Minggu, 23 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 27


Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap dipunggungnya. karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayupun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya “Ayo Sedayu. Siapkan busurmu”
Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang bergetar “Swandaru, berilah aku anak panah”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan keteganganpun menjadi semakin memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.
Widurapun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap didalam dada Widura. meskipun Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga, hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara jantan daripada mati seperti kelinci betina.
Swandarupun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal menunggu akibat dari perbuatannya.
Sementara itu Sidantipun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang “Siapakah yang akan mengucapkan hitungan sampai sepuluh?”
Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorangpun yang menjawab. karena itu Sidanti mengulangi lebih keras lagi “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”
Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itupun kemudian lenyap pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-akan semua orang dilapangan itu sama sekali tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan hitungan itu”
Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu menjawab. ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri dibelakangnya beradu punggung.
Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para penonton, memperhatika nperkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima sebatang anak panah dari Swandaru. ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan anak panah ditali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun didalam dada orang itu bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan didalam dada Widura. dan karena itu pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu.
Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga Sidanti sekali lagi berteriak “Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau kalukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”
Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk membulatkan tekadnya. “ Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan. Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”
Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah diatas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya “Lihat, matahari hampir terbenam.”
Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak “Aku akan mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah suaranya lantang “Satu” kemudian “Dua” dan sejalan dengan itu, kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung Sedayupun bergerak pula, setapak demi setapak.
Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar diantara para penonton yang berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri dilapangan. Apalagi ketika diantara derai tertawanya terdengar kata-katanya “Sidanti, ternyata kau curang.”
Langkah dan hitungan Sidantipun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala didalam dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak “tidak. Aku tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang telah mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang itu berkata pula “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke sepuluh, dan Agung Sedayu itupun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan melindungimu”
“Gila” teriak Sidanti “Siapakah kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan itupun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak.
Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu,Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya memandang kesatu arah, ketempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang mendebarkan itu.
Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang berdiri berjejalan dihadapannya.
Kata-kata orang yang belum diketahui itupun merupakan sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung.
Karena itu Widurapun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itupun datanglah kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup diantara penonton yang sengaja memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu ditengah-tengah lingkaran.
Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan menjerit tinggi “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan. Kemudian terdengar ia berkata “aku datang untuk menyaksikan pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman Widura”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut diantara penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang bernama Untara, kakak Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya.
Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih “Aku tidak dapat mencegahnya”
Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “aku senang melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini berjalan dengan sempurna”
“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah hati Untarapun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang palin dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala. Kini ia melihat Untara itu berdiri dihadapannya. Sedang orang-orang disekitarnya telah mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itupun telah kehilangan segenap pertimbangannya.
Maka semua orang yang berada dilapangan itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak “Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan orang yang tidak tahu menahu persoalannya”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itupun memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya, katanya ”Kekuasaan didaerah ini berada ditangan paman Widura. silahkan. Aku hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur”
“Jangan menyindir” teriak Sidanti. “Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak memperdulikan matahari itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus dipertimbangkan, baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata “Jangan marah Sidanti.”
Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata lantang “Nah Sedayu. Kau dengar?”
Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya sekali lagi Sidanti berteriak “Bersiaplah”.
Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru didalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati Agung Sedayu. karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap keutara, sedang Sidanti berdiri dibelakangnya menghadap keselatan.
Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata “Biarlah aku menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”
“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah”
Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam “Aku telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian yang telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu mudah”
“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan lawan.
Demikianlah maka akhirnya Untara itupun mulai dengan hitungannya.
Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton “Mundurlah kalian. Jangan berdiri diujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka kalianlah yang akan terkena”
Penonton diujung utara dan selatan itupun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi “He Untara. Apakah kau tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”
“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung “Satu...dua…”
Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa didalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya.
Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…” Dan lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati.
Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar “Sepuluh ….”
Sidanti yan dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan cepatnya meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri. Arah jantung.
Tetapi Agung Sedayupun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi mengalami perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat didalam hatinya. karena itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya.
Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang bail. Panah itu dengan lajunya menuju kesasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu itupun sebenarnya bukan sebuah patung. Didalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmi-ilmu itu seakan-akan tersimpan dalam kotak yang tertutup.
Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan cepatnya, menuju kedadanya. karena itu, dengan gerak naulriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itupun segera bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian bergeser dan jatuh disamping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka itu. Semakin lama menjadi semakin deras.
Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya, namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran didalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu didalam hatinya “Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding”
Terasalah sesuatu bergolak didalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya. Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya. “Ya” katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu menemukan keyakinan “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan. Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”.
Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya. dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah, duapuluh langkah dihadapannya. Ditangannya kini masih tergenggam sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya.
Ketegangan dilapangan itu segera sampai kepuncaknya. Ddg tajamnya Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi.
Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya. Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan anak panahnya dengan tiba-tiba.
Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya.
Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia yang gelap, namun masih belum terlintas didalam angan-angannya untuk membunuh seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak “He Sedayu, apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan tajamnya. Wajah yang kras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh seseorang. Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari dilangit menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang diujung-ujung pepohonan dan menyangkut iditepi-tepi gumpalan mega dilagnit. Sekali-sekali tampak diudara burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang kesarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah “Agung Sedayu. Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu”
Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara Untara “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya”
Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian.
Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar “Agung Sedayu, aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah membunuh Sidanti”
Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula “Anak panah yang sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. Dan semua persoalanpun selesai pula”
“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil menggertakkan giginya karena marah.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian berkata “Kau benar Untara”
Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup orang-orang lain. karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah perbuatan yang melawan kehendak Tuhan.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan brung cangak terbang rendah melintas dilapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahan-lahan diatasnya.
Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh ditanah.
Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik melepaskan ketegangan didadanya dengan membunuh seekor burung daripada membunuh Sidanti.
Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang berdiri dilapangan itupun kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.
Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam “Alangkah dahsyatnya anak muda itu”
Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya. karena itu, maka darhnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju sambil berteriak “Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain”
Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat Sidanti dengan wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ketanah, lalu berkata “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita pilih salah satu diantaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi kita lakukan dalam jarak yang dekat”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek.
Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan diri mereka pula. Tetapi yang maju kedepan adalah Widura “Cukup Sidanti. Jangan membuat persoalan menjadi lebih parah”
Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung Sedayu”
“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti. (bersambung)

Tidak ada komentar: