Senin, 28 April 2008

Api di Bukit Menoreh 42


Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan pedang telanjang ditangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan ujung ikat kepala mereka yang berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian malam yang dingin.
Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah menahan nafas mereka.
Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya.
“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu.
Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser dari tempatnya semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula.
“Suara apakah itu paman>” ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya.
Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih saja terdengar diantara rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti suara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu arahnya.
Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata “Agung Sedayu. Mereka pasti sedang bertempur”
“Siapa?”
“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing”
“He?” Agung Sedayu itupun terkejut. “Dimana?”
“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam gelap itu. Mereka bergeser dari satu tempat kelain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-akan terjadi dilangit yang kelam”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar dapat dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada pamannya “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki Tambak Wedi?”
Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap didalam genggamannya. Jawabnya “Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan tenaganya telah membuktikannya”
“Apakah paman pernah melihat?”
“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar suara gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh dan berkisar dengan cepatnya.
“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu.
“Kemana?” bertanya pamannya.
Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru.
Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat pameran kekuatan yang mengagumkan.
Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari segenap arah.
Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus bertempur melawan salah seorang dari mereka.
“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu didalam hatinya “Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi”
Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu.
Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-kadang keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali ditempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga mereka dapat beterbangan berputar-putar.
Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa dilangit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai langit.
Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, siapakah diantara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu.
Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang berkilat-kilat ditangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat dihalaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. dengan senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu.
Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya menyambar-nyambar kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak retak.
karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang menyambar-nyambar.
Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu apakah jadinya mereka berdua?
Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir didalam dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya “kte itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku tetap berada ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama dengan paman Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri”
karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan lantang sambil mengayukan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya “He, orang yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?”
Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya “Bukan apa-apa. kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki Tambak Wedi”
“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?”
“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram didaerah ini”
“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami sendiri. apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?”
“Ada” sahut Kiai Gringsing “Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga dengan demikian hidupkupun akan terancam”
“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?”
“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu yang bernama Sidanti?”
“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau yang aku jumpai dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?”
Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing menjawab “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih ingat?”
“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi “Dan didaerah ini jarang-jaranglah orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau mampu bertahan beberapa lama”
Kiai Gringsing menggeram. Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan runtuh?”
“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun”
“Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu”
“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa diantara angkatan tua yang akan dapat merajai lereng gunung Merapi”
“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing “Tetapi aku juga tak ingin dirajai”
Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti akibatnya akan sangat dahsyat.
Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka baginya.
Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah depa sampai keujung juntainya.
Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing.
Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit.
Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan tangan-tangan kiri mereka.
Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi kau dengan letupan yang memekakkan telinga itu?”
“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya.
“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang pagi terbenam”
Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan ujung-ujung cambuknya.
Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan.
Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang mereka miliki.
Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu.
Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak-gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang menyebarkan maut.
Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti disekitar gunung Merapi itu terpaksa mengakui keadaannya kini.
Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini”
Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak Wedi berkata “He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka dimuka banjar desa Sangkal Putung”
“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya “Selama aku masih ada, maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan ikut campur pula. kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan kau bersama-sama”
“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya.
Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar.
Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu sempat berpikir “Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang bernama Kiai Gringsing”
Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata “Agung Sedayu, mari kembali ke kademangan. Cepat”
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu, maka Agung Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena itu maka Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya.
Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap panjang-panjang.
Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah “Kenapa paman berlari-lari?”
“Tidak apa-apa” jawabnya.
Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan disamping pamannya.
Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura itu berjalan tenang-tenang.
Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut kebiasaan meskipun agak terlambat.
Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa “Agak terlambat Ki Lurah pulang”
“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya mendesaknya “aku berhenti di beberapa gardu perondan”
Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut “Adalah sesuatu yang perlu diperhatikan?”
“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata “adalah seseorang yang baru saja memasuki regol ini?”
Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala penjaga itu menjawab “Tidak. Sepengetahuanku tidak”
“Sama sekali tidak?” desak Widura.
Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab “Tidak Ki Lurah”
Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu “Kalau begitu kita lebih dahulu sampai”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Sst” desis Widura.
Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata “Ki Tanu Metir, maksud Ki Lurah?”
“He?” bertanya Widura.
“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang dilakukannya setiap hari”
“Setiap hari?” bertanya Widura.
“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap orang yang bertugas diregol ini melihat, bahwa orang tua itu selalu pergi berjalan-jalan dimalam hari”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum “Marilah Agung Sedayu” ajaknya.
Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan naik kependapa, maka ia ikut juga dibelakangnya.
Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, disamping Ki Demang dan Swandaru.
“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu melangkah masuk
“Ya Kiai” jawab Widura.
“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari benar-benar dapat memberi kesegaran padaku”
Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura.
“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir
“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura.
“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya”
“Aku juga” sambung Widura “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu berkeringat apabila aku kedinginan”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Apakah kau berkeringat?”
“Ya, seperti Kiai juga”
Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum sambil berkata “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian kepada Swandaru ia bertanya “Begitu bukan angger Swandaru?”
“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..”

