Senin, 28 April 2008

Api di Bukit Menoreh 41

Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut perhitungannya, kekuatan Macan Kepatihan masih vukup banyak untuk mengimbangi kekuatan laskarnya. Dan didalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, dan beberapa orang penting yang lain.
Untarapun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu akan segera dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu.
Namun ketegangan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak segera mengadakan penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Irengpun pasti mempengaruhi keadaan mereka. Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak diseputar Sangkal Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru. mereka semakin lama menjadi semakin kehilangan perhatian atas orang yang menakutkan itu.
Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja mengawasi sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malampun ia masih berjalan dari satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya stiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya yang sebenarnya masih saja berada disekitar Sangkal Putung.
Namun ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya bagi dirinya dan Agung Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka.
Demikianlah, ketika mereka sedang nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum mereka sampai keujung jalan yang mengelilingi daerah gunung Gowok. Mereka terhenti ketika mereka melihat sesosok tubuh berjongkok ditepi jalan itu.
Widura bukanlah seorang anak kecil yang bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi curiga. Karena itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanyapun berhenti.
“Kau lihat orang itu?” bertanya Widura berbisik.
“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
“Siapa menurut dugaanmu?”
Agung Sedayu menggeleng “Entahlah”
Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya “Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak Wedi atau Tohpati”
“Tohpati tidak akan seorang diri berada ditempat ini” sahut Agung Sedayu.
“Mungkin saja” jawab Widura. “Beberapa orang lain berada ditempat lain pula. atau orang yang diumpankannya untuk memancing kita”
Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru saat itu mereka menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah berada dipelupuk mata mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah melupakan kemungkinan ini. Namun kelengahan itu telah membawa mereka kedalam satu bahaya.
Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapapun yang akan mereka hadapi. Karena itu, maka Widura itupun kemudian berkata “Marilah kita lihat, siapa orang itu.”
“Kita tidak usah mendekat” berkata Widura.
“Lalu bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu
“Biarlah ia yang mendekat.”
“Apakah ia mau?”
“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu lagi. Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya ditepi jalan. Namun demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba2 harus dihadapinya.
Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya. Karena itu, maka iapun berjalan menepi pula, dan berjongkok berhadapan dengan pamannya itu.
“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau ia akan bertahan ditempatkannya, maka biarlah kita tunggu disini sampai besok siang.”
Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. Seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa laskar Jipang.
Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa perhitungan, yang dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak menguntungkan sekali seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan laskarnya?”
Widura mengangguk-angguk. “Kau benar Sedayu” katanya “tetapi kita sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi? Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur pula.”
“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?”
“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.”
Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat diungkiri. Seandainya mereka berjalan kembali, maka orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apapun yang akan dapat dilemparkannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan daya bidiknya. Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang yang berjongkok dipinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun mengumpulkan beberapa butir batu yang berada disekitarnya.
“Untuk apa?” bertanya Widura.
Agung Sedayu tersenyum meskipun masam. “Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita siapapun ia, maka aku akan menyerangnya sebelum orang itu mendekat.”
Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya “Tak ada gunanya.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya.
Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir jalan. Orang yang berjongkok itupun tidak bergerak. Orang itu masih juga berada ditempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu adalah menjadi semakin lama semakin gelisah
“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura “tetapi biarlah. Kita akan tetap berada ditempat ini.”
“Ya” sahut Agung Sedayu pendek.
Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati.
Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan Agung Sedayu telah memuncak, maka ia berkata “Paman, biarlah aku mencoba melamparnya dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.”
“Jangan” jawab Widura “kita jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja membuat kita gelisah.
Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan yang menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir pingsan dibuatnya.
Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok dihadapan pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk disini Widura.
Sebenarnya Widura itu sendiripun menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil mengendalikan dirinya. Ia masih tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila terjadi sesuatu.
Di kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara yang telah menjadi berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya orang tua itu menjawab sekenanya.
“Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara
“Hem” sahut Ki Tanu Metir sambil menguap “aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat eperti ini. Kalau tengah malam sudah lampau, biasanya barula haku mengantuk. Tetapi kali ini mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi”
“Kenapa?” bertanya Untara
“Mungkin aku makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir
Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan keluar. Baru segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. karena itu, maka Untara bertanya pula “Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin berjalan-jalan?”
Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap. Jawabnya “Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi kali ini rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah”
“Ya” jawab Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang yang terluka dan dirawat dibajar kademangan. karena itu, maka Untara itupun kemudian berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata “angger Widura dan angger Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini masih belum kembali”
“Apakah ini telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara
“Hampir tengah malam” sahut Ki Tanu Metir “Biasanya pada saat-saat begini mereka telah kembali”
Untara tidak menjawab. mungkin sekali mereka berdua berhenti disalah satu gardu perondan. Berkelakar dengan para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir berpendapat lain. Katanya “Hem, aku menjadi semakin mengantuk”
“Tidurlah Kiai” berkata Untara “Lebih baik ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat diperlukan disini”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata “Setiap malam aku keluar berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku hilang. Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan berkurang”
Untara tertawa. Jawabnya “Jangan terlalu jauh Kiai”
Ki Tanu Metir tertawa pula “Kenapa?” ia bertanya.
Kembali Untara tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. Karena itu, maka jawabnya “Nanti Kiai jadi lapar lagi”
Ki Tanu Metir itupun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar percakapan itupun tertawa pula. sambungnya “Jangan takut Kiai, didapur masih tersedia ubi rebus”
“Terima kasih” sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih. Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya”
Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi ia melangkahi pintu, maka terdengar Ki Demang berkata “Apakah aku perlu mengantarkan Kiai?”
“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat “Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-jalan sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke gardu-gardu peronda”
“Jangan ke gardu peronda. Dijalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya”
“Oh ya, baiklah” berkata Ki Tanu Metir
Kemudian Ki Tanu Metir itupun pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani Untara. Dalam kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju kegerbang halaman.
“Selamat malam Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas “Apakah Kiai akan berjalan-jalan?”
“Ya” jawab Ki Tanu Metir
Orang yang sedang bertugas itu telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam berjalan-jalan keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk menguap disamping regol berkata “Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak lebih senang tidur saja?”
“Uh” sahut Ki Tanu Metir “Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam”
Dan Ki Tanu Metir itupun berjalan tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun setelah cukup jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panajang. Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu berjalan tergesa-gesa. Gumamnya “Hem, kenapa hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan? Justru hari ini angger Widura dan angger Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada seusatu yang mengganggunya”
Meskipun demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu Metir itu sama sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya dihadapannya sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan hilang dibalik pagar. Kini orang tua itu menyusup diantara rimbunnya dedaunan dan dengan cepatnya berjalan melingkari gardu perondan itu.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk dipinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak dapat menguasai dirinya lagi. karena itu, maka katanya “Paman, aku dapat menjadi gila karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah keperluannya”
“Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri”
Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat melawan perasaan gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh keringat dingin yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya.
Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada pamannya “Paman, apakah bedanya, seandainya kita harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?”
“Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. Tetapi kalau orang itu Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau kita berada disini, maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. Bahkan seandainya orang itu Ki Tambak Wedipun maka mereka akan lebih banyak waktu untuk memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu lama?
“Agung Sedayu” berkata Widura “Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu sudah kita mulai. Dalam taraf ini kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing. Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan ketenangannya pasti akan kalah”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata “Paman, meskipun kita tidak mulai lebih dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu. Semakin lama kita menahan diri, maka ketenangan kita akan menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari keadaan, maka marilah kita lihat siapakah yang berada dihadapan kita itu”
Widura menarik nafas. Iapun sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. Untunglah bahwa ia masih bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung dan kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan.
Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. Kini ia tidak minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan sekuat tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang yang berjongkok dipinggir jalan itu.
Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan kemarahan didalam dadanya menjadi semakin menyala, ketika orang itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, sikapnyapun sama sekali tidak berubah. Jongkok.
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Sudahlah Sedayu” cegah pamannya.
“Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang yang bermain hantu-hantuan itu”
“Jangan” pamannya segera memotong kata-katanya.
“Biarlah” sahut Agung Sedayu.
“Jangan” ulang pamannya.
Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. karena itu, maka ia menjadi semakin bingung.
