Minggu, 23 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 28


Widura itupun kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri, sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. karena itu maka katanya “Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul diantara kalian, nah perlihatkanlah dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang menang”
“Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan. Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”
“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian, siapakah yang akan mati diantara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh”
Dada Agung Sedayu itupun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka dipundaknya itu, tiba-tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia berkata “Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani”
Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak didalam dada Agung Sedayu. Setelah ia merasakan luka ditangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri, bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.
Untara tersenyum didalam hati mendengar jawabann Agung Sedayu. Katanya dalam hati “Kalau anak itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. namun meskipun demikian, Untara tidak menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. karena itu, maka Untara itupun berkata “Agung Sedayu. Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah. Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran”
“Jangan ikut campur Untara” teriak Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut”
“Sidanti” jawab Untara “aku mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam pertentangan diantara kita sendiri”
“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu” bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung ini tidak akan selesai?”
Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata “Kakang, berilah aku kesempatan”
Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada Widura “Paman, biarlah aku mencobanya”
“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.
Rupanya Agung Sedayu itupun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta didalam dadanya setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang mencari salurannya. karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya mencegahnya.
Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak “Jangan halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”
Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya.
Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata “Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada didalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh. karena itu ia menjawab “Jangan halangi aku”
Untarapun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik.
Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apapun ketika kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti berteriak “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu sampai keujung bukit Merapi itu sekalipun”
Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak lebih keras lagi “Berhenti pengecut”
Widuralah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian itu. karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring “Sidanti, berhenti ditempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan disini. Aku perintahkan kau tetap ditempatmu”
Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itupun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji mereka seakan-akan telah mengpung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri disekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak “ayo, ayo. Majulah bersama-sama. Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”
Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata “Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, sebab disini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau lihat cemeti kuda yang terjatuh disamping tanda yang dilemparkan gurumu itu?”
Kata-kata itu terasa berdentangan didada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak berarti itu dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ternyata dilapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya ditegalan kemarin malam. karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab “Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti ditempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu “ desah Untara.
“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik “Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat didada Agung Sedayu itupun telah membakar hatinya pula. karena itu ia menjawab “berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya “Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti”
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu berdesir didalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara pamannya, Widura “Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan”
Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara “Untara, kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka dipundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari luka itu. karena itu maka kekuatannyapun pasti berkurang.
Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya “Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara “Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, maka luka itu akan sangat berpengaruh”
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya. Namun Untara itupun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka sambungnya “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi didadanya. Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora.
Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa aku bunuh dilapangan ini”
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara mencegahnya “Jangan paman”
Widura tertegun. Tangannya itupun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”
Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya kesamping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang menyambar kepalanya.
Agung Sedayu yang berdiri dimuka Untarapun terpaksa menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, iapun meloncat surut.
Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”
Citra Gatipun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak pula “Jangan maju bersama-sama”
“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pememgang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah disekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itupun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.
Sidantipun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga didalam benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Dihadapan sekian banyak orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata “Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama baik Wiratamtama”
“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti “Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara”
“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnyapun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah maju, didorongnya adiknya itu kesamping sambil berkata pula “Sadari kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”
“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”
Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis cakrawala. Lapangan itupun menjadi semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang dilangit sajalah yang kemudian gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi dilapangan itu.
Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar didalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itupun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata “Aku terima tantangan Sidanti”
“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab “Ya. Aku tidak perduli persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan orang-orang disekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi ditengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara. Sedang Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram “Untara, aku mulai”
Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara.
Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya kearah lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur.
Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa melontar kesamping.
Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom,
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri disekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya.
karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itupun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang berguguran dilereng Merapi.
Dengan demikian maka pertempuran dilapangan dimuka banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian diantara mereka benar-benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung diudara. Sambar menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap.
Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Selah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan dan kelemahan ;awannya. Meskipun Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama didaerah itu, ternyata buka nseorang yang hanya mempunyai nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang tepat.
Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri dihadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan persoalan pribadi.
Namun ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadan mereka menjadi seimbang kembali.
Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan ini tampa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara didadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan didalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ai kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah ketempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajangpun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam.
Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi semakin susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang. (bersambung)

Tidak ada komentar: