Minggu, 23 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 29


Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan Pajang.
Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itupun menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. demikian pula yangdilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, diantara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa dilapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa iapun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya.
Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora didalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam perlombaan memanah. Namun didalam hati kecilnya ia bergumam “Benar-benar anak setan. Kecakapan Sadewa bermain panahm tercermin pada anak itu”
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak Sedawa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi.
Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling diantara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadana tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nekutinya dengan tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan didalam hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh ditengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu.
Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup diantara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat didalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu, maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.
Maka Sidanti itupun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untarapun berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara itu sebenarna kelelahanm ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh bangun berkali-kali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itupun sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada diantara mereka, sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir diantara mereka” pikir Ki Tambak Wedi “Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. Sedang apaliba orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula”
Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itupun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada disekitar tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya arena diantara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah disamping Untara. Kalau pada saat itu Untara meloncat kesampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itupun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup cepat menghindarinya.
Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem disampingnya. Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun setiap ia menyusup, maka orang itupun selalu berada disampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian berpaling. Dilihatnya disampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya tersenyum kepadanya.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil tersenyum disampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.
Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedipun tak mau bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya kepada orang disampingnya itu perlahan-lahan “Kaukah yang memiliki cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang yang berdiri disamping Ki Tambak Wedi itupun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih “Ya, aku”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padana. Pasti orang ini pulalah yang kemarin malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang menghentak-hentak. karena itu maka katanya perlahan-lahan pula “He, kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang disamping mereka, yang sedang terpukau oleh perkelahian ditangah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun segera maklum, bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. karena itu sahutnya “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat merekapun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling ditanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri disekitarnya pada umumnya tak dapat mengertinya. Bahkan didalam hati mereka, mereka berkata “Sidanti benar-benar seorang yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit didaerah selatan dan barat daya. Disekitar gunung Merapi”.
Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itupun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang bergelora didalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata “Aku akan masuk kedalam arena”
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya “Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh” jawabnya “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya “Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan mengetahui”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak”
“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri”
Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala didalam dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri disampingnya itu dengan seksama. Wajah itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya “apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian “Ya. Aku agak sakit mata. karena itu aku menggoreskan beberapa jenis obat-obatan dahi dan pelipisku”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan-kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara mereka”
“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap ditempatnya”
“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah. Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju diantara beberapa orang yang berdiri disekitarnya. Namun Kiai Gringsing itupun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan diantaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya.
karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika lg itu telah berdiri disampingnya, Ki Tambak Wedi itupun berkata sambil menepuk bahu Kiai Gringsing “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsingpun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang berlaga.
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu tersenyum. katanya “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah dipusatkannya diujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak itu pasti akan luka didalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya dipundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan Ki Tambak Wedi tak melukainya.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan kehadiran gurunya. Tetapi kini disamping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang itu benar-benar. karena itu maka desisnya “Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorangpun dari daerah gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan nama Kiai Gringsingpun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing itupun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka orang-orang itupun tidak memperhatikannya lagi.
Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan didalam hati ia berkata “Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang mengetahuinya”
“bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsingpun kemudian menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorangpun yang mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya ketelapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itupun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi menggeram “Bukan main”
“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsingpun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga berubah.
Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. karena itu maka katanya “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya “Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup hangat ini”
Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itupun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Baru sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api neraka”
“karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatan kitw. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing menggeleng “Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak Wedipun kemudian melihat kesana pula.
Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong kebelakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian terdengar Untara berkata “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya “Untara, ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Disini sekarang orang dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut Untara “Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirina sejajar dengan Untara”
“Bagus” berkata Untara “Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita terbuang tanpa arti”
“Cukup berarti bagiku”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin menundukkanmu”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?
Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya “Apakah perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit. Jawabnya “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat bagimu?” (bersambung)

16 komentar:

rizal mengatakan...

Temans,
mohon maaf bila uploadnya agak terlambat, karena sy keluar kota.
Mungkin ada yang berprasangka saya 'mutung' krn dicopy oleh teman yang lain, dan itu tidak benar. Insya Allah saya retype ini ikhlas koq, biar bermanfaat buat kita semua yang kangen cerita ini
Sekali lagi mohon maaf ya, toh biar sekalian penasaran menunggu Agung Sedayu melalui saat-saat yang penting dalam menghilangkan sifat2 penakutnya ....
Wassalam...