55 komentar:

rizal mengatakan...

Sahabats,
mari kita ikuti terus aksi dan tandang Agung Sedayu selanjutnya khehehe.. mudah2an ga bosan nunggunya ya....
Untuk sahabats yang mempunyai sisa buku tua ini digudang atau tumpukan koran bekas dan berkenan sumbang waktu dan tenaganya utk retype ADBM ini, mungkin bisa lakukan saja meski serinya tidak lengkap atau loncat2 (kayak kodok ya..). Tinggal kirim ke email saya utk digabungkan. Pasti sangat membantu lho...
Semoga berkenan dan selamat membaca

Anonim mengatakan...

makasih banget mas...

Anonim mengatakan...

AKHIRNYA... DATANG JUGA....
Sudah lama banget nungguinnya mas Rizal. Makasih... makasih... makasih...

Anonim mengatakan...

makasih mas Rizal .....emang klw baca ADBM..terasa ingetan kita jauh ke belakang..kayak nonton TV...Acara Zona-80 di Metro TV......Zona-80....MASIH ADA

Anonim mengatakan...

akhirnya ................

tony mengatakan...

thx ya mas rizal, setelah seminggu lebih akhirnya kluar jg hehe..

Unknown mengatakan...

thanks banget buat bro rizal...
akhirnya keluar juga langsung 4 episode....

yunus mengatakan...

Mas rizal thx banget..., saya baru kenal ADBM waktu kuliah..itupun hanya denger2 aja...
dan tertarik baca waktu bekerja, itupun udah bagian tengah2...

klo bisa kita kumpul2 jd ada yg ngetik sekian jilid trus digabungin deh.
salam
yunus

Anonim mengatakan...

matur nuwun sanget kang Rizal....

Anonim mengatakan...

Horeee... empat episode!!! :-D Thanks berat mas Rizal.. jangan bosan meneruskan ya?

ibun lungsur mengatakan...

Hatur nuhun kangmas .....

pasingsingan mengatakan...

trimakasih mass...

ditunggu kelanjutannya
kyai gringsing vs kitanumetir :D

radenronggo.blogspot.com mengatakan...

terimakaih mas Rizal.

Anonim mengatakan...

Untuk siapa saja: Kalo ada yg bisa nyecen, saya bisa bantu ngeproof. Kirim ke email saya dedeprativi@yahoo.com. Saya tunggu (DHE2)

Anonim mengatakan...

Saya ada bendel APDM seri 2, namun serinya loncat-loncat dan tidak lengkap. Saya udah mulai re-type. Siap support Mas Rizal.

Unknown mengatakan...

syedapppp.....temans, mohon kalo lagi nge scan atau re-type di"lapor"kan ke blog ini, sedang menggarap seri no berapa, biar nggak duplikasi dengan yg lain ya... for mas rizal: tetap semangat....:)

haris widjanarko mengatakan...

matur suwun mas, aku udah lama menanti, dan keluar 4 langsung surprise dech. mas rizal slamat berjuang teruskan blog ini sampai tamat. suwun

Anonim mengatakan...

mas rizal mau nanya ya...
kalau versi buku asli, sekarang udah sampai jilid I seri berapa ya..????
trims banget....
(papar-persikmania)

malang.blogger.com mengatakan...

Api di Bukit Menoreh baik sekali untuk menggugah anak-anak saya agar bisa berjiwa besar seperti Agung Sedayu, thank you Mas Rizal

Anonim mengatakan...

Halo kawan2... pa kabar??
Bari bisa gabung lagi nih. Sebenarnyalah..mas rizal kemarin telah mengirim obat penawar hati ke saya, tetapi dampaknya luar biasa. Saya jadi ketagihan sama obat tsb. Mau tahu?? Jangan deh..nanti bisa gak seru lagi blog ini.
Mas Rizal atau kawan2 lain yang punya AdBM seri-2, -3 dan seterusnya, jika sudah di scan bisa kirim ke saya, segera saya convert dan editing dan saya kirim balik ke pengirim dan mas rizal. Mumpung sekarang saya libur total 2 minggu.
Target kita sih AdBM bisa diselesaikan postingannya dalam beberapa tahun saja. Kalo nggak, bisa 20 thn lebih baru selesai.
Ditunggu responnya..
Mas Rizal, sekali lagi terima kasih untuk obat penawar hatinya, tetapi karena obatnya sudah habis, sekarang saya harus nunggu lama untuk dapat obat berikutnya..hehe (ubaid)

Anonim mengatakan...

misteri juru obat ki Tanunetir.....benarkah sosok sakti ini (ketika menjelma menjadi kiai Gringsing)adalah keturunan terakhir trah brawijaya/majapahit dengan perguruan windujatinya? penasaran? ikuti terus kebaikan hati mas Rizal........' Salam salut dan tksh buat bung Rizal

Anonim mengatakan...

misteri juru obat ki Tanunetir.....benarkah sosok sakti ini (ketika menjelma menjadi kiai Gringsing)adalah keturunan terakhir trah brawijaya/majapahit dengan perguruan windujatinya? penasaran? ikuti terus kebaikan hati mas Rizal........' Salam salut dan tksh buat bung Rizal

Unknown mengatakan...

Setuju sama mas Ubaid, ADBM terdiri 396 seri, kalo 1 hari 1 seri aja setahun lebih baru selesai.

Maka kalo bisa 1 hari paling tidak 1 seri ya.., thx.
kalo butuh tenaga buat ketik, saya sanggup.

Anonim mengatakan...

sobat2.. mari kita perangi pengaruh komik2 impor yang meracuni anak2 kita, baik yang ditayangkan tv maupun buku2 cerita (kebanyakan tokoh wanitanya seksi2 dan berbusana minim). kita angkat kembali cerita adiluhung tanah air. kembali mencintai produk dalam negeri.

Anonim mengatakan...

setuju rek.... SETUJU BANGET..
kita gali kembali nilai nilai budi pekerti luhur dalam cerita dalam negeri.... trus kita tularkan kepada anak cucu kita....
maju terus cerita rakyat dalam negeri...
(papar-persikmania)

Anonim mengatakan...

Pertama, saya senang gabung dng semangat mas Rizal cs..salut tenan! kedua, saya ingin komentar bahwa saya seakan kembali waktu SMP dulu (70-an)kebetulan saya dilahirkan di daerah Klaten tempat bergolaknya semangat Untara jadi enjoy betul "melanglang" imaginasi meski udah baca untuk kesekian kali (meski belum khatam). ketiga, setuju bahwa Cerita Silat yg adiluhung penuh dng satir2 filosofi jawa harus diteruskan ke generasi anak-cucu kita. kalau ngga' kita, siapa lagi yang mau peduli?

Anonim mengatakan...

saya perlu ceritakan, semangat baca ADBM yg dimulai dari nggathok baca seri NSI sempat terhenti sejak saya kuliah dan kerja di JKT.. tak pelak rasa "haus" ttg misteri kiai Grinsing bergolak kembali pada waktu berita wafatnya "sang empu" SH MINTARDJA di era 80-an..Sampe2 saya berburu buku dgn cara sewa di salah satu pojok psr jatinegara scr bersambung dng cerita akhir (jika tak salah ingat), ketika Raden Rangga persiapan menyerang seekor naga di suatu goa...dst..dst, pokoknya asyik tenan n bravo buat mas Rizal!

Anonim mengatakan...

