Kamis, 27 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 30

“Persetan. Aku bertanya kepadamu”
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata “Persoalan antara aku dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan”
“Jangan menganggap soal diantara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil berkata “Paman Widura, kembali ke kademangan”
Widura itupun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. karena itu dengan tergagap ia menjawab “Baik, Untara. Kita akan segera kembali”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan”
Orang-orang Widurapun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama. Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang kerumah masing-masing dengan kesan yang aneh didalam hati mereka. Mereka melihat perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula didalam hati mereka “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang orang lain berkata didalam hatinya