Senin, 28 April 2008

Api di Bukit Menoreh 40


Sisa gelap malampun semakin lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati Sidantipun menjadi semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun betapa mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya. Seandainya seseorang melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka mau tak mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada saat itu gurunya berada disampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan persoalan itu sendiri. tanpa gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara bahwa ialah yang telah melukainya. Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan pembunuhannya atas Untara. Seandanya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka itu, maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas.
Dengan demikian maka Sidanti semakin memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran itu telah bergeser dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung.
Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda didalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat kemudian kuda-kuda yang lainpun menjadi gelisah pua sehingga kandang itu menjadi ribut karenanya.
“Gila” geram Sidanti
Suara kuda itu pasti akan memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. karena itu, maka sebelum Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan.
Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan fajar, benar dilihatnyan beberapa orang berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya.
Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor harimau yang ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera mengakhiri pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. Tetapi ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah mengalir darah dari luka-luka ditubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidantipun telah mengalami tekanan-tekanan yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu.
Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil keputusan yang pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apapun juga. karena itu, maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar didinding kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu.
Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah kehilangan hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan hati yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan Sidanti benar-benar seperti tangan hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang senjata perguruannya, namun sepotong kayu itupun benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan beberapa kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti telah mempergunakan senjatanya untuk melawan dan berusaha membinasakan Agung Sedayu.
Sebuah pukulan yang keras telah mendorong Agung Sedayu kesamping. Berbareng dengan teriakan beberapa orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka Sidanti telah mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu yang terayun itu, karena itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan dirinya dengan membungkukkan badannya. Kayu itu menyambar beberapa jari diatas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba, Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga ia jatuh terguling. Kesmpatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, supaya ia tidak dapat mengatakan sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti mengangkat sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum sempat bangun kembali.
Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat Agung Sedayu itu terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu kekepala Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat untuk mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras.
Pada saat itu Widurapun telah sampai ketempat itu pula. iapun melihat sepotong kayu yang terayun itu. Namun jaraknyapun masih beberapa langkah lagi. karena itu, maka Widura itupun hanya dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi.
Sidanti sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa yang pernah didengarnya dari Untara. karena itu, maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itupun telah diangkatnya untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu menjadi pecah karenanya.
Tetapi justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu ditangannya dan kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi disekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah berdiri dekat dibelakangnya. Disamping kandang kuda itu.
Ketika kayu ditangannya itu telah sampai kepuncak ayunan dan siap untuk meluncur kekepala Agung Sedayu, Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar, itu adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah merubah segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul disekitar tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar sepotong besi yang meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur kepunggungnya.
Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman belakang kademangan Sangkal Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telaha menyobek punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya. Dilihatnya dibelakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata yang menyala, namun ternyata mulutnya menyeringai menahan sakit ditangannya. Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya.
Sidanti itupun menjadi semakin marah bukan buatan. Namun terasa luka dipunggungnya itu sedemikian nyerinya. Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya, sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak berdaya. Namun ia tidak mau jatuh dan mati ditempat itu. Dengan segenap kemampuan yang ada dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap wajah yang berada disekitarnya.
Dilihatnya Widura yang kini telah tegak dihadapannya dengan pedang tergantung dilambungnya, disampingnya Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang lain. Sidanti itu menggeram penuh kemarahan dan dendam.ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam persoalan ini.
Sidanti menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang Sangkal Putung, bahkan Sekar Mirah dan orang-orang lain.
Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini adalah harinya yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah gagal mempercepat jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ketingkat yang lebih tinggi. Bahkan sampati ketingkat yang paling atas. Dan kini ia harus mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu menjadi berbesar hati, ketika diingatnya gurunya berada ditempat itu pula.
