Jumat, 07 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 26

Demikian kedua anak panah itu jatuh ditanah, mak semua orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda Sangkal Putungpun berloncat-loncatan dilapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja keudara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan bahkan terompah-terompah mereka.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi didalam rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh ditanah. Dan dengan serta-merta, ia berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu.
Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak. Katanya “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai ditengah-tengah sehingga menjadi retak karenanya”
Widurapun menjadi terpaku ditempatnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa., ipar Widura itu. Wajah itupun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus. karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya.dan tiba-tiba pula terpancarlah janji didalam hatinya “Kalau aku mampu, biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah yang tersimpand didalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri”
Jang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang kearah Agung Sedayu yang masih berdiri ditempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa seseorang menangkap tangannya dan menariknya.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun menundukkan wajahnya. jawabnya “Tidak apa-apa ayah”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya “Kau adalah seorang gadis”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata “Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun ditempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu”
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada ditengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga “Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri disamping ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa erhak berbuat apapun sekehendaknya. karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik “Diamkan anak itu”
Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak bernai melanggarnya. Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”
Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.
Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itupun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas. karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak diantara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya “Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada diudara. karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”
Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjad idiam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. karena itu menurut mereka Agung Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk kelapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati “Apakah menilaian ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan didalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas ditengah-tengah lapangan dan membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang dapat dilihatnya ditempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai menyusun kekuatannya, dan ditempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya. karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab “Kita tidak menentukan, bagian manakah yang harus dikenaik oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah keudara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik tepat ditengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat diarah yang dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab “Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada ditempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat diantara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar suara Sidanti parau “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus sampai paada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi orang-orang banci”
“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain “Ulangi” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya “Tidak. Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”
“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan adi Sedayu lebih tepat. Aku ingin menghilangkan kesan itu”
Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”
“Sekarang” teriak Sidanti pula.
Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagipun maju pula. wajah mereka tidak kalah tegangnya dengan wajah Widura sendiri.
Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi tegang. Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. karena itu maka tiba-tiba berkata “Paman, seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya”
Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk berpaling kearahnya. Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak “Kanapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tudak dapat mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”
“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya hanyalah Sidanti “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”
Agung Sedayu menjadi bingung. karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura “Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”
“Tidak adil” teriak Citra Gati.
“Tidak adil” teriak Sidanti “Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lainpun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar. Yang berkata kemudian adalah Widura tegas “Tak akan ada pertandingan lagi”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura mengumpat didalam hati. “Ki Tambak Wedi itu ada pula disini”
Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorangpun diantara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi ditengah-tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?
Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. Widurapun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh itu hadir pula ditengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada didekatnya.
Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya “Jangan hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayupun mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang “Tidak ada apa-apa lagi. Itulah keputusanku!”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya.
karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya “Kakang Widura, aku minta pertandingan diadakan lagi”
Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata “Apakah keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita melihat kenyataan dengan pasti”
Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya “Apakah tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui siapakah diantara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita menemukan siapakah diantara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut diantara kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itupun kemudian menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. karena itu, maka merekapun menjadi terdiam karenanya.
Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa didalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. pebih-lebih menurut anggapan Citra Gati. karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa gurunya ada pula dtempat itu. Katanya “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandaiknya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri. Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak “Kenapa tuan diam saja? Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah. Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak “Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?”
Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus persaannya itupun terkejut pula. karena itu ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah disekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian Sekar Mirah itupun menundukkan wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan kedalam api yang menyala didada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. karena itu tiba-tiba ia berteriak “Aku akan melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula “Kita tentukan cara-cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah diantara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik diantara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. karena itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayupun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, dan Sedayupun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itupun menyesal tak habis-habinya. Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannyapun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, bahwa Sekar Mirahlah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang lainpun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar karena marah, maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula terdengar Sidanti berkata “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapapun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapanpun”
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorangpun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat didada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.
Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Minggir. Pertandingan akan dimulai”
Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri ditempatnya. Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu, Widurapun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itupun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.
Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri ditempatnya. Ia harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apapun yang dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
karena itu, maka dengan lantang ia berkata “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum menentukan peraturannya”
“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”
“Apakah hakmu?” bertanya Widura.
“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa disini” sahut Widura tidak kalah lantangnya “Aku akan membuat peraturan”
“Tidak” jawab Sidanti pula “Apapun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak melawan”
Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. karena itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Aku akan berdiri dibelakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”
Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan disamping Agung Sedayu. Widura itupun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali “Matilah kau pengecut. Apapun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati dilapangan ini. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”
Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja didalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar didadanya menjadi bertambah cepat. Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi ditengah-tengah lapangan dihadapan beratus-ratus orang, dan diantaranya adalah Sekar Mirah.Terasa sesuatu bergolak didadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia akan lari dan bersembunyi. (bersambung)

27 komentar:

Anonim mengatakan...

Cool! Tak sabar menunggu berikutnya....

Anonim mengatakan...

bener tambah sip...

Thank kang rizal

Anonim mengatakan...

siiip bos, tetap semangat

Anonim mengatakan...

ini jadi kyk dulu lagi, nunggu2 terbitan jilid berikutnya.. hehe
thks mas rizal..

bensroben mengatakan...

sambung terus....
sippp

trim's buanyakkkkk mas..

Anonim mengatakan...

Matur suwun cak (ridzal - batam)

Anonim mengatakan...

ane juga siap untuk menge"proof" naskah kirim bae ke Mochamad.taufik2@pajak.go.id atau taufik1crb@yahoo.com....rawe rawe lantas..terusannya lupo he.he.he...
SEMANGAT mas rizal..tak tunggu

rizal mengatakan...

Sahabats,
terima kasih atas komentar dan saran2nya, bener2 terima kasih...
Memang betul saat ini saya sudah menggunakan scanner. Dan saya juga sudah mencoba saran mas Yangga/Ridzal Batam untuk scan text nya. Tetapi berhubung buku aslinya sudah dalam keadaan terjilid, maka sulit sekali untuk mendapatkan hasil scan yang baik. Kalau saya bongkar, khawatir gak bisa beresinnya lagi. Nanti kakakku marah, aku dicambuknya....
Saran mas Riko boleh banget tuh... Kita absensi aja sekarang, siapa saja yang bisa urun tenaga dan waktunya menyelesaikan e-ABM (padahal buku aslinya sendiri tidak selesai ya...:)
Saya absen pertama untuk seri I jilid 1-100. Lalu siapa yang mengerjakan Seri II 1-50, Seri II 51-100, Seri III 1-50 dst...?
Wassalam...

Anonim mengatakan...

Saya bersedia bantu, cuman yah itu tadi saya nggak punya materialnya :)

Tetep semangat, ditunggu kelanjutannya :)

Anonim mengatakan...

urun ane mah..di scaner doeloe terus disebar..baru dikembalikan lagi ke bandar...gimana mas rizal

bensroben mengatakan...

Ayo mas... udah ndak sabar nih ...

walau udah pernah baca, rasanya gak sabar ngikuti perang tanding sidanti-sedayu yg merupakan awal munculnya keberanian sedayu :)

Anonim mengatakan...

waaaaah...
udah gregetan nih..
kemarin 2 minggu saya ada di tanker tengah laut kepulauan-1000. Ga sempat liat update, eeee. begitu pulang jkt ada seri 25-26. Seneeeeng deh..tapi makin penasaran..
Ok mas rizal..., ditunggu selanjutnya. thx a lot

Anonim mengatakan...

hebat ... tokoh agung sedayu patut diteladani sebagian sifatnya (rendah hati, tidak menyukai kekerasan kecuali terpaksa, mencintai sesama, dan selalu berusaha terus belajar), tetapi bukan sifat kekerdilan jiwanya itu lho..
cersil ADBM menjadi alternatif bacaan lagi ditengah ngetrennya cersil impor macam naruto/avatar.
yup.. maju terus cersil indonesia...
matur suwun banget yo mas rizal...
(papar-persikmania)

glagah_putih mengatakan...

jadi teringat bacaan kala masih sd dulu. tolong dilanjutkan, masih terlalu jauh.......... seandainya bukunya masih ada.........
jangan terlalu lama bos......

pasingsingan mengatakan...

Ayo...Sedayu vs Sidanti

Anonim mengatakan...

teman-teman ada yang tahu ga ya dimana saya bisa downloud karya SH Mintardja yang lain, "Sayap-sayap yang Terkembang" yang sampai tamat?
Saya sudah dapat sebagian dari Dimhad, tetapi sampai pada cerita Kyai Badra,Kyai Soka dan Jati Wulung bersaudara pergi ke Song Lowo menyelidiki Puguh di sarang judi.
Jika teman2 ada informasi, tolong yah... soalnya bisa baca sambil nunggu ADBM lanjutannta mas rizal.
Thhx

Lucky Florist mengatakan...

Handoyo Berkata ...

Selamat Siang Bang Rizal,
Thanks buat usahanya untuk menyenangkan kami. Salut berat.

Rekan-rekan gimana kalau saya usul kita patungan beli buku api, kayaknya ada yang jual setelah itu discan dan di upload ke Web. Terus kita baca deh bareng-bareng.

Gimana ada tanggapan nggak?

Anonim mengatakan...

saya ini hanya tki jauh diseberang. cerita ini menjadi obat kangen saya dengan bapak di yogya. karena dia dulu sangat suka membacakan cerita ini kepada saya waktu kecil. terima kasih sekali mas rizal. anda baik sekali.

Anonim mengatakan...

Bener-bener nggak suabarrrr...he...he...he...
Matur suwun mas Rizal atas jerih payahnya, sama mua dah bantu ngetiknya, asal dikirim materialnya (hasil scannya).
Kirim aja ke glagah_pth@yahoo.co.id

Anonim mengatakan...

udah lama belum dilanjutin nih sedanti vs. sedayu.
Mas rizal, tolong dong...hehe
tolong tapi maksa nih

Anonim mengatakan...

iya nih... diteruskan dong..
perang tanding dimulai.. untara muncul, perang tanding diulang.. sedayu terluka ... duel sidanti vs untara ..

Anonim mengatakan...

kalau mau dikerjakan keroyokan, coba ke silat.cersilangka.info, disana ada proyek kroyokan cersil.

Anonim mengatakan...

Atau jangan2 mas rizal lagi sakit ya?..
Kalo bener, moga cepat sembuh deh. Mungkin karena banyak kerjaan, trus didesak ma teman2 untuk ngelanjutin ngetik ADBM. Kesian juga...
Kalo bener sakit, kami doakan moga lekas sembuh mas dan sehat selalu.
Atau... saya ada pikiran lain nih. Jangan2 mas rizal gi ngambek, soalnya tulisan ADBM 1-26 tahu2 ada muncul di beberapa blog lain. Mohon teman2 yang upload lagi cerita salinan mas rizal tsb, dicantumkan dong asal-usulnya dari mana gitu. Yaa, setidak2nya ada ucapan terima kasih ke mas rizal lah. Mas Rizal yang susah ngetik, orang lain yang dapat.
Meski begitu.. tetap semangat mas. Ditunggu lanjutannya...

Anonim mengatakan...

Saya setuju dengan usul mas Handoyo, sila dipikirkan mekanismenya seperti apa termasuk pengelolaan dananya (jika sudah ada yg bergotong royong urunan).

Prinsip keterbukaan, amanah dan rasa cinta terhadap cerita klasik ini menjadi dasarnya, dg begitu tidak akan muncul prasangka negatif terhadap inisiatif tersebut di atas.

(ridzal - batam)

ubaid mengatakan...

waaah bener2 udah lama nih nunggu lanjutannya...
penasaran..penasaran...

Anonim mengatakan...

Bagi yang ingin membaca cersil yang lain, silahkan kunjungi :
http://arebuuud-cersil.blogspot.com/

Anonim mengatakan...

Salut Bung Dizal, Berjuang terus!!!
saya sungguh menikmati tulisa ini. Kebaikan Bung Rizal juga membawa berkah bagi kita pengembar cersil ini.
Salam, dari Semarang