Minggu, 30 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 31



Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya “Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”
Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan didalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari angan-angannyayang dituangkannya diatas rontal-rontal. Hanya disana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itupun menjadi semakin sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah menjadi kelelahan, sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya “latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian sebenarnya” Untara menyahut “Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera duduk diatas seonggok tanah disamping pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk tentenag kesakahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu” berkata kakaknya “kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat menempatkan dirimu diantara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah kakaknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi didalam perang atara dua kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah memberitahukannya kepadanya.
Tetapi Untara itupun berhenti ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak dibelakang pucuk kecil itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri.
Ketika Untara melihat orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya menjadi tegang. Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya “Apakah ada sesuatu yang penting dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Kenapa kau tidak mempersilahkan aku dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara tertawa. Jawabnya “Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “ Apakah muridmu bertambah seoang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai Gringsing “Nah, sekarang bertanyalah kepada orang itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing “Kemarilah”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti.
Untara yang dapat meraba keraguan orang itu berkata “Mereka adalah pemimpin laskar-laskar Pajang di Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah paman Widura.”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata “Aku pernah mendengar tentang paman Widura di Sangkal Putung, tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum, sahutnya “inilah orangnya. Tak ada yang menarik.”
Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpin tertawa pula. kemudian Untaralah yang berkata “Soma, berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata “Ada beberapa berita tentang orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela “Untara,aku telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah kisanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya “ia salah seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu maka Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya “Ketika aku datang kepondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada. Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang kerumah itu. Dan yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itupun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing kemudian “dan pesan itu sudah aku sampaikan. “Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing berkata “He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan muda,angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng. “Kiai Gringsing itupun kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah kau tahu artinya?”
“Aku tahu Kiai” jawab Agung Sedayu.
“Apa?”
“Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara disini.” Jawab Agung Sedayu sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itupun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Akupun dapat memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bukankah Kisanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah,Soma” berkata Untara kemudian “katakan berita itu?”
“Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun kemudian pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan keningnya, katanya “Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu bersembunyi?”
“Sudah, tetapi kami belum mengetahui jumlah itu.” Jawab Soma “sedang dihutan-hutan disebelah barat kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Diantara mereka adalah Plasa Ireng.”
Kini tidak saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi Widurapun kemudian memperhatikan berita itu dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata “Ada tanda-tanda Tohpati akan menyergap dari barat?”
Untara mengangguk “Ya” jawabnya “Mereka sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti Alap-alap Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.”
Widura kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala kekuatan dari sisa-sisa laskar Jipang Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin pula pimpinan laskar Jipang didaerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling.
Sesaat gunuk Gowok itu menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-angannya. Widura merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta beberapa orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan. Widurapun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula disamping Untara sendiri.
Untara itupun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya “Aku terima beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap perkembangan keadaan.”
Orang itu mengangguk. Jawabnya “Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau lusa.”
“Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara menggeram “Tetapi bukan tujuan mereka menghancurkan Sangkal Putung,sebab mereka memerlukan lumbung-lumbung padi disini. Tetapi bahwa mereka menyerang pada malam hari adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik,aku akan berada di Sangkal Putung .”
Orang itupun kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir ditempat itu, dan menghilang diantara gelapnya malam.
“Petygas yang baik” gumam Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan.-perhitungan.
Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. “Sepasar” katanaya dalam hati. Kini dua hari telah dilampauinya. Tiga dengan besok. “Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap persoalan dalam jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang yang bertopeng yang duduk dimukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu bertanya “Kiai” katanya “apakah Kaia bertemu dengan Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah Tambak Wedi melemparkan gelang besinya.”
Orang itu tertawa “ya” jawabnya “ia memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi setelah kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia akan marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.”
“Apakah katanya?”
Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya “Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut mencampuri urusannya dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan dibunuhnya.”
Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula “Bagaimanakah jawaban Kiai?”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya “Aku kira tak seorang pun yang berhak berbuat seperti Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka akupun akan berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai Gringsing itupun berkata seterusnya “Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untarapun kemudian berdiam diri, sedang Agung Sedayu memandang jauh kelangit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang berhamburan diatas dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan dipihaknya dan membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura dapat berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian seorang-seorang, maka Widura masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap orang dalam laskar Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widurapun tidak yakin kalau jumlah laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi banyak sekali.
Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung itupun selagi sempat harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga bantuan yang berarti.
Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itupun pergi meninggalkan mereka. Katanya “Aku akan pulang kerumahku diantara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu akan datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu, awasilah arah itu baik-baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan ditempat-tempat lain.”
“Baik Kiai” jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu berpalingpun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat dibawah pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang dibalik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya”Siapakah sebenarnya orang itu?”
