Jumat, 07 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 25


Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan menyenangkan sekali.
Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula “Nah, aku sangka Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama Agung Sedayu”
“Ya kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. karena itu maka katanya “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-kemampuan Hudaya atau Citra Gati”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri dibelakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari permainan ini? Seandaiknya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih “Baiklah paman. Kalau paman menghendaki”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. karena itu hati Agung Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikatn tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang Swandaru menjadi bergembira pula. segera iapun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk memungut panah-panahnya yang berserakan disekitar orang-orangan yang telah dilepas kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka berdua harus mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru “Paman Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut diudara”
Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorangpun yang melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru.
karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan kesempatan yang sama. Maka katanya “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih ada?”
”Masih paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”
Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil vandul orang-orangan yang masih terletak diujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali yang masih terserak-serak disana-sini. Dengan tali itu maka bandul itupun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul ini?”
“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu diatas kepalamu”
Sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya kearah perutku”
Sonya tersenyum. Katanya “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak akan mengenaimu”
Swandaru menggeleng. “Peganglah” jawabnya “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutnku?”
“Marilah” jawab Sonya “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan diputarnya bandul itu diatas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itupun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah didalam endongnya.
“Masing-masing mendapat kesempatantiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir mulai “Sampai hitungan kelima belas”
Sidantipun telah mempersiapkan busurna pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang berputar diatas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidantilah yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang pertama, dismbut dengan sorak sorai penonton disekitar lapangan. Anak panah itu tepat mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua. Dan meluncurlah anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah Agung Sedayupun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itupun menarik nafas panjang. Ia mengumpat didalam hatinya “Setan itu mampu juga mengenainya”
Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali inipun anak panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun menjadi semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung Sedayupun telah melepaskan anak panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati “Aku harus mengenai untuk yang ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang lain untuk menentukan siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik”
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah ikut serta dalam putaran bandul diatas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang terbang secepat kilat itupun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang semakin bergelora. Lapangan dimuka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak.
Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil berteriak “Enam panah!”
Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalian ternyata mempunyai kecakapan yang sama. karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun iapun belum tahu sasaran apakah yang sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk emdnegarkan orang menyebt-nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung jawab kepada pamannya.
Terasa sesuatu menjalar didalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.
Apapun yang dlakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus menangis kalau yahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu mengatakan kepadanya “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhrinya ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri dipematang dengan busur ditangan. Ia harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh dikenainya diatas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata kepadanya “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab “Apakah dalam hidup ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab “Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk. Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. karena itu merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”
Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya “Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi”
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut “Maafkan aku nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku”
Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya “Ibu sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan. Meliindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan”
Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya “Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab “Sebuha mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmupun menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang ditangan. Tak akan ditemui ketentraman dan kedamaian dihati: dan ayahnyapun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu.
Dan terjadilah benturan-benturan perasaan didalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan beberapa orang. Diantaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya.
Agung Sedayupun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatna Sekar Mirah, maka dada Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh “Ah” katanya dalam hati. “Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun gadis itu mempunyai kesan yang aneh didalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.
Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga dihati Agung Sedayu. Ternyata didalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Akupun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini. Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura menyelesaikannya”
karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu” desanya didalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri disamping Agung Sedayu itupun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang disekitar lapangan itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya dibelakang sambil memujinya sampai dikademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itupun berjalan disampingnya sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya.
Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba bereriak “Kakang Widura. marilah kita akhiri prtandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik”
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir itupun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata “Apakah cara itu?”
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya “Namun terserah juga, apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan”
“Ya” sahut Widura “Tetapi bagaimanakan cara itu?”
Sidanti tersenyum. jawabnya ”Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya“. Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata “Cara yang pasti akan menarik perhatian”
“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”
“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihatpun kau tak akan dapat mengerti, apalagi melakukannya”
Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang “Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan dipertempuran, dan melampaui lawanmu diarena pertandingan ini”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya “Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apapun yang kehendaki, asal masih dalam batas kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apapun cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan mempunyai kemungkinan yang sama.
Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati “Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata “kakang Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung keudara. Nah, biarlah kami mencoba mengenainya”
Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gatipun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih “Aneh, benar-benar aneh”
Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata “Marilah, sebelum senja. Supaya aku masih dapat melihat anak panah yang terbang diudara itu”
Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun kepadanya.
Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun akan acuh tak acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring didalam hatinya “Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itupun km mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang bergelora.
Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula didalam hatinya “Bukan siatu hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan”
Tetapi kemudian Swandarupun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa bukan Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju diudara, tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru itupun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya. Bisiknya perlahan-lahan “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya “Entahlah Swandaru”
Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudayapun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus melepaskan anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patting yang berjajar-jajar. Semuanya memandang kearah anak panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah Hudaya. Semua matapun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang tegang pula.
Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak dilangit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan diantara mereka melonjak-lonjak dan menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widurapun sesaat terpaku diam ditempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah itupun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing.
Ketika Sidanti berpaling kearah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonja sambil mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran diudara.
Tetapi ternyata hal itu telah terjadi dihadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka merekapun menjadi takjub.
Gemuruh dilapangan itupun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itupun kini terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam dada anak muda itupun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itupun mengangguk perlahan. Jawabnya “Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, melambung keudara seperti anak panahnya yang pertama.
Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya melampaui titik yang tegak lurus dihadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar dilangit. Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak diudara. Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tati menyambar anak panah Hudaya tepat ditengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu sehingga anak panah Hudaya menjadi retak ditengah-tengah, dan terlontar kesamping terbawa oleh anak panah Agung Sedayu. (bersambung)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Matur nuwun sanget Mas......