Jumat, 25 Januari 2008

Api di Bukit Menoreh 18


Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya.
Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang daripadanya.
Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong aku pula kali ini”
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu “Sidantipun selalu melatih diri bersama gurunya”
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi.
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura. Betapapun ia telah berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia berkata lantang “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya”
Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti , katanya “Apakah yang kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata “Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya”
“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”
Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah “Sidanti, aku telah siap mempertahankan keputusanku”
“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti .
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”
Tiba-tiba Widura menggeleng “Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing disini tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak “Lalu apakah gunanya kita bertempur disini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu”
“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya “Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu”
“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya “Bersiaplah”
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya.
Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti alap-alap diudara.
Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan diantara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari kedua senjata itu.
Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong surut dn kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang gemetar. Katanya “Mampus kau kakang Widura”
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah nafasnya ”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu”
“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”
“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”
Widura menggeleng “Tidak” jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu “Selamat datang guru”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu “Selamat datang Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab “Hem, selamat Widura”
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal didaerah sebelah timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores diwajah itu.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja didalam dadanya “Ternyata kau mampu menyamai muridku”
Widura mangguk kecil. Jawabnya “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”
“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan karenanya”
Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian katanya “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan Sidanti sudah dilepaskan”
Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu?”
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata “Kau adalah anak tangga yang pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada Sidanti”
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya “Jangan berkeras kepala Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”
Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya disini karena aku takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang”
Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram “Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab “Benar Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan dapat aku penuhi”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku”
“Terserahlah kepada Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya “Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”
“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari”Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya. (bersambung)

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Matur suwun telah membawa cerita klasik yg sangat indah ini

Anonim mengatakan...

wah mantaffff ..ditunggu lanjutannya ... makasih

Anonim mengatakan...

Trims ya mas...udah berlelah-lelah mengupload cerita ini.

Anonim mengatakan...

Matur suwan kangmas, ditunggu kelanjutannya. Emang cerita ini yang sedang dicari cari dari dulu.

Sekali lagi matur suwun

Anonim mengatakan...

Wah jadi inget jaman SMP, waktu itu aku pertama kali baca cerita ini dari koleksi kakekku, hmmm aku malah sudah ga tau dimana ya buku2 itu sekarang ? nanti pulang kampung sambil aduk2 lemari kakek ah...terima kasih mas atas upload cerita ini, mana harus re-type ulang lagi...good work bro..keep sharing