Anonim mengatakan...

hehehe.... akhirnyaaa
Thx banget nih mas rizal..
Langsung 3 episode nih.
mo aku bawa baca2 di offshore (tanker daerah kepulauan 1000), apalagi disana banyak temen yang ikutan ngebaca. Lumayan 2 minggu baru balik jkt, dan harapannya udah ada lanjutannya lagi.
Sekali lagi thx banget.. dan tetap semangat

Anonim mengatakan...

Wah terimakasih mas Rizal, akhirnya rasa penasaranku sudah terobati.......

Saking semangatnya membaca, tiga episode hanya setengah jam sudah tuntas dibaca.

Ditunggu postingan selanjutnya

Anonim mengatakan...

terima kasih lagi mas rizal....
mudah mudahan Allah membalas kebaikan mas (membuat senang orang banyak), termasuk saya.
ya betul mas, dicerita ADBM memang banyak hikmah dan nilai-nilai yang bisa digali dari tokoh-tokohnya, kita ambil yang positif dan kita tinggalkan yang negatif.
sekali lagi terima kasih mas rizal.
(papar-persikmania)

Anonim mengatakan...

Saya bangga dengan kebesaran hati sampean yang merelakan hasil jerih payah di copy dan di upload di tempat lain tanpa menyebutkan nama sampean. Hee ....setelah keluar kota saya harap ngetiknya atau men-(scan)nya bisa lebih cepat.

Anonim mengatakan...

top markotop buat mas rizal

Anonim mengatakan...

"Saya absen pertama untuk seri I jilid 1-100. Lalu siapa yang mengerjakan Seri II 1-50, Seri II 51-100, Seri III 1-50 dst...?"
Nah, tawaran sudah dilempar. Sebaiknya mari kita sambut. Saya bersedia ngewangi Seri I. Tapi ya itu Mas, saya tdk memiliki buku itu, oleh karena itu bagi mereka yg memiliki dan sudah scan textnya, jangan ragu2 lempar ke emailku: dedeprativi@yahoo.com.
Jangan lupa menyebutkan halaman naskah supaya kalo sudah saya kirim ke Mas Rizal, beliau bisa menatanya dengan mudah.

Anonim mengatakan...

Salam kenal mas Rizal.
Thanks banget telah meretype ADBM, smoga tetap semangat dan tetap dilimpahi kesehatan oleh Allah SWT.
Jazkumullah kairan katsira.
(Taufik - Surabaya)

Anonim mengatakan...

Ternyata masih ada orang yang mau berbagi kegembiraan dengan orang lain di zaman yang nafsi-nafsi begini, terima kasih Mas Rizal, mudah2an jerih payahnya dicatat sebagai amal sholeh, amin.

Anonim mengatakan...

Hehehe.. saya ngiranya ini mas Rizal mau bikin kejutan posting langsung banyak kali ya.. eh ternyata keluar kota.. tidak mengapa Mas terlambat-terlambat dikit itu wajar saja.. yang penting lanjut terus. Terima kasih & tetap semangat.. banyak yang menanti.. :-)

Anonim mengatakan...

matur nuwun sanget mas rizal, inget dulu waktu baca bareng ma bapak....
semoga pintu sorga selalu terbuka buat mas rizal

Anonim mengatakan...

lanjut trus....... agung sedayu dan sekar mirah .........

Anonim mengatakan...

seandainya bukunya masih ada, dengan senang hati bantu bos upload cerita ini....

rindeast mengatakan...

Mas Rizal, aku mau lho bantuin ngetik. Sumprit.
I love you ... Mas membantu aku mengembalikan masa kecil dan bau harum badan Ibu ku.

Unknown mengatakan...

makaciiihhhhh bgt mas...,
tetap semangat ya...!!!

Anonim mengatakan...

Terima kasih mas... buat jerih payahnya....... dengan membaca ADBM saya jadi teringat dengan almarhum ayah saya, karena beliaulah saya mengenal karya SH Mintardja. Saya membaca seri ini wkt smp tahun 1982an. Sekali lagi terima kasih mas rizal..... Tuhan memberkati