Rabu, 16 April 2008

Api di Bukit Menoreh 38

Orang itu terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab “Aku baru saja pulang dari pesisir”
“Dari pesisir?”
“Ya. Aku baru saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati luka-luka”
“Kau dapatkan kulit kerang itu?”
“Ya”
“Dapatkah dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?”
“Tentu. Tentu”
“Banyak kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?”
“Tentu. Tentu”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. karena itu, maka katanya kemudian “Pemimpin kami terluka. Marilah, aku antarkan kau kekademangan. Biarlah para pemimpin yang menentukan, apakah obatmu dapat menolongnya”
“Siapakah yang terluka?”
“Untara”
“Untara?” kakek itu mengulang.
Orang tua itupun kemudian dibawa oleh beberapa orang penjaga kekademangan. Ketika mereka sampai dipendapa, maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk dipringgitan sehingga para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka untuk mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang masih terbuka itu.
Widura berpaling kearah mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak dimuka pintu. “Ada apa?” katanya.
Maka diceritakannya tentang orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk menyembuhkan luka-luka.
Widura yang sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia berkata “Bawa orang itu masuk kemari”
Orang tua itupun segera dipersilakan masuk kepringgitan. Namun demikian ia melangkah pintu, terdengarlah Agung Sedayu menyapanya lantang “Ki Tanu Metir!”
Orang tua itu memandang berkeliling. Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu diantara mereka. karena itu, maka tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya “Kau disini juga ngger?”
“Ya Ki Tanu. Aku menunggui kakakku yang terlkua” tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat pula kepada peristiwa yang dialaminya di Macanan. Maka katanya pula “Ki Tanu. Kakakku yang terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara”
“He?” orang tua itu terkejut “Apakah angger Untara belum sembuh?”
Semua orang yang berada di pringgitan memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu dengan seksama. Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik.
Agung Sedayupun kemudian menjelaskan “Kakang Untara baru saja terluka dalam pertempuran diperbatasan Sangkal Putung. Bukan luka yang dahulu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Hem. Itu adalah akibat dari kedudukannya. Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah terluka kembali”
“Ya Kiai” sahut Widura “Setiap prajurit menyadari hal itu. Kamipun disini menyadari, dan Untarapun menyadari”
“Angger benar” jawab Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katnaya “Siapakah angger ini?”
Widura ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung Sedayu “Paman Widura. pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung”
“Oh” desah orang tua itu, yang kemudian berkata pula kepada Widura “Angger, apakah aku diperbolehkan mencoba mengobati luka angger Untara?”
“Silakan Kiai. Kami akan berterima kasih kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar, Kiai pernah juga merawat Untara beberapa waktu yang lewat”
“Ya ya” sahut Ki Tanu Metir sambil melangkah maju.
Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu.
Semua orang menegang nafas. Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu dapat memberinya obat.
Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Angger, tolonglah aku membuka bajunya”
Dengan tergesa-gesa Agung Sedayupun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-hati membuka baju Untara.
Dari bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian dilumurkan disekitar luka Untara.
“Marilah kita berdoa didalam hati kita. Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhanlah yang akhirnya menentukan. Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh”
“Apakah luka itu tidak terlalu berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
Ki Tanu Metir menggeleng “Tidak terlalu berbahaya”
Semua orang menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak diantara mereka yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti Untara itu tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya.
“Angger” berkata Ki Tanu Metir kepada Widura “Biarlah angger Untara beristirahat. Dan biarlah udara dipringgitan ini menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini”
Widura menjadi ragu-ragu untuk sesaat, diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia berkata “Baiklah . biarlah ruangan ini menjadi jernih”
Beberapa orang lain segera meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan demikian udara didalam ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas.
Didalam ruang itu kini tinggal Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru. dari balik dinding Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani masuk kedalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang lain lagi berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara terluka.
Sekar Mirah menjadi gembira ketika ayahnya memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka dari kejauhan itu ia menjawab “Ya ayah”
“Kemarilah”
Dengan berlari-lari kecil Sekar Mirah itu masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu tertegun dipintu ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi kesuramannya itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa.
“Ambillah jeruk” berkata ayahnya.
“Jeruk apa ayah?”
“Jeruk pecel” sahut ayahnya.
“Ya ayah” jawab gadis itu sambil berlari.
Widura sekejap memandang wajah kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu.na ia tidak berkata apapun.
Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah Agung Sedayu bertanya “Ki Tanu, apakah benar luka itu tidak begitu parah?”
“Luka itu tidak parah ngger, tetapi aku kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku berhasil mengembalikan pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi angger Untara bukan luka itu, tetapi lihatlah” Ki Tanu Metir itu kemudian menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan dilambung kanan Untara. Semua yang menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-merta Agung Sedayu bertanya “Noda apakah itu Kiai?”
“Sebuah pukulan yang tepat diarah ulu hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak tergesa-gesa, sehingga agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya”
Semua orang yang berada ditempat itu merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat disekitar noda yang kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerah-merahan.
“Ada dua kemungkinan Kiai” berkata Widura “Pukulan itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaga karena tergesa-gesa atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk membuat Untara itu menjadi semakin parah”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya. Mungkin. Namun menilik kemudian yang dapat dilakukan atas angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang kebanyakan”
Kembali ruangan itu menjadi diam. Masing-masing mencoba untuk mencari etiap kemungkinan yang dapat terjadi atas Untara itu, namun tak seorangpun yang mampu untuk mencoba menebak, siapakah yang telah melakukannya.
Pringgitan itu kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara. Diraba-rabanya dan dipijit-pijitnya.
Sekar Mirahpun kemudian masuk kembali kepringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. Diserahkannya jeruk itu kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya kepada Ki Tanu Metir.
“Terima kasih” sahut dukun tua itu.
Setelah dipotong-potong maka jeruk nipis itupun diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan obat-obatan. Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan pernafasan Untara. Dari lambung dada dan punggungnya.
Sesaat kemudian terdengarlah Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas yang panjang.
“Bagaimana Kiai?” terdengar Widura bertanya.
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan mengurutnya perlahan-lahan.
Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal Putung mendesak maju. Sedang Swandaru Geni berdiri kaku dibelakang ayahnya.
Mereka kemudian menarik nafas lega ketika Ki Tanu Metir itu berkata “Pernafasan angger Untara sudah berangsur baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan dari dua luka ditubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka tusukan dipunggungnya telah sangat melepahkannya, dan noda biru itu telah mengganggu pernafasannya.
Ternyata gerak dada Untara kini telah jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan mudah. Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali. Apalagi dengan obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada lukanya, sama sekali telah menyumbat pendarahan.
Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam. Lirih ia bergumam “Mudah-mudahan”
Setelah pernagasan Untara itu menjadi baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat menggerakkan tangannya, maka Ki Tanu Metir itupun berkata “Biarlah angger Untara tidur. Ia kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang sangat lemah, maka ia belum dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya”
“Jadi, luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu
Ki Tanu Metir menggeleng “Marilah kita berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger Untara akan sembuh kembali”
Ruang pringgitan itu menjadi sepi kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini duduk disamping tubuh Untara yang masih terbaring diam.
Sekar Mirah yang tidak pergi keluar sejak ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk disitu pula. Tetapi ia menjadi kecewa ketika ayahnya berkata “Mirah, manakah minuman kami?”
Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar dari pringgitan pergi kedapur.
Sejenak kemudian, mereka yang duduk dipringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Dimuka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika dilihatnya Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya.
“Kakang Widura” katanya “Apakah aku boleh masuk?”
“Apakah kau mempunyai suatu keperluan Sidanti?”bertanya Widura.
Sidanti mengangguk sambil menjawab “Ya kakang”
“Kemarilah” sahut Widura.
Sidanti itupun kemudian masuk kepringgitan dan duduk disamping Widura. ditangannya ia memegang sebuah bungkusan kecil.
“Kakang” katanya “aku telah mencoba menghubungi guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa kakang Untara terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu” Sidanti berhenti sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk disekitarnya. Ketika tak seorangpun menjawab maka Sidanti itu meneruskan “Namun sayang, menurut guruku, luka demikian adalah luka yang sangat berbahaya. Luka yang tak akan mungkin diobati. Meskipun demikian, maka kita wajib berusaha. Dan gurukupun akan mencoba menolongnya apabila mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah kita yang menentukan. Dan inilah obat yang aku terima dari guruku itu. Biarlah aku mencoba mengusapkannya pada luka itu”
Widura mendengar kata-kata Sidanti itu dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam diri. Timbullah perasaan aneh terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang disangkanya. Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat sesuatu meskipun hasilnya belum pasti akan tampak. karena itu, maka sesaat kemudian menjawab “Terima kasih Sidanti”
Agung Sedayupun menjadi heran pula. tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia telah memusuhi anak muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk keselamatan kakaknya.
Ki Demang dan Swandaru Genipun menjadi bersenang hati atas sikap itu. Dengan demikian, maka pertentangan diantara mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah persatuan yang bulat diantara semua kekuatan di Sangkal Putung.
Tetapi yang masih saja berdiam diri adalah Ki Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah yang dibawa oleh Sidanti itu. karena itu, maka katanya “Angger, apakah aku boleh melihat obat itu?”
Sidanti memandang kepada Ki Tanu Metir, dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia bertanya kepada Widura “Siapakah orang ini kakang?”
Widura berpaling kepada Ki Tanu Metir, kemudian jawabya “Orang inilah yang telah melakukan pertolongan pertama kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah seorang dkun yang berpengalaman”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang melihat kehadiran Ki Tanu Metir. Maka katanya “Apakah Ki Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau barangkali seorang dukun yang dapat menebak hati orang, atau menenung orang dari jauh dan menaruh guna-guna?”
“Oh tidak, tidak ngger” sahut Ki Tanu Metir “Aku bukan dukun semacam itu. Aku sama sekali tidak dapat menebak hai orang, merauh guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang dapat dipakai untuk mengobati luka. Itupun hanya aku dengar dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku mencoba mengobati luka Untara dengan cara yang pernah aku pelajari dari orang-orang tua itu”
“Hem” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Kalau begitu, obat ini adalah obat yang pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini diberikan oleh guruku, Ki Tambak Wedi”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian ia menyahut “Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang dukun yang pandai. Tetapi apakah iai dapat mengobati tanpa melihat luka itu?”
“Tentu” jawab Sidanti “Ki Tambak Wedi dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak dilihatnya. Sebab ia pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan aliran darah dan kemudian memampatkan luka itu untk memulihkan jaringan daging yang telah pecah dan sobek”
“Ya, ya, begitu pulalah yang pernah aku dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu Metir “Namun setiap luka ditempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka angger Untara itupun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi”
Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir berada diruangan itu. Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya “Apakah tubuh itu akan kita biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha, meskipun seandainya usaha itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya apabila kita biarkan saja Untara itu mati tanpa ikhtiar apapun”
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat menolak kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura itupun berkata “Sidanti, darah yang mengalir dari luka itu telah berhenti. Untara kini telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan kepadaku. Nanti apabila ia telah bangun, biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu Metir yang melumurkannya”
“Kenapa kita menunda sampai nanti, kakang Untara pasti akan lebih menderita. Kalau kemudian terlambat, maka akan sia-sia segala usaha”
“Tetapi pasti tidak dapat sekarang” potong Ki Tanu Metir. “Obat itu mungkin sekali akan mengadakan tenggang-menenggang dengan obat yang lebih dahulu telah aku lumurkan. Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya dahulu. Kalau ternyata tidak bermanfaat, baiklah kita ganti dengan obat yang lain”
“Banyak waktu yang terbuang” jawab Sidanti, kemudian kepada Widura ia berkata “Kakang, aku minta ijin untuk mencoba mengobati luka itu”
“Nanti dulu Sidanti” berkata Widura sambil berdiri “Jangan memaksa. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun sayang bahwa luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya telah tuntas. Karena itu, marilah berikan kepadaku, barangkali nanti kita perlukan”
Sidanti itupun menjadi sangat kecewa. Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih ingin memaksa, katanya “Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku mengobati luka itu kalau dukun itu marah, biarlah aku patahkan lehernya”
“Ampun ngger, jangan patahkan leherku. Aku masih sangat memerlukannya” Tiba-tiba Ki Tanu Metir itu menyahut “Tetapi demi kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya”
Agung Sedayu menjadi bingung mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi sangat tidak senang mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia dapat menghargai usaha Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir pernah menolong Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah erjadi setelah ia meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara itu ternyata tertolong jiwanya. Sedang obat yang dibawa Sidanti itu masih harus diuji pula. karena itu, maka tiba-tiba ia berkata “Kakang Sidanti, berikanlah obat itu kepada paman Widura. biarlah besok ata nanti, paman Widura melumurkannya”
Sidanti itu memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah suaranya parau “Agung Sedayu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap kakakmu itu. Apakah kau akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati lukanya”
“Kalau kakang Untara gugur, maka sudah tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini sudah berangsur baik. Karena itu jangan diganggu”
