Senin, 28 April 2008

Api di Bukit Menoreh 39


Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Ya, aku terluka”. Kemudian desisnya “Sedayu. Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?”
Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta –merta ia melangkah lebih mendekati kakaknya sambil berdesis “Ya kakang, katakanlah siapa yang telah melukai kakang?”
Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu. Namun semuanya tertarik pula. karena itu, maka semua yang hadir disitu bergeser mendekat.
Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
“Jangan ngger” berkata Ki Tanu Metir “Jangan dipaksa”
“Hem” Agung Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Tohpati atau Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu menjadi lebih kuat.
Diluar, kabut yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi semakin ramai bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat kehitaman yang kelam diantara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka menyadari bahwa sebentar lagi, fajar telah menjenguk digaris kaki langit.
Kini mereka tidak dapat berdiri saja diseputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri sesaat kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu Untara yang terluka itu.
“Silakan paman” berkata Agung Sedayu.
Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri.
Telah lama Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan kesempatan itu kini datang. karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan kepadasan “Ki Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ketempat ini sebelumnya?”Ki Tanu Metir menggeleng “Belum ngger”
Widura tersenyum. katanya “Baru kali ini?”
“Ya” sahut orang tua itu
“Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?”
“Juga belum”
“Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?”
Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng “Belum ngger. Baru kali ini aku mengenal angger Widura”
Sekali lagi Widura tersenyum “Mungkin Kiai benar”
Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan terus.
Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-sekali dilihatnya Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka matanya kembali.
Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah yang melukai kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara.
Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu membungkukkan badannya sambil berbisik “Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, siapakah yang telah melukai kakang?”
Untara menarik nafas panjang. Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan tangannya “Tanganku masih lemah sekali” desisnya.
“Jangan bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya.
Untara mengangguk kecil. “Dimana paman Widura?”
“baru sesuci kakang” sahut Agung Sedayu.
“Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku”
“Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak”
“Dimana pamanmu?”
“Biarlah nanti aku sampaikan”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata “Agung Sedayu. Sebenarnya aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada diantara kita masing-masing yang berada ditempat ini untuk kepentingan yang lebih besar. Tetapi ternyata aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku. Kalau kali ini aku, maka mungkin lain kali paman Widura dan kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya bersama paman Widura”
“Ya kakang”sahut Agung Sedayu tidak sabar “Aku siap berbuat”
“Jangan orang itu mendapat kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung”
“Ya kakang, tetapi siapakah itu?”
“Dimanakah pamanmu Widura?”
“Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya”
“Ya. Memang harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat mengatakannya, maka ada kemungkinan ia segera akan kembali”
“Ya, ya” sahut Agung Sedayu tidak sabar.
“Anak itu adalah Sidanti”
“He?” alangkah terperanjat Agung Sedayu “Sidanti” ulangnya “Bagaimana mungkin? Bukankah ia berada disayap yang lain?”
“Sayap itu telah bergabung dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata Sidanti telah melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku. Tetapi aku tidak segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi Tuhan Maha Besar. Aku ternyata diselamatkan olehNya dengan lantaran Ki Tanu Metir”
Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan lagi, dilihatnya nafas kakaknya menjadi agak cepat.
“Kakang” panggil Agung Sedayu.
Untara memejamkan matanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia masih belum dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya “Aku akan beristirahat. Katakanlah hal ini kepada paman Widura”
Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya kakaknya menarik nafas dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis “Aku masih terlalu lemah. Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”
“Tidurlah kakang” jawab Agung Sedayu “Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan persoalan Sidanti”
“Jangan seorang diri” desis Untara.
Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun selama ini Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi, namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya.
Karena itu, maka demikian kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-cepat Agung Sedayu beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan. Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah diletakkannya disamping pembaringan kakaknya itu.
Dipendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti. Namun disudut pendapa itu tak dilihatnya seseorang. Karena itu dengan berlari-lari ia turun kehalaman dan langsung dicarinya dibelakang rumah.
Namun dibelakang rumah itupun tak ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah mengumpat-umpat disitu. Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu, dengan serta-merta ia bertanya “Mirah, kemanakah Sidanti?”
“Kenapa kau mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah “kenapa tidak mencari aku?”
“Aku tergesa-gesa Mirah”
“apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?”
“Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti disini? Barangkali kau tahu kemana ia pergi?”
Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum. bahkan kemudian ia melangkah keluar “Biarlah Sidanti pergi menurut kehendaknya sendiri. apakah kita berkepentingan atasnya?”
“Aku berkepentingan”
“Aku tidak”
“Mirah” Agung Sedayu menjadi jengkel karenanya “Aku sekarang sedang dihadapkan pada suatu keharusan untuk menemukannya. Dimana ia sekarang?”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. karena itu, maka itak tidak mau bergurau lagi. Jawabnya “Mungkin kesungai, mungkin ke prapatan”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah kepentingan Sidanti keprapatan> yang paling mungkin baginya adalah pergi kekali disebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering dimusim kemarau.
Agung Sedayu itupun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, tempat beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat itu masih terlalu pagi. Belum ada seorangpun yang pergi kesana, selain Agung Sedayu yang sedang mencari Sidanti itu.
Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok Untara, dilihatnya anak muda yang sedang terluka itu tidur. karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak mendekatinya.
Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali, diatas tikar pandan dan kembali meneguk air yang masih hangat-hangat kuku.
“Dimanakah Sedayu?” desis Widura.
“Ya, dimana angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir.
Mula-mula mereka menyangka bahwa anak muda itu sedang sesuci dibelakang. Tetapi setelah ditunggu beberapa lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti. karena itu, maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama dengan Ki Tanu Metir.
Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya. Dirabanya dada anak itu sambil bergumam “Pernafasannya menjadi bertambah baik. Mudah-mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya sepenunya kembali. Dalam keadaannya sekarang, maka angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan berkunang-kunang”
“Mudah-mudahan” sahut Widura.
“Mulai besok, angger Untara harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan menjadi segera kuat kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan oleh Sidanti. karena itu, maka katanya “Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh Sidanti?”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu karenanya.
“Bagaimana?” desak Widura pula.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi tegang. Dan akhirnya menjawab “Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?”
“Ya, tentu” sahut Widura heran.
Perlahan-lahan diraihnya obat dari Sidanti yang diletakkannya disamping kaku pembaringan Untara. Sekali lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura.
“Obat ini sangat berbahaya ngger”
“Kenapa?” bertanya Widura heran.
Sekali Ki Tanu Metir memandang kedaun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu ditundukkannya.
Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. karena itu, maka ia mendesaknya “Kenapa obat itu sangat berbahaya Kiai?”
Ki Tanu Metir berpaling kearah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia bergumam “Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat mempengaruhi peredaran darah”
“He?” Widura terkejut mendengar keterangan itu.
“Warangan ini” berkata Ki Tanu Metir “Akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah angger Untara akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya”
“Jadi….” Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya.
Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap maksudnya. karena itu, maka ia menyahut “Ya. Ternyata angger Untara benar-benar akan dibunuhnya”
Terasa keringat dingin mengalir ditubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa yang pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya pula. sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata “Kalau begitu, maka luka Untara itupun pasti dibuat oleh Sidanti”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya “Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali”
Tubuh Widura itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi. Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk berbuat hal-hal yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak muda itu telah kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri. membunuhnya untuk segera dapat menempati kedudukannya.
Widura itupun menjadi marah bukan buatan. karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya pedangnya dan disangkutkan dipinggangnya.
“Akan kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Aku harus menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini Untara, besok aku dan lusa Agung Sedayu”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun iapun berdiri juga. Widura yang telah siap untuk berbuat apapun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya anak itu membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya “Dugaan Ki Tanu Metir dan paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah mengatakan kepada Agung Sedayu”
“He” kembali Widura terkejut “Dimana Sedayu sekarang?”
“Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura”
Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan dihati Agung Sedayu terhadap Sidanti, seperti minyak yang tersekat didalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya, sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak.
karena itu, maka Widura pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata “Baiklah aku temui anak itu”
Untara tidak mengerutkan keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba beristirahat sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metirlah kemudian yang menungguinya sambil duduk ditasa tikar disamping pembaringannya.
Widura yang menahan kemarahan didalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar pringgitan. Diluar malam telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan dihalaman semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung Sedayu dan Sidanti dihalaman itu. karena itu, maka segera ia menjadi cemas.
Beberapa orang yang melihat Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya didalam hati. Widura itu dikademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa. Namun kini pedang itu tergantung dilambungnya.
“Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang.
“Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tudak tergantung dipinggangnya” sahut yang lain.
“Entahlah” gumam orang yang pertama.
Sementara itu Agung Sedayu yang berlari-lari kekali diujung halaman dengan gelora kemarahan yang menyala didadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia melihat dua sosok tubuh berjalan kearahnya. Namun tiba-tiba sesosok diantaranya segera lenyap dan yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu itu tidak sempat berpikir dan bertanya, siapakah orang yang satu itu yang kemudian bersembunyi. Namun yang ada didalam dadanya adalah kemarahan yang menyala-nyala.
Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak “Kau tlah berusaha membunuh Untara. Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya”
Sidanti terkejut. Jawabnya “Siapa bilang?”
“Untara sendiri”
“Omong kosong. Untara belum sadar”
“Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang”
Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa “Bagus” katanya “Aku yang berusaha membunuh Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu”
Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya.
Sidanti benar-benar terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. karena itu, maka ia tidak segera dapat mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung Sedayu.
Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang membara didalam dirinya. karena itu, maka kekuatannyapun seakan-akan bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat antara keduanya,
Benturan kekuatan antara Agung Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan kekuatan Sidanti yang tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting diatas tanah,
Namun me mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap kembali untuk mempertahankan diri masing-masing.
Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera menyerang kembali. Serangannya langsung mengarah ketitik-titik yang berbahaya pada tubuh Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap persoalan, maka dendam yang tersimpan dihati masing-masing itu kini seakan-akan tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka kini aia terlibat dalam suatu perkelahian dengan Agung Sedayu. karena itu, maka kesempatan ini harus dipergunakan. Ia harus bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah mengetahui bahwa dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti tidak dapat mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Ki Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang keadaannya. karena itu, maka Agung Sedayu itupun harus mati. Kalau Agung Sedayu sudah mati disini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan. Mudah-mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau demikian maka Untara itupun pasti akan mati. Tetapi kalau tidak? Kalau rencana itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan berakhir. Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-orang lain yang akan menuntunya? “Hem” sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya terletak pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan itu menjadi berlarut-larut. Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan tangannya meskipun ua berusaha untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak dengan senjatanya, tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah. karena itu, maka apapun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar.
Sedangkan Agung Sedayupun telah menyimpan dendam yang membara didalam dirinya. Sejak ia hadir di Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali tidak senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah menyebabkan pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi seorang tawanan yang dikurung didalam pringgitan. Anak muda ini pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu melindunginya dalam setiap kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh kakaknya itu. karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah kepadanya. Kepada Sidanti.
Demikianlah maka pertempuran itu menjadi seru sekali. Masing-masing telah menumpahkan segenap tenaganya dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak sekali mempunyai pertimbangan dikepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku.
Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. Meskipun persiapan-persiapan didalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untk menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti atas Agung Sedayu. karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatan-kesempatan yang lebih baik dari Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, Agung Sedayupun memiliki keadaan yang tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan menahan gelora yang menyala didadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu berangan-angan untk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. Namun setiap gejolak didalam jiwanya selalu disekapnya didalam hati. Kemudian setelah ia berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia dihadapkan pada persoalan yang langsung menyentuh perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak dengan dahsyatnya.
karena itu, maka tandangnyapun menjadi tidak menentu. Ia telah kehilangan kemungkinan untuk mempertimbangkan setiap geraknya. Hanya satu yang ada didalam hatinya, membinasakan Sidanti.
Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam tangkapan Sidanti adalah seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam perkelahianpun Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali diluar dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala yang lapar. Tidak hanya seekor, namun tiba-tiba karena luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan segenap ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan sedang berusaha bersantap dengan dagingnya.
karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya pula. dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu yang kuat, sekali-sekali berhasil mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan kembali serangannya datang membadai.
Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah seorang yang berbuat tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya sekali. karena itu, maka segera ia menyesuaikandiri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat kemudian Sidanti itupun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar dari Agung Sedayu.
Dengan demikian maka perkelahian itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-akan perkelahian diantara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan. Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan pengerahan tenaga.
Namun dalam perkelahian yang demikian itupun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih banyak dari Agung Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih keras, telah memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh Agung Sedayu.
Tetapi Sidanti itupun menjadi heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan segenap tenaganya, dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting, demikian ia bangun kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak pernah membekas, seakan-akan tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit.
Sebenarnya Agung Sedayu sudah war inguten, ia seolah-olah kehilangan segenap perasaannya. Bahkan rasa sakitpun seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang membakar dadanya telah menjadikannya nggegirisi.
Sidanti benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan? “Omong kosong” katanya dalam hati. Dan geraknyapun semakin dipercepatnya.

Tidak ada komentar: