing “Sidanti berlatih terus”
“Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik” katanya didalam hati. “Semoga ia berlatih untuk menghadapi Macan Kepatihan”. Namun Widura itu beragu. Sikap anak muda itu memang kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada kemenakannya yang berjalan menunduk disampingnya “Sayang” gumamnya didalam hati. “Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu, apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling memuakkan dikademangan ini. “Tetapi aneh” berkata Widura seterusnya didalam hati “Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-alap Jalatunda dan kini ia hadir pula dilapangan sempit itu”
Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri. Timbullah didalam angan-angannya keinginan yang besar untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung sikatan. “Aku akan berlatih terus. Setiap malam” janjinya didalam hati.
Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung.
Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur dipringgitan kademangan Sangkal Putung daripada basah kuyup dijalanan.
Diregol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang tidur diatas anyaman daun kelapa, sedang disampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru.
Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad, namun ia merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya, hidup atau mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari, bahwa disamping hak yang diterimanya itu, maka iapun harus mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai demang atau bukan.
Beberapa orang penjaga yang duduk diregol halaman disamping Ki Demang itupun berdiri ketika mereka melihat Widura memasuki pintu regol “Selamat malam tuan” sapa salah seorang penjaga.
Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil bergumam “Apakah adi Widura baru datang?”
“Ya kakang” jawab Widura.
“Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas” berkata ki demang itu pula.
“Langit kelam kakang” sahut Widura. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”
“Agaknya demikian” jawab Ki Demang “Nah, beristirahatlah”
Widura itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik kependapa. Ketika mereka melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu kosong. Dan senjata didinding diatas pembaringannya itupun tidak ada pula. Sedang disampingnya masih berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung kepringgitan.
“Kau lelah Sedayu” berkata pamannya kemudian “Tidurlah”
Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu, segera ia membaringkan dirinya, diatas tikar pandan disamping pembaringan pamannya.
Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi digelodog bambu, iapun duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-goresan merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir disegenap bagian tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan.
Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian hilang . Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya, ia mendengar beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam kembali.
Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika ia sampai dipendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring ditempatnya, seakan-akan tidak terjadi apapun.
“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab “Ya kakang”
“Adakah kau yang baru saja naik kependapa?” bertanya Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan seksama, seakan-akan ingin melihat debar dijantungnya, maka Sidanti itupun menjawab “Ya kakang”
“Dari manakah kau?” bertanya Widura seterusnya.
“Dari belakang kakang. Kenapa?” sahut Sidanti.
“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu”
Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya “Adalah sesuatu yang sangat perlu?”
“Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah”
“Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?”
“Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang”
Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat dihatinya “Apa pula yang akan dikatakannya”
Ketika Sidanti sudah duduk dihadapannya, Widura berkata “Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu penting. Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu” Widura diam sejenak. Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya “Darimana kau Sidanti?”
Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya “Dari belakang”
“Bajumu basah oleh keringat” sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian “Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat mengimbangi Macan Kepatihan”
“Sendiri?” desak Widura.
“Ya”
“Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih diri”
“Apa salahnya?” potong Sidanti “Apakah kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang tidak pernah menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki sekarang?”
“Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat”
“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?”
“Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan kademangan ini tanpa seorangpun juga mengetahuinya” Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang Sidanti benar-benar terjadi.
Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata mereka bertemu, Sidanti itupun menundukkan wajahnya. Namun dadanya masih juga berdebar-debar.
Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas mereka terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian Sidanti menjawab “Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri kakang. Aku kadang-kadang memerlukan tempat yang baik yang tidak aku temui dihalaman kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin diganggu oleh siapapun juga”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk kemenangan bersama. Meskipun demikian Widura itupun berkata “Sidanti, aku berbangga. Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan anak-anak yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorangpun yang dapat melihat apa yang akan terjadi”
“Sudah aku katakan” jawab Sidanti “Kalau aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung jawabku sendiri. Tak seorangpun perlu menangisi mayatku”
“Jangan berkata demikian” sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada anaknya yang nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya terganggu. “Apapun yang aku lakukan adalah hakku” katanya didalam hatinya.
“Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?” tiba-tiba Widura bertanya. Dan pertanyaan itu benar-benar membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu teringat olehnya gurunya itu berkata “Sidanti, kemenangan terakhir haruslah kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan kelompokmu, apalagi pimpinanmu”
Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng “Tidak. Guru tidak pernah datang”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang didalam kepala Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya pula “Karena itu Sidanti, aku tak mau seorangpun tahu, bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus menjadi orang pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri”
Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula. Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.
“Kau lelah sekali Sidanti” berkata Widura.
“Ya” sahut Sidanti pendek.
“Tidurlah”
Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan keluar. Dimuka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya, segera ia melemparkan pandangan matanya kearah lain.
Kini Widura duduk kembali seorang diri diatas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya. Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan memberinya jalan terang.
Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian iapun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.
Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit, maka Agung Sedayupun telah bangun dari tidurnya. Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan berkokok menyambut pagi. Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Dipendapa beberapa orang pun telah bangun. Seorang dua orang telah turun kehalaman, sedang yang lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu pun segera pergi kepadasan.
Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa “Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu”
“Ya paman” sahutnya “Aku tidur lebih dahulu pula”
Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar. Satu-satu dilangit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan segannya memandang halaman kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari lelapnya malam.
Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun. Dijalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka disudut desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar-menukar banyak pula terjadi.
Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan dimuka kademangan itu. Dimuka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.
“Akan kemana ngger?” bertanya salah seorang daripadanya.
“Berjalan-jalan paman” jawab Agung Sedayu
Orang itu mengangguk. Sahutnya “Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger”
Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun disiang hari yang cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya. Katanya “Akan pergi kemanakah tuan sepagi ini?”
Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya dikademangan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengannguk ia menjawab pendek “Berjalan-jalan”
Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya “Apakah tuan akan pergi kewarung disudut desa?”
Agung Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya.
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah berkata pula “Kalau tidak, akan kemanakah tuan?”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya “Aku hanya berjalan-jalan saja”
“Oh” sahut Sekar Mirah. “Kalau begitu, apakah tuan ingin melihat warung itu. Barangkali tuan ingin membeli sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa? Warung itu menjadi ramai sejak daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang dari desa yang lainpun datang kemari. Sebab disini ada laskar paman Widura, sehingga mereka merasa mendapatkan perlindungan daripadanya.
Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali tidak memiliki uang seduitpun. Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula “Marilah tuan. Tuan akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini”
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali kewarung disudut desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.
“Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang diwarung itu” berkata Sekar Mirah kemudian.
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah.
Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah.
Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak hal tentang keadaan didaerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang didaerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun hatinyapun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan orang-orang didaerahnya.
Karena itu pula maka disepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti akan beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya “Tuan, apakah tuan adik dari seorang yang bernama Untara?”
Agung Sedayu mengangguk. “Ya” jawabnya.
“Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan. Bukankah tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan terima kasih”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang yang berhak mendapat penghormatan yang demikian.”
“Tuan” Sekar Mirah itu berkata lagi “Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?”
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari seorang gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah itu berkata pula “Kakang Swandarupun selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman Widura adalah Sidanti”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu. Dilihatnya didalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati itu memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah disudut hatinya suatu keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang telah dicapainya. “Kenapa demikian”, timbul pula pertanyaan didalam dirinya. Tetapi ia menjawab “Aku melatih diri sejak kanak-kanak”
“Oh” Sekar Mirah menjadi bertambah kagum. “Pantaslah tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda.”
Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab “Alap-alap Jalatunda tidak segarang Tohpati” Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha untuk tetap tersenyum.
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya “Berapa lamakah tuan akan tinggal di Sangkal Putung?”
“Aku tidak tahu” jawab Sedayu “Kalau kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan kakang Untara akan kembali ke Pajang”
Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.
Demikianlah mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu pun berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah goresan yang pahit didalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia benar-benar pahlawan Sangkal Putung.
Ketika mereka sampai diwarung ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada diwarung itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa didalam dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat.
Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya “Ah Mirah. Dahulu kau selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu”
Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung. (bersambung)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Cool!!

Anonim mengatakan...

Saya akan baca terus updatenya.
Kalau bisa tiap hari dong.. update-nya, gak sabar nungguinya.


thanks