Sidanti itu berpaling kepada Widura. dengan wajah yang tegang ia berkata “Bagaimana kakang?”
“Berikan obat itu kepadaku, Sidanti”
Sidanti itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu diberikannya bungkusan daun waru ditangannya itu kepada Widura. “Inilah kakang. Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang telah membunuhnya. Meskipun demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba pula”
“Baiklah, kami akan mencoba obat ini besok kalau ternyata kami perlukan”
Sidanti tidak berkata-kata lagi. Setelah bungkusan ditangannya itu diterima oleh Widura, maka segera ia meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling kearah Ki Tanu Metir, dan sekali kepada Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menangkap pertanyaan yang menyorot dari mata Widura. ia ingin penjelasan tentang obat itu. karena itu, maka Ki Tanu Metir itupun berkata “angger Widura, apakah aku boleh melihat obat itu?”
Widura kemudian duduk kembali ditempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru ditangannya itu kepada Ki Tanu Metir. Katanya “Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini bermanfaat pula?”
Dengan hati-hati Ki Tanu Metir membuka bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang terbungkus didalamnya tampak ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana Kiai?” bertanya Widura ingin tahu.
Ki Tanu Metir mengangkat alisnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Aku tidak dapat memberikan obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat manfaatnya”
Widura memandang Ki Tanu Metir dengan penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang cukup sakti. Namun apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya?
Ki Tanu Metir melihat kebimbangan diwajah Widura. karena itu ia mencoba menjelaskan “Aku mempergunakan obat yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan merugikan angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok pagi. Mudah-mudahan obat yang aku berikan akan berguna”
Ruangan itu kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
“Hampir fajar” gumam Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu membungkukkan badannya sambil berkata lirih “Ki Tanu, kakang Untara telah bangun”
Ki Tanu Metir itupun segera berdiri dan mendekati Untara pula. demikian pula Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi pembaringan Untara.
Untara itu kini telah dapat menggerakkan kepalanya. Sekali ia menarik nafas panjang, dan kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu terpejam kembali.
“Masih sangat lemah” desis Ki Tanu Metir “Tetapi pernafasannya telah menjadi wajar kembali”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkemba-ngan keadaan Untara. Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri disamping kakaknya ketika orang-orang lain telah duduk kembali ketempatnya.
Sesaat kemudian Sekar Mirah datang sambil membawa minuman hangat. Setelah diserahkannya mangkuk-mangkuk itu maka ia duduk disamping kakaknya. Tetapi segera ayahnya berkata “Kau harus menyiapkan makan pagi Sekar Mirah”
Sekar Mirah itu mengerutkan keningnya. Sambil memberengut ia menjawab “Ayah. Aku ingin istirahat. Meskipun aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku berjalan mondar-mandir didapur, menyiapkan segala macam makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh duduk sebentar saja?”
“Duduklah, bahkan tidurlah. Tetapi tidak disini”
Sekar Mirahpun kemudian berdiri dan berjalan kebelakang. Wajahnya menjadi gelap dan sekali ia berpaling sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni.
“Kenapa aku” bentak Swandaru.
“Apa” sahut Sekar Mirah “Aku kan tidak apa-apa”
“Kau mencibir aku” jawab Swandaru.
“Salahmu kau melihat bibirku”
Swandaru masih akan menjawab, tetapi ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam diri. Tetapi dengan tangannya ia mengacungkan tinjunya kearah Sekar Mirah. Sekali lagi Sekar Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam kebalik pintu. Tetapi sebelum ia hilan dibelakang daun pintu itu, maka iapun sempat memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya, sehingga Agung Sedayu tertunduk karenanya.
Tetapi perhatian Agung Sedayu kini bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, keran itu ia hampir tak memperdulikan apa saja yang terjadi.
Ia mendengar juga sekali Sekar Mirah berteriak dibelakang rumahnya “Gila” berkata Sekar Mirah itu “Pergi sendiri”
Swandaru mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya “Bukan kau Swandaru”
Widura menggigit bibirnya. Pasti Sidanti telah mengganggunya. Anak itu benar-benar anak yang keras kepala. Namun Widura telah tidak segera berbuat apa-apa, sebab suara Sekar Mirah itupun telah hilang, dan bahkan dekat dibalik dinding gadis itu menggerutu “Anak setan. Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”
Dalam pada itu sekali lagi Agung Sedayu melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri disampingnya terdengar ia berdesis “Sedayu”
“Ya kakang” jawab Agung Sedayu serta-merta.
Namun Untara itu terdiam. Kembali matanya terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih mayat. Perlahan-lahan warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan perlahan-lahan kepercayaan Agung Sedayupun tumbuh pula.
Ki Tanu Metir, setelah meneguk minuman hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya dada anak muda itu, kemudian diurut-urutnya lambungnya pl.
Sekali lagi Untara membuka matanya. Ketika ia melihat Ki Tanu Metir beridiri disampingnya pula, maka tampaklah bibirnya bergerak.
“Kiai disini?”
“Ya ngger, aku melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar angger terluka”

15 komentar:

rizal mengatakan...

Mas Ubaid,
mohon maaf waktu janjian di TIS minggu lalu, saya datang terlambat sekitar jam 15.15. Saya membawa buku Api jilid 1 dan saya letakkan dimeja supaya kalau ada teman yang datang mudah mengenalinya
Sekali lagi mohon maaf ya, dan untuk mengurangi kecewanya, saya mau kirim obat penawarnya. Tolong emailnya ya
Utk sahabats yang lain, selamat menikmati kelanjutannya, menanti saat-saat sidanti terpaksa meninggalkan pasukan Pajang di Sangkal Putung...

Budi Y. Siswoyo mengatakan...

Matur nuwun, Mas Rizal .... saya senang sekali bisa mengikuti kembali AdBM ... mudah-mudahan bisa sampai tuntas jilid 396 ya he he .... kapan rencana ketemuannya ya? Salam buat semua penikmat AdBM .... (basuki.setiabudi@gmail.com)

Anonim mengatakan...

mas mau tanya... penulisan ADBM sekarang udah sampai seri berapa ya? (Jilid I ada 100 seri kan ya?)
Matur suwun mas......
(papar-persikmania)-- bukan dewi persik lho--

Anonim mengatakan...

Thank you mas Rizal. Keep on going ya? :-)

salam dari Purwokerto

Unknown mengatakan...

Terimakasih bro Rizal, ditunggu terus lanjutannya...

Anonim mengatakan...

tolong dong.. jangan disinggung dulu kelanjutannya biar penasaran seperti dulu .. :D
maap mas saya gak bisa dateng minggu itu .. next time lah

Anonim mengatakan...

terimakasih mas rizal, semoga selalu bisa berlanjut... mungkin kalau sudah agak banyak saya bersedia mbantuin untuk convert jadi format yang bervariasi. setidaknya saya tertarik untuk mengconvert jadi .lit file (ms reader) sehingga bisa portable kemana mana. bravo mas...!!!

roni

Anonim mengatakan...

Makasih mas Rizal...
Semakin menegangkan.. semakin tidak sabar nunggu kelanjutannya...

Anonim mengatakan...

Waduuh sorii banget mas rizal saya baru bisa buka email setelah 2 hari offline. Soalnya ada masalah di kabel modemku, sore tadi baru minta ganti ke indosat.
Iya nih, dulu kita belum bisa ketemu, tapi gapapa. Next time bisa di arrange lagi waktunya.
Lagian waktu itu saya sendiri juga ga bisa nunggu lama di TIS, karena mertua datang ke Jkt (mertua dari negeri jiran hehe).
Saya sendiri ngga kecewa banget kok, cuma kalo mau dikasih obat penawarnya... mau banget.
Boleh mas dikirim ke :
ctiubaid@yahoo.com atau
Ubaidullah.Mukhammadin@CHAMP-TECH.com

Makasih juga lho dgn 2 episode lanjutannya ini, langsung aku baca deh malem ini.
Tetap semangat ya

Anonim mengatakan...

Sekedar urun rembug. Saya kurang se7 dg usul mas Ubaid (komentar di seri 36) agar member mengisi identitas. Dunia ciber adalah dunia maya. Saya yakin nama2 yg tampil bukanlah nama2 asli. Lagipula, saya kira ada efek negatifnya. Karena, sisip sembirnya, bisa berkait dg masalah pelanggaran hak cipta.
Usul saya, Mas Ubaid dan Mas Rizal bisa menyusun list temen2 yg bisa bantu "ngeproof". Lima orang saja yg bisa bantu ngeproof akan sangat berarti. Selanjutnya Mas Rizal bisa kirim ke mereka hasil scan. Dikirim balik ke Mas Rizal untuk diaplod. Sebagai langkah percobaan Mas rizal bisa kirim OCR masing2 satu seri (katakan seri 45 dan 46) ke Mas Ubaid dan saya sendiri (email adres nanti saya kasih). OK, saya tunggu (DHE2K).

Anonim mengatakan...

SEBENARNYALAH... saya setuju2 aja gimana baiknya. Jika cara demikian bisa dimulai (usul DHE2K), saya bisa dikirim untuk episode yang agak jauh dari saat ini (mis episode 100-150). Saya bisa selesaikan dengan cepat karena dalam sebulan saya ada 2 minggu libur total. Cuma materi-nya yang gak ada. Terserah aja sih, kapan bisa dimulai. Yang jelas mulai besuk saya offline 2 minggu juga, soalnya harus mencari sesuap nasi ke laut..hehe.
Gimana mas rizal?

Anonim mengatakan...

siap bantu apa aja dan kapan aja... bisa dikirim ke naufalgoodson@yahoo.com............
menanti agung sedayu menjadi anak muda yang perkasa dan pilih tanding

Anonim mengatakan...

Nah Mas Rizal, sudah ada 3 orang yg siap. Gimana?

(DHE2)

Unknown mengatakan...

boss semua... setelah pasukan converter udah tersedia kayaknya pasukan logistik yang memasok bahan deh yang sekarang diperlukan... jadi kalo ada yang punya AdBM seri I-51 dst dan bisa discan silaken ngacung n di kirim ke pasukan converter, biar mas ridzal gak kerepotan men-scan sendirian. saya coba kumpulin seri2 akhir (IV-50 ke atas..) yang kayaknya masi ada di rumah nyokap hehehe... bravo buat kita semua

Anonim mengatakan...

Setuju bangggget Mas RIKO
(DHE2)