Untara tersenyum, jawabnya “Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, maka anak muda itu berdiri sambil menggeliat. Katanya ‘Apakah kita akan tidur disini?”
Widura bahkan tertawa semakin keras. Katanya ‘Apakah kau berani tidur disini? Bukankah setiap malam, apabila kita berada ditempat ini kau selalu saja mengajak pulang? apalagi ketika kau dengar Tohpati sedang berkeliaran didaerah ini?”
“Ketika itu tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada bahaya?”bertanya Untara.
“Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami banyak perubahan. Kini ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-betul mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung Sedayu benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas diperhitungkan.
Sesaat kemudian Widura dan Untarapun berdiri pula. keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini. Sehingga dengan demikian segera merekapun kembali ke kademangan.
Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda keliling. Tohpati yang berada disekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat.
Sedang kerja Widura hari itu adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda Sangkal Putung disamping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam pertempuran-pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itupun berlatih dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh dibawah nama-nama yang dikaguminya. Sidanti,Sedayu,Widura dan Untara.
Hanya Sidantilah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun demikian, sampai saat itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itupun ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam harinyau dan Agung Sedayu masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting. Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur dimalam hari. Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana mereka harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi. Selain itu Widurapun telah membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan panah-panah api untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan pasukan yang berada di Sangkal Putung.
Namun dipagi hari berikutnya,ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai lukisannya datanglah seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu.
Ketika seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itupun mengerutkan keningnya, kemudian katanya “Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu masuk.”
Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan.
“Duduklah” Untara mempersilahkan.
Orang itupun kemudian duduk diatas sehelai tikar pandan. Dipunggungnya terselip sebilah keris, dan dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya didalam jumbai dibagian depan ikat pinggangnya.
“Paman” berkata Untara kemudian kepada Widura “apakah paman tidak ingin melihat beberapa bilah keris?”
Widura tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula dihadapan orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayupun kemudian hadir juga diantara mereka.
Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu “Apakah kau membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya “Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.”
Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widurapun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung Sedayu sekali-sekali mencoba memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah aku perkenalkan dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata Untara sambil menunjuk Widura “Paman Widura.”
Orang itu mengangguk dalam sambil berkata “Aku adalah utusan kakang Untara.”
Kembali Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas nama Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya Trigata” sambung Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. nama itu pernah didengarnya di Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan dari berita-berita yangdibawa oleh Soma.”
“Ya”
“Tohpati hari ini berada dihutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “apakah sangkamu persiapannya sudah selesai?”
“Kami menyangka demikian. Orang menyelundup kami yang disekitar lingkungan mereka yang dapat kami hubungi telah mendengar perintah untuk tetap ditempat bagi mereka.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimanakah dengan obor dan panah api?”
Trigata berpikir sejenak, kemudian jawabnya “Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak mau gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk mengacaukan pertahanan kita disini.”
Sesaat mereka kini berdiam diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya “Aku harus menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata Untara “Tetapi tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam, supaya Tohpati tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti sebelumnya.”
“Kau benar” berkata Widura “aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata “Apakah menurut dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.”
“Demikianlah” sahut Trigata.
“Baik” berkata Untara “usahakan melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda dengan panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian kau melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri diujung, yang lain akan menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.”
“Ah pekerjaan itu tidak terlalu berbahaya” sahut Trigata “apalagi dimalam hari, kami akan dapat melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh. Pekerjaan ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu sendiri.”
“Bagus, dimana kalian berada?”
“Di Tegal” jawab Trigata “dirumah seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih” sahut Trigata.
Kembali kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu yang bergolak didalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera disampaikannya kepada kakaknya maupun pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti apabila diadakan pertemuan diantara para pemimpiin laskar di Sangkal Putung.
Widura kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus. Meskipun belum diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam nanti, namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda Sangkal Putung untuk menghadapi setiap kemungkinan,pula laki-laki yang telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk melawan api apabila timbul kebakaran.
Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin dekat. Karena itu, maka merekapun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap menghadapi setiap kemungkinan.
Penduduk Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri. Perempuan-perempuan telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung tidak mampu menahan arus Macan Kepatihan?
Siang itu juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung kembali ketempatnya. Di tempat persembunyiannya ternyata telah berkumpul lima orang yang sipa melakukan tugas-tugas mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang nanti akan memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati.
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Dimuka banjar anak-anak Sangkal Putung sibuk berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata mereka.
“Jangan memeras tenaga kalian” Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung “nanti apabila setiap saat diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda itupun menurut pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-petunjuk yang harus mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan datang.
Ketika matahari telah condong kebarat, beberapa orang penjaga diujung induk desa Sangkal Putung terkejut mendengar pandah sanderan yang meraung-raung dilangit, kemudian jatuh didekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka tidak melihat sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera meloncat keatas punggung kuda dan langsung berpacu ke Kademangan.
Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata orang itu kepada Widura “sebuah anak panah sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak panah itu”
Widura mengerutkan keningnya. “Bawalah kemari” berkata Widura. ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata “Perkuat penjagaan digardumu”
“Baik tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kaupun harus melaporkan setiap perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih mas Rizal...

Saya sebenarnya dulu pernah baca ADBM ini saat masih kecil. Kalau gak salah mulai dari yang jilid III sampai IV. Sienget saya dulu saya selalu nunggu tiap bulan untuk baca ADBM. Itu juga setealh bapak saya baca baru kemudian saya...maklum waktu itu masih SD. Dan terakhir saya nanya bapak saya, kok gak beli lagi...katanya ceritanya gak habis2 jadi bapak saya bosen belinya...

Jangan bosa ya mas rizal postingnya. Karena bapak saya tidak punya yang Jilid I & II.

Alfian D/Wong Kendal tinggal di Cibubur.