Tetapi ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang itu memang membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi yang dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti cacing kepanasan. Sedang Widura masih saja duduk ditempatnya tanpa bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya menjadi bingung dan dengan demikian, ia akan mendapat permainan yang lucu dan menyenangkan. Tetapi harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu yang berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan yang aneh.
Karena itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang lucu itu lebih lama lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain. Mula-mula ia sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan sepotong besi batu-batu itu dipukulnya kesamping. Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama sekali tidak melihat gerak itu.
Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas setidak-tidaknya karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan sekali. Karena itu, maka orang itupun tersenyum.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat mereka bercakap-cakap sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun sesaat itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah lenyap.
“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu itupun berteriak “Kemana orang itu?”
“Jangan berteriak” potong Widura. tetapi Widura itupun menjadi bersiaga. Iapun segera berdiri dan menarik pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan dan berbisik “Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui”
“Kemana orang itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku sangka ia berguling masuk keparit dipinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja yang disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia dapat selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat melihat orang itu”
“Marilah kita cari”
“Sangat berbahaya” sahut pamannya “Aku kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi Ki Tambak Wedi. Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya”
Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba tangannyapun telah menggenggam pedangnya. Dengan suara yang berat ia berkata “Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang menyerangnya”
“Sudah aku katakan” sahut pamannya “Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak Wedi”
Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak “Ayo, kemarilah. Kita bertempur beradu pedang”
“Jangan berteriak Sedayu” desis pamannya.
“Punggungku dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu.
Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan mereka. karena itu, maka betapa kemarahan melonjak dikepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu belum dilihatnya.
Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya.
“Agung Sedayu” berkata Widura “Jangan menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. Tenanglah. Kita sudah bersedia menghadapi segala kemungkinan”
Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali dibiarkannya beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya itu meledak. Sehingga terdengar ia berteriak “Ayo yang bersembunyi dibalik alang-alang atau dibalik gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan menyerang sambil bersembunyi”
Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar menjadi gila.
Widurapun telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. Orang itu pasti bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus mengambil sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani menghadapi akibat yang paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya berbisik “Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap tinggal ditempat ini. Kitapun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan kemungkinan yang paling pahit, apabila kita menyuruk kegerumbul yang ditempati olehnya. Tetapi kalau tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan yang sama dengan orang itu”
“Marilah paman” sahut Agung Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat berpikir lagi. Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan.
Tetapi tiba-tiba didengarnya suara tertawa didalam semak-semak diseberang parit. Suara itu tidak terlalu keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa itu terdengar ia berkata “Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau kebingungan seperti kera yang ekornya terbakar. Kalian tak usah bersembunyi kemanapun sebab akibatnya akan sama saja. Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada ditempat yang terbuka supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian”
Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-akan memancar dari tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dan bergetaran dari segenap arah.
Sesaat kemudian suara itu berkata kembali “Agung Sedayu dan Widura. aku sudah berkeputusan untuk membunuh kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan kebingungan, kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat. Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita sebelum ajal datang”
“Setan” sahut Widura “Itu bukan perbuatan seorang jantan”
Kembali suara tertawa itu menggetar. “Jangan mengumpat-umpat” katanya. “Kau hanya akan menambah dosa saja. Sebaiknya kalian berbaring saja disitu, tenangkan hatimu dan berdo’alah supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka”
“Diam, diam!” teriak Agung Sedayu “Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini”
“Bagus, bagus” sahut suara itu “Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar”
Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila dibakar oleh perasaan sendri. Dan suara itupun masih selalu mengganggunya dari arah yang tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang itu pasti berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah seorang yang sakti. Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-akan melingkar-lingkar dilangit yang kelam.
Namun dalam kebingungan yang hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba terdengar suara yang lain dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya “Widura dan Agung Sedayu. Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara angin yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang suaranya gemerisik menyakitkan telinga. Namun suara itu sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul didalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan dihati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, bersembunyilah. Kalau kaian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak berbahaya”
Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga karena itu, maka mereka menjadi terpaku diam ditempatnya. Dalam pada itu syara yang kedua itu berkata pula “Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu”
Widura dan Agung Sedayu itupun mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu pernah didengarnya. Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Kiai Gringsing”
Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis “Ya, Kiai Gringsing”

Tidak ada komentar: