Rabu, 16 April 2008

Api di Bukit Menoreh 37


Ketegangan menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai perhitungan sendiri-sendiri. Sidantipun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang yang kebingungan, siap memasuki padesan dihadapannya.
Tetapi terdengar Citra Gati berteriak “Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, dalam usaha yang sia-sia. kalau kita pasti Untara ada didepan kita, maka biarlah kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali”
“Kau jangan menghinanya” sahut Sidanti keras-keras. “Apakah kau sangka Untara terluka? Untara adalah seorang yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. karena itu, maka tak akan ia terluka dan terbaring diantara orang-orang yang luka. Aku hormati dia aku kagumi dia”
Kata-kata itu masuk akal pula. karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. Tetapi Citra Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara tealh terlanjur memasuki desa itu, maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada mereka yang mengikutinya.
Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti berkata “Taati perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik diantara kalian”
“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya “Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang memiliki kedudukan tertua diantara kalian. Ket kakang Widura meninggalkan Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan”
“Persetan dengan tata cara itu. Sekarang aku mengkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa maumu? Apakah aku harus membunuhmu?”
“Jangan berlagak jantan sendiri Sidanti. Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari kami. Tetapi kami bukan kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan Pajang, maka kau adalah seorang pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yag patuh pada tugas kami, maka nyawa kami akan kami pertaruhkan untuk menumpas setiap pemberontakan”
“Gila” teriak Sidanti “Ayo, siapakah yang menenang Sidanti, majulah”
Citra Gati bukan seorang penakut. Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan Sidanti, tetapi ia adalah soerang prajurit yang bertanggung-jawab. karena itu, maka ia tidak gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itupun telah terbakar oleh perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok persoalannya. Hilangnya Untara. Apalagi ketika Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya condong kepadanya, sehingga dengan demikian hampir-hampir ia menjatuhkan perintah untuk bersama-sama menangkap Sidanti yang telah melanggar tata cara keprajuritan.
Tetapi dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan malam. Katanya “Persetan dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan pula laskat Sangkal Putung. Aku disini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas yang aku bebankan sendiri dipundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama kalian. Tetapi aku tidak diperintah oleh pemimpin yang manapun. Bertempurlah diantara kalian. Aku akan mencari kakang Untara. Aku sependapat dengan kakang Citra Gati, kakang Untara masih berada dibelakang kita. Dan siapakah diantara kalian yang masih memiliki kesetiaan kepadanya ikutlah aku. Yang merasa diri kalian prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang berhasil membunuh orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar Pajang. Sedang tak seorangpun diantara kalian yang berusaha memberitahukan hal ini kepada paman Widura, pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang mencoba menghalangi Agung Sedayu, maka pedangku akan berbicara”
Kata-kata Agung Sedayu itu seakan-akan merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka lakukan. tiba-tiba salah seorang dari mereka, seorang penghubung berlari kearah padesan idbelakang mereka. Disanalah kudanya ditambatkan.
“He, kemana kau?” teriak Sidanti yang menjadi marah.
“Aku akan melaporkannya kepada Ki Widura”
Sidanti tidak mencegahnya. Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang dalam pasukan itu.
Sedang Agung Sedayu kemudian tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung kegaris peperangan untuk mencari kakaknya. Dalam hirukpikuk perkelahian itu, adalah sangat mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa diketahuinya, apalagi Untara yang saat itu sedang menumpahkan perhatiannya kepada Tohpati.
Citra Gati, Hudaya dan sebagian besar dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung Sedayu. Mereka berjalan sambil memperhatikan keadaan disekeliling mereka. Dengan beberapa buah obor ditangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang terbaring. Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang yang terluka, namun kiwanya masih mungkin diselamatkan.
“Rawat mereka” berkata Agung Sedayu. Ia tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian atau tidak. Namun menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak.
Dalam kesibukan itu, maka mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari Sangkal Putung. Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka melihat kedatangan Widura beserta beberapa orang pengawalnya.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya.
“Kami mencari kakang Untara” sahut Agung Sedayu.
Widura mengerutkan keningnya. Sukar dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan terbaring diantara mereka yang jatuh didalam pertempuran itu.
“Apakah menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura.
Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar suara Sidanti lantang “Aku sudah mengatakan kepada mereka, bahwa Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat bahwa Untara yang melukai Tohpati bukan Untara yand dilukai”
Wajah mengerutkan keningnya. Dipandangnya Agung Sedayu yang masih termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya “Kalau kakanf Untara tidak terluka, maka ia pasti sudah kembali. Apakah menurut dugaan paman, kakang Untara tidak terluka tetapi justru tertangkap oleh Tohpati?”
“Tidak mungkin” sahut Widura serta-merta.
“Nah kalau begitu kemana? Terluka tidak, tertangkap tidak. Apakah kakang Untara mengejar musuh itu seorang diri tanpa memberikan perintah kepada kami disini?”
Widura menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya “Juga tidak”
“Lalu bagaimana?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan kakaknya. Semula, ketika ia masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka kakaknya adalah satu-satunya tempat untuk melindungkan dirinya. Namun kini, meskipun ia merasa bahwa akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik untuk menyelamatkan dirinya itu, maka yang tinggal adalah suatu ikatan kasih sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah melindunginya bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah banyak berkorban untuknya. Seorang kakak yang telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membentuknya menjadi seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa atas kemajuan yang dicapainya. Namun kini ia telah menemukan dirinya. Dan karena itu maka terasa didalam dirinya suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan kakaknya itu. Apapun yang akan dihadapinya.
Widura itupun kemudian meloncat pula dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan matanya sejenak berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam “Aku sependapat dengan kau Sedayu” Kemudian kepada seluruh laskarnya Widura itu mengeluarkan perintah “Semua mencari diantara orang-orang yang terluka”
Beberapa orang kemudian tersebar disepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk melihat satu persatu dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yag berjalan mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam “Tak ada gunanya”
Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya bersama-sama dengan Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama dengan beberapa orang lainpun telah ikut mencari pula diantara mereka.
Tiba-tiba dalam kesepian malam itu terdengar seseorang berteriak lantang sambil melambai-lambaikan obornya “Inilah. Inilah yang kita cari”
Agung Sedayu benar-benar terkejut mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari ikatan, ia meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri disampingnya. diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring ditanah. Bahkan beberapa kali kakinya telah terperosok kedalam lubang-lubang dipematang.
Demikian pula dengan beberapa orang yang lain. Widurapun terkejut bukan main. Seperti Agung Sedayu segera ia meloncat berlari kearah suara itu.
Ketika mereka sampai, dan ketika mereka melihat orang yang terbaring diam dengan darah yang memerahi tubuhnya, ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya telah menjadi sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari lukanya, bahkan beberapa orang telah menyangkanya mati.
Agung Sedayu dengan gemetar berlutut disamping kakaknyasambil memanggil-manggil “Kakang, kakng Untara. Kakang”
Tetapi Untara tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi sangat dinginnya.
Perlahan-lahan Widura menempelkan telinganya didada Untara. Kemudian dengan penuh harapan ia berkata “Masih aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya. Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak mengalir”
Tubuh Untara yang lemah itupun segera diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan kepalang. Pasti bukan Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap dipunggung Untara itu.”Hem” terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati pisau itu ditariknya. Dan kemudian katanya tergesa-gesa “Kain. Balutlah lukanya”
Beberapa orang menjadi bingung. Mereka tidak membawa secarik kainpun untuk membalut luka itu. Namun kemudian Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu ia mencoba menyumbat luka Untara.
Untara itupun kemudian dikerumuni oleh hampir semua orang didalam pasukan itu. Sidantipun kemudian datang pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata “Apakah benar kakang Untara terluka?”
Agung Sedayu mengangkat wajahnya. ditatapknya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura “Ya, Untara ternyata terluka”
“Benar-benar tidak menyangka” katanya sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri selangkah dibelakang Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring ditanah, sedang beberapa orang masih berusaha membalut luka itu.
Sidanti itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata “Seseorang melihat kakang Untara berhasil melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?”
Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu tealh sibuk kembali dengan luka Untara itu.
Semua orang yang berdiri melingkar itu menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, betapa pedihnya luka itu. Luka yang menghunjam masuk kedalam punggung Untara.
Suasana kemudian menjadi sepi. Angin malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, mengguncang batang-batang padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi binatang-binatang malam bersahut-sahutan. Dilangit yang biru bersih, terpancang berjuta bintang gemintang yang berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan merajai langit dimalam hari.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah “Terlambat. Tidak ada gunanya lagi. Untara telah mati”
Semua yang mendengar desah itu terkejut. Lebih-lebih Agung Sedayu. karena itu, maka tiba-tiba ia berkata lantang “Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha”
“Aku memandang segala persoalan menurut pertimbangan nalar” sahut Sidanti “Keadaan itu sudah sangat gawat. Apapun yang kalian usahakan akan sia-sia saja”
“Tidak” potong Widura “Kemungkinan masih ada”
Terdengar Sidanti tertawa pendek “Untara bukan malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, seperti juga orang lain yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati”
“Tutup mulutmu!” tiba-tiba Agung Sedayu yang tidak dapat menahan hati lagi membentak lantang “kalau kau tidak merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa”
Sidanti mengerutkan keningnya mendengar bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia menjawab “Jangan bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan dari panglima Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan membentak-bentak”
“Aku tidak peduli apakah dan siapakah yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau mendengar kau berkata seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati. Kau lihat kami sedang berusaha untuk menolongnya”
“Itu urusanmu” sahut Sidanti “Aku hanya mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak akan dapat ditolong lagi”
“Jangan kau katakan dihadapanku”
“Apa hakmu melarang aku berkata menurut pertimbanganku sendiri”
Agung Sedayu bukanlah seorang yang cepat menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia adalah seorang yang lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang paling damai. Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar tersinggung. Kakaknya adalah orang yang paling dihormati sepeninggal orang tuanya. Kakaknya adalah orang yang paling baik dimuka bumi ini, yang telah banyak berbuat untuknya, untuk kepentingannya. karena itu, maka tanggapan Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar telinganya sehingga Agung Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi keras dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata “Sidanti, kau ingin perselisihan, maka sekarang adalah waktunya. Aku selalu mencoba menghindari setiap benturan diantara kita sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat persoalan. Sekarang, kalau kau menantang aku, aku terima tantanganmu. Dengan atau tanpa senjata”
Tak seorangpun yang menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang terlalu keras dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran didalam dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang betapapun luasnya. Sehingga akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang dingin.
Sidantipun sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. Sesaat ia berdiri termangu-mangu.dilihatnya didalam sinar obor yang kemerah-merahan mata Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun Sidanti adalah seorang yang keras hati. Ketika ia menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya. Dengan lantang ia menjawab kata-kata Agung Sedayu “Bagus. Aku tantang kau saat ini”
Agung Sedayu tidak menunggu apapun lagi. Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat ditangan Sidanti masih tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan apapun lagi, dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya.
Tetapi tepat pada saatnya Widura telah berdiri diantara mereka. Dengan tenang ia berkata “Aku memerintahkan kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan pada Sidanti selaku seorang prajurit dibawah pimpinanku, dan aku perintahkan kepada Agung Sedayu selagi masih keponakanku”
Kembali suasana menjadi sunyi senyap. Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa kata-kata Widura. karena itu, maka merekapun menundukkan wajah masing-masing.
Sesaat kemudian terdengar pula Widura itu berkata “Sekarang bawa Untara kembali ke Sangkal Putung. Cepat supaya kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik. Darah telah terlampau banyak tertumpah disini. Apakah masih ada yang akan memeras lagi darahnya? Apalagi tanpa arti?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan ikut serta mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak didalam dadanya.
Sedang Sidanti masih tegak ditempatnya. Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi, menyarungkan pedangnya dan kemudian bersama-sama dengan beberapa orang mengangkat tubuh Untara.
Widurapun kemudian meninggalkan Sidanti itu pula. dibelakang mereka yang mengangkat tubuh Untara, Widura berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam persoalan membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja sembuh dari lukanya, kini telah terluka kembali. Bahkan agak lebih parah. Kalau anak muda itu tidak segera mendapat pengobatan yang baik, maka jiwanya ada dalam bahaya.
Ketika laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, maka Sidanti masih saja berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil menundukkan kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka.
Tiba-tiba timbullah iri dihatinya “Apakah kalau aku terluka maka semua orang akan berduka seperti itu?” katanya dalam hati.
Ketika kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian betapa silirnya angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya bintang-bintang masih bercahaya dilangit diatas kepalanya. Dilihatnya bintang Bima Sakti melintang dari kutub ke kutub, dilingkaran serbuk bintang yang keputih-putihan seperti awan yang bercahaya.
Dimukanya berpuluh-puluh obor berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika ia kemudian melangkah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia berpaling sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat orang yang mendatanginya. Gurunya, Ki Tambak Wedi.
“Apakah lau terkejut Sidanti?”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Ya guru. Aku baru saja bertempur disini. karena itu, maka aku masih diliputi oleh suasana itu”
Gurunya itu tertawa pendek “Aku melihat pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari pemimpin kalian yang bernama Untara itu”
Sidanti tersenyum pula “Hem. Pokal orang-orang gila itu” desisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian mengawasi obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya kemudian seakan-akan hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak diatas layar yang hitam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan penuh keprihatinan membawa tubuh kakaknya bersama-sama beberapa orang lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang selama ini mengancam jiwa kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama seakan-akan baru kemarin dibebatnya didaerah sekitar Macanan. Kini kakaknya sudah terluka kembali.
Namun demikian, kakaknya bukanlah korban satu-satunya. Didaerah bekas pertempuran itu masih banyak tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa diantara mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup, merintih-rintih menahan sakit. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil berkata “Paman, apakah orang-orang lain yang terluka digaris peperangan itu tidak mendapat perawatan seperti kakang Untara ini?”
Pamannya mengangguk. Jawabnya “Ya. Beberapa orang lain bertugas mengurusi mereka. Baik yang sudah meninggal. Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah kakaknya yang pucat, hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus segera mendapat pengobatan sewajarnya.
Kabar tentang Untara segera tersebar keseluruh Sangkal Putung. Beberapa orang semula menjadi kecewa mendengar berita itu. Salah seorang diantara mereka berkata “Kalau begitu, Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan disini. Seperti kabar-kabar yang kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak mampu mempertahankan dan menyelamatkan dirinya sendiri”
“Kau salah” jawab yang lain. “Untara sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar disini. Ternyata Untara memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang melihat Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian mendesaknya terus. Seandainya Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang hampir pasti, Tohpati akan dapat dibinasakan oleh Untara. Namun, ketika kita sedang mengejar laskar lawan yang mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang, menusukkan pisau itu terhunjam dipunggungnya”
Orang pertama menyesal atas penilaiannya terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia membetulkan kesalahan “Aoh, aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun jika seandainya seseorang berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka orang yang melakukan itu pasti seseorang yagn pilih tanding pula”
“Mungkin” jawab orang kedua “Didalam laskar lawan terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng dan lain-lain”
“Plasa Ireng sudah mati”
Orang kedua itu mengerutkan keningnya. “Ya, ia mati dalam keadaan yang mengerikan. Hem. Sidanti benar-benar berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya”
“Sungguh berlawanan dengan Agung Sedayu” sahut yang lain. “Menurut Swandaru Geni, Agung Sedayu menyesal ketika ia membunuh seseorang meskipun didalam peperangan”
Kemudian keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan mereka sedang berbaring-baring saja dimuka regol kademangan karena kelelahan. Beberapa orang duduk-duduk dihalaman, sedang yang lain masih berada di banjar desa.
Orang-orang yang terlukapun kemudian dibawa kebajar desa itu untuk mendapat pertolongan sekedarnya. Tetapi Untara itdak dibawa kebajar desa. Untara itu oleh Widura disuruhnya membawa kekademangan saja. Sebab Untara adalah orang penting bagi Pajang. Mau tidak mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan menjadi heran atas keadaannya.
Untara itupun kemudian dibaringkan didalam pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka menyaksikan dengan penuh haru, tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun demikian, mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat sadar kembali, karena mereka masih melihat dada Untara bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit.
Ki Demangpun menjadi gelisah pula. ia telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-daun yang menurut pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran darah.
“Untunglah” gumam Widura “Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh jantungnya”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup berbahaya.
Dalam pada itu, hampir setiap orang berbicara tentang Untara, tentang lukanya dipunggung. Mereka bersepakat bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang curang.
“Didalam perang brubuh hal itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang bertugas digardu pertama.
Yang diajak berbicara mengangguk. Katanya “Tetapi aneh. Tohpati dan Untara bertempur tepat digaris pertempuran. Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk kedalam lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia mendapat serangan dari belakang?”
“Aku tidak melihatnya demikian. Kita bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam satu garis yang teratur, meskipun disana sini timbul pula kekacauan yang memungkinkan hal-hal semacam itu terjadi”
“Tetapi yang melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan”
“Pasti bukan” jawab yang lain.
Mereka kemudian terdiam. Tetapi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang perlahan-lahan mendatanginya. Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu pedangnya yang masih disangkutkan didalam sarungnya ia menyapa “Siapa itu?”
Orang yang disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab “Aku ngger, aku”
“Aku siapa?” bertanya penjaga itu pula.
Orang yang disapanya itu berjalan semakin dekat. Dengan langkah satu-satu iam menjadi semakin jelas. Seorang tua dengan sebuah tongkat kecil ditangannya.
“Siapa itu” penjaga itu mengulangi.
“Aku ngger, aku” jawabnya. Suaranyapun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa orang itu adalah seorang tua.
“Siapa namamu?”
Orang itu sudah dekat benar. Dengan nafas terengah-engah ia berkata “Huh. Aku hampir mati ketakutan melihat pertempuran itu”
“Kau melihat pertempuran itu kek? Bertanya salah seorang penjaga.
“Ya, aku melihat” jawabnya.
“Kenapa melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?”
“Aku tidak sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu. Dan didaerah itu terjadi pertempuran”
“Mau kemana kau sebenarnya kakek?”
“Pulang ke dukuh Pakuwon”“Dukuh Pakuwon” bertanya para penjaga keheranan “Dari mana?”

1 komentar:

niki mengatakan...

trimakasih banyak mas Rizal !
saya mnikmati skali critanya. banyak hal2 sderhana yang bisa diambil sebagi pelajaran.
Love it!
suwun sanget mas, suwun :D