DHE2 BERKATA:
Menurut saya kita sudah harus memulai pekerjaan besar ini. Mas Rizal sejauh ini sudah bekerja keras sendirian. Nah, sekarang begini saja: Yang bisa nyecen silahkan ngacung. Kalo tidak ada, saya sendiri gak tahu gimana kita mengeroyok pekerjaan besar ini. Kalo tukang "ngeproof" saya yakin banyak. Saya sendiri sudah sejak lama menawar2kan diri mbantu ngeproof. Tapi ya gimana, wong yang mau di "proof" gak ada ...

Anonim mengatakan...

DHE2 BERKATA:
Maaf kalo banyak komentar. Setelah tengok2 komentar temen2 saya bisa kumpulkan beberapa nama yang sanggup ngeproof. Mereka adalah: Aku sendiri (DHE2), UBAID, RIKO, YUNUS, YANGGA, BABEHICA, PERSIKMANIA. Sepanjang dugaan saya tak satupun dari pasukan ini yang punya naskah aslinya. Jadi, sekali lagi yang bisa nyecen silakan ngacung. Kalo gak ada, ya apa boleh buat ... kita tunggu Mas Rizal. Mudah2an Mas Rizal mau membagi kerepotan dengan mengirimkan hasil sken ke kita2. Dengan begitu speed nya bisa bertambah. Gimana Mas Rizal???

Anonim mengatakan...

Numpang kenalan, saya Julius. Mas Rizal keliatannya sibuk besar nih.... yang ditunggu-tunggu belum muncul-muncul juga he..he.. Banyak yang merindukan.
Energi untuk ' kerja bakti dan gotong royong' makin kayak bola salju. Tinggal re-arrange copy darat yang dulu belum kelakon. Kebetulan saya ngantor di Tebet - tetanggaan dengan Bung Ubaid yang sudah kehabisan obat itu - dan siap cancut tali wanda untuk ikut kerja bakti. Kalau ngumpul di Tebet ingin ikutan.....

Mas Rizal, semangat terus... berkobar kayak api Menoreh ya....

Salam ADBM,
Juius.

Anonim mengatakan...

Thanks berat mas Rizal

Saya siap bantu mengetik.

Salam
Handoyoz@yahoo.com

Anonim mengatakan...

Nah...semakin bertambah nih yang siap jadi pasukan bodrex.
Berarti semakin banyak yang penasaran...hehehe

Anonim mengatakan...

Mas Rizal...usul nih.
Gimana kalo setiap kali kita ganti seri/buku berikutnya, gambar sampulnya juga ikut ditampilkan?. Dengan demikian kita yang baca juga bisa mengetahui pada buku ke berapa saat tsb. Disamping itu, dapat ikut membantu dalam imaginasi sekaligus terkenang pada buku yang sebenarnya. Gambar sampulnya diperkecil juga boleh. Saya percaya kawan2 juga akan suka, apalagi untuk para generasi usia 3o thn ke atas yang pernah lihat bukunya, meski cuma dapat dari pinjaman...

Anonim mengatakan...

selamat sukses

Anonim mengatakan...

Mas rizal makasi bnyk neh...Makin penasaran aja saya baca ceritanya.Kita tnggu neh lanjutannya...Malah saya udah baca yg seri2 tp mentok jg ga ada lanjutannya cm nyampe jilid 100 mudah2an mas rizal ga bosen2 postingnya ampe jilid terakhir...Hehe,pkknya mantap lah buat mas rizal..

Anonim mengatakan...

Oh ya,saya lom kenalan neh sama sahabat2 adbm...Salam kenal aja buat mas rizal tentunya,dhe2,ubaid,riko,yunus,persikmania,yangga,bebehica,dan sahabat adbm lainnya.

Anonim mengatakan...

Dear Mas Rizal,

Help Me Mas.....
Sudah sakaw nih....
Kepala Pusing, badan Meriang 2 minggu tidak baca Api.

He...He....

Thanks

Anonim mengatakan...

Dear Mas Rizal,
Waah mas jadi manusia paling dirindu dan dicari neeh.... Gawatz lho Mas udah ada yang sakaw menunggu postingan AdBM. Dimohon pertanggungjawaban sampeyan yang sudah menebar racun ini he..he...
Aniwey mudah-mudahan tetap sehat dan hanya karena sibuk saja sehingga belum ada postingan baru.

Teeetaaaaap seeemangaaat Mas Rizal.

Regards,
Julius - Tbt yg tengok blog 3 x sehari

Anonim mengatakan...

Semoga almarhum Bapak SH. Mintardja tenteram di alam sana. Dan semoga mas Rizal diberi panjang umur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pekerjaan mengetik ulang cerita Api di Bukit Menoreh ini kelihatannya sepele tapi sesungguhnya adalah pengorbanan yang tiada percuma dan besar sekali pengaruhnya kepada kita.
Rasanya jiwa ini ikut melayang bernostalgia ke masa lampau. Seakan ikut masuk ke dalam alur cerita. Menempatkan diri diantara para tokoh cerita.
Berbahagialah orang-orang yang masih mencintai kisah-kisah leluhur meskipun hanya berupa khayalan. Saya doakan dari sini untuk menambah semangat mas Rizal agar tak kunjung padam.
Toziega Asri Jombang, 14 Mei 2008.

Anonim mengatakan...

He he.. sabar ya temen-temen semua.. terutama buat julius-tbt. Kita harus melatih kesabaran seperti halnya Agung Sedayu berupaya tetep sabar menghadapi kesombongan Sidanti, he he he... Mas Rizal tetep semangat kok membantu menyenangkan kita. Ayo kita dukung aja Mas Rizal untuk mngerjakan proyek besar ini. Saya siap bantu ngetik mas, asal ada bahannya, betul seperti yang dikatakan DHE2, saya gak punya buku ADBM tsb. Salam kenal juga buat Bayu... (Papar-Persikmania)

Anonim mengatakan...

".....hehmm, lanjutan api di bukit menoreh ditunggu sambil dheg2an oleh penjaga bukit soeharto, kalimantan timur nih bung Rizal...." buat shbat penikmat berat adbm, sepertinya saya juga punya berpuluh seri adbm tetapi tdk lagi urut, maklum dipinjam sini-sana dan....biasa, larut..." Sedapat mungkin akan saya kumpulin kembali, siapa tahu ada manfaatnya nanti..." salam buat pengagum bung Rizal..., eh ADBM..., eh dua2nya"

Anonim mengatakan...

".....hehmm, lanjutan api di bukit menoreh ditunggu sambil dheg2an oleh penjaga bukit soeharto, kalimantan timur nih bung Rizal...." buat shbat penikmat berat adbm, sepertinya saya juga punya berpuluh seri adbm tetapi tdk lagi urut, maklum dipinjam sini-sana dan....biasa, larut..." Sedapat mungkin akan saya kumpulin kembali, siapa tahu ada manfaatnya nanti..." salam buat pengagum bung Rizal..., eh ADBM..., eh dua2nya"

Anonim mengatakan...

Iya nih sudah mulai harap-harap cemas. Berulang-ulang melongok blog ini, tapi seri 43 dan seterusnya belum juga terbit. Sampai-sampai saya yang sudah ngebet banget untuk membaca kelanjutannya, mencoba cari tempat penyewaan komik dan buku cerita silat. Tapi belum berjumpa tempat yang menyediakan AdBM. Yah, jadinya tambah pusing deh he he. Anyway, tetap semangat Mas Rizal (apa Uda Rizal ya pantesnya? he he), semoga dimudahkan segala urusannya. Amiiiin!

Anonim mengatakan...

Sabaaar kawan... lihat aja bentar lagi episode berikutnya pasti nongol.
Memang ini yang jadi kemauan mas Rizal..., menunggu rasa penasaran penggemar sampai pada puncaknya, untuk kemudian diledakkan bersama-sama. Begitu episode berikutnya nongol, maka yang terjadi adalah pekik histeris "YESSSSSS....", sehingga tertumpahlah segala rindu dendam. Karena itu, bersiap-siaplah...

Anonim mengatakan...

Sahabat yang di kaltim, jika sampeyan memang masih ada seri AdBM meskipun tidak lengkap, mungkin bisa ikut urun waktu dan tenaganya untuk scan, Kalo bisa sampeyan sebutkan punya seri ke berapa saja, nanti bisa dikomunikasikan ke mas rizal mana yang perlu retype/scan. Sehingga sedikit banyak akan membantu. Kalo sampeyan gak ada waktu untuk convert, bisa dikirim ke saya, dhe2 atau kawan2 yang sudah menyatakan kesediaannya. Ditunggu ya...

Anonim mengatakan...

He..he..he udah pada keracunan adbm,gue aja udah bolak en balik nengok blog ini belum nongol juga adbm 43. mas rizal memang pinter bikin orang penasaran. klo gue sih nunggu kelanjutan adbm ini... suuudaaah....nggak tahaaaaaan..!

Anonim mengatakan...

Temans,
Mari kita doakan Mas Rizal agar dilancarkan segala tugas dan urusannya, sehingga tugas berikutnya untuk menjadi penghibur kita bisa lancar.... he he... hee doanya orang sakaw nih... Tapi jujur Mas kita menanti dengan sabar.

Atau adakah - atas perijinan Mas Rizal tentu saja - ada yang mau inisiatif koordinir langkah nyata untuk membantu dan mensuport beliau yang sudah merelakan waktunya memulai projek ini?

Gimana Bung Ubaid, Dhe2, Riko, Babehica, Mas Persik dan juga eyang Beno, Mas Siswoyo waah banyak deh..pasti sukaralewannya?

Julius - Tbt.

Anonim mengatakan...

Mungkin kemunculannya akan di genapkan sekaligus dari no. 43 s/d 50.. Mantabkan Mas Rizal?
Saat ini saya ada buku adbm nomor serial 89 s/d 99. Gimana Mas Ubaid,.. berkenan untuk meretype ulang dan mengumpulkannya ke mas Rizal?

Anonim mengatakan...

Nah.. sudah ada yang punya buku 89-99. Bagus tuh dan saya bersedia untuk retype, bisa dikirim ke saya atau via jumpa darat ma kawan2 dulu. Masih cukup jauh dari alur cerita episode 42 sekarang. Jika menurut mas rizal, tiap buku ada 80 hal, dan setiap episode ada 9-10 hal, berarti satu buku bisa 8-9 episode. Dan episode 42 berarti baru mencapai buku ke-5 atau ke-6.
Mas Julius, kita-kita bisa ketemuan dulu ma kawan2 yang lain, bisa diatur waktu dan tempat. Cuma dalam waktu dekat saya ga bisa ikutan, mulai besuk saya ke Bali 3 hari trus ke laut 2 minggu. Jika waktunya bisa diatur setelah itu, saya ikutan ngumpul.

Anonim mengatakan...

Kalo mo pada ketemuan, saya mohon ijin. Jauh sekali dari Jkt. Buat mas Julius Tbt, mungkin bs cari pinjam di persewaan komik (kalo masih musim). Terus discen.
Buat Boss Rizal, tolong beritahu sekarang kita dah dibuku ke berapa. Info ini penting buat PENJAGA BUKIT SUHARTO di Kaltim yang punya koleksi beberapa puluh buku. Hasil scen silakan kirim ke email saya. Pasti direspon dgn cepat. (DHE2)

Anonim mengatakan...

Sayang bgt saya msh buta ma kompi buat scan hehe..Jd malu .,padahal saya msh pnya adbm jilid:44,81,82,85,86,92,93,94,95,96,97,99,100.Dan adbm seri2...

Anonim mengatakan...

Bener lho, mas Rizal pinter banget bikin orang "kelimputan" nunggu ADBM 43 dst.

Tak tunggu yo mas postingane, muatur suwun banget. Saya juga mau lho mbantu ngetik asal dikirimi hasil scan'e, lha soalnya saya ndak punya materialnya.

Kirim aja ke seno_yudho@yahoo.co.id.
di enteni yo mas kabare...

Anonim mengatakan...

Bung Rizal,...untuk bulan mei kok belum muncula yang baru. Semangat, he3x. Tanto

Joe mengatakan...

Halo maz Rizal, thanks berat atas ADBMnya. Ayo maju terus, ditunggu nih no 43 s.d. 50nya. Saya sudah demam tinggi untuk menunggunya, sehari 2x saya tengok situs ini, jadi seperti makan obat malaria saja, he...he...he....

Unknown mengatakan...

mas rizal,,,sebagai penggemar cerita nenek moyang (termasuk api bukit menoreh),,,kalo saya mau menyumbangkan cerita seri2 yg lainnya bagaimana format pengetikannya (apakah via word/excel),,,serta email kemana?
tx
Okie DK
0812 8338317