Dan gurunya ternyata tidak membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri. dengan garangnya ia meloncat dai tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil berkata “Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai lawan dan siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti telah kalian anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti dengan curang, harus mendapat hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti yang dialami Sidanti”
Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar adalah jawaban Sedayu “Sidanti curang pula. kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti memungut sepotong kayu”
“Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak menyerang dari belakang”
Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak “Tutup mulutmu. Aku berkata kepada Widura. jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi”
Orang-orang yang berdiri disekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran orang yang sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar orang itu menyebut dirinya Ki Tambak Wedi.
Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir kedadanya. Maka jawabnya “Aku tidak akan memberikan hukuman apapun sebelum aku tahu benar, dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini terjadi”
“Persetan” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau jangan mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus menghukumnya?”
Widura mengerutkan keningnya. Yang berdiri dihadapannya adalah Ki Tambak Wedi. maka segala sesuatu harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi.
Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itupun membentaknya “Widura, buka mulutmu”
Widura sama sekali tidak senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia berpaling kearah Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia masih mencoba untuk berdiri tegak.
Dalam pada itu, Widura sedang menilai setiap orang yang berada disekitarnya. Dirinya sendiri, Agung Sedayu, sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung. Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan mungkin mereka bersama-sama.
Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak “Widura, jawab pertanyaanku. Kalau kau mau menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka aku tidak akan berbuat apa-apa”
Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. karena itu, maka jawabnya “Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin menyerahkan orang-orangku kepada siapapun juga, apapun kesalahannya. Aku sendiri yang harus melakukan hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka seandainya mereka ternyata bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti disini dan aku akan melihat apakah yang telah terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari semua jabatan yang berada ditempat ini, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang mencampuri urusanku”
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-kata Widura itu. Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih dibeberapa bagian itu, seakan-akan tegak dibawah ikat kepalanya. Tanpa sesadarnya tangannya menggenggam sabil bergumam “Setan. Apakah kaliah sudah bosan hidup?”
Sekali lagi Widura melayangkan pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula berkerumun disekitar tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari mereka telah membawa senjata-senjata mereka Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki Tambak Wedi adalah seorang yang ditakuti oleh hampir segenap orang disekitar gunung Merapi. Namun dalam melakukan kewajibannya, maka tak akan ada diantara mereka yang mengenal takut. Apalagi mereka dalam satu kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang itu Ki Tambak Wedi.
Namun meskipun demikian, sebagian besar dari mereka berada didalam kebimbangan. Widura sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak Wedi? sedang besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali dengan kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata didalam pasukan Macan Kepatihan itu bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah yang dapat dibinasakan oleh Sidanti itu. Apakah dalam keadaan yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, benar-benar menyesal, bahwa didalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu.
Widura itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula “Widura, jangan mimpi. Kau tidak dapat berbuat lain daripada memilih diantara dua. Menyerahkan anak muda yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama. Jawab”
Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena itu jawabnya “Ki Tambak Wedi. kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapapun orangnya, meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi. namun kami terpaksa mempertahankan sendi tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan kami telah bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti bersama-sama”
“Gila” teriak Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia terpaksa mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap dengan segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itupun tiba-tiba telah meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi, Ki Tambak Wedi melihat orang-orang yang berkerumun disekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut.
Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, segera dapat memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan didalam dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka itu. Namun setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan dapat menangkapnya, mengikatnya dan membawanya ke Pajang. “Hem” geramnya didalam hati “Apakah Ki Tambak Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?”
Sesaat halaman belakang kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Widura terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka. Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain.
Karena itu, maka suasana menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata kepada Sidanti “Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan memberimu sesuatu”
Sidanti yang luka itupun menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-benar tak akan memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi masish ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada dipendapa kademangan.
Dengan ragu-ragu ia berkata “Guru, bagaimana dengan senjataku?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya “Apakah keberatanmu dengan senjata itu. Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu”
Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut kesamping gurunya.
Tetapi Widura melangkah selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan bertindak terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua?
Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu bergerak, segera menggeram “Widura, aku akan pergi. Kalau kau membuat kegaduhan diantara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi. aku akan membuat timbangan diantara kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat dari kalian pasti akan mati bersama aku. Jangan mimpi mengikat tangan Tambak Wedi”
Dada Widura itupun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. karena itu, maka ia tetap tegak ditempatnya ketika Ki Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya.
Agung Sedayu menjadi gemetar melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia menatap wajah pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup mengatakan hasratnya untuk menangkap Sidanti.
Agung Sedayu terkejut ketika pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. ia tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa sesadarnya iapun beringsut dari tempatnya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan yang sangat cepat ditangan Ki Tambak Wedi itu telah tergenggam dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang dan alat pemukul lainnya.
Demikianlah, maka akhirnya Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan penuh pertimbangan Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan laskarnya yang masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi yang hanya seorang diri itu.
Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu menghantui Agung Sedayu, Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri.
Demikianlah, ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu bertanya “Paman, kenapa mereka itu kita lepaskan?”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, maka aku pasti akan melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban yang tidak sedikit dari antara kita”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya adalah seorang yang ditempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan sehingga karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan dipusatkannya dalam menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu, adalah bukan tanggung-jawabnya yang utama, sehingga juga dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itupun memeprhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu.
Sesaat kemudian orang-orang yang berkerumun itupun menjadi sadar bahwa bahaya yang dihadapinya telah menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi satu merekapun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata kepada mereka “Kambalilah ketempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan dapat berbuntu panjang”. Kemudian kepada ki Demang Widura berkata “Kakang Demang, apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?”
“Silakan, silakan” sahut Ki Demang.
Pintu butulan dinding belakang itupun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada kepentingan yang perlu. Mereka yang pergi kesungai kecil itu harus mengambil jalan lain, jalan disamping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau memanjat atau apapun yang ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinan-kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya.
Widura sendiri itupun kemudian kembali masuk kepringgitan bersama Agung Sedayu. Dilihatnya Ki Tanu Metir masih duduk ditempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu yang biru pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas “Kenapa wajahmu ngger?”
Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. Dikatakan semuanya yang telah dialaminya.
Ki Tanu Metir mendengarkan setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa sesadarnya ia berkata “Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan Sangkal Putung?”
“Ya” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sehingga pringgitan itupun menjadi sepi.
Diluar panas matahari mulai membakar dedaunan yang letih. Disana sini, dibawah batang-batang pohon yang rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada diantaranya yang berbaring-baring diatas helaian anyaman daun-daun nyiur tua.
Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah “Jadi Sidanti itu tidak kalian tangkap?”
Widura terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti oleh Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu.
Dengan ragu-ragu Widura menjawab “Tidak Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak muda itu, karena gurunya tiba-tiba datang melindunginya”
“Ki Tambak Wedi?” bertanya Untara
Widura mengangguk “Ya” sahutnya. “Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu sendiri, namun berapa orang yang harus aku korbankan?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat kemudian wajahnya menjadi tenang kembali.
“Bagaimana dengan lukamu?” bertanya Widura
“Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali”
“Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura
Tetapi Untara itu bertanya kembali “Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?”
“Ya” jawab Widura “Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru”
Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan menjadi pelik. Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam didalam hatinya. Kepada dirinya, kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu sendiri. Sekilas ia membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir menggeleng lemah. “Mudah-mudahan mereka segera dapat ditangkap” desah Untara
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? meskipun demikian Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir. Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula diantara mereka.
Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari senjata mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Gardu penjagaanpun masih juga diperkuat. Beberapa pengawas berkuda hilir mudik disekitar daerah kademangan Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. Hampir setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar dari rumah mereka. Bahkan ada diantaranya yang masih belum berani pulang kerumah sendiri. mereka masih saja tinggal dikademangan atau banjar desa.
Ki Tanu Metirpun kemudian tidak hanya megobati Untara, tetapi iapun pergi juga kebanjar desa. Dan dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka.
Bukan saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang dipasang oleh Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih menyusun kekuatannya disekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan bahwa laskar Pajanglah yang harus mengambil prakarsa memebersihkan mereka. Mereka tidak boleh menunggu saja di Sangkal Putung. Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan mereka disarang-sarang mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di Sangkal Putung akan lekas selesai.

1 komentar:

abreannequarles mengatakan...

What is the difference between American and European casinos?
The European 안성 출장안마 Casino Review will answer the important question, with 경기도 출장마사지 the aim 화성 출장마사지 of answering 충주 출장마사지 the question, how can you get the maximum outlay 양산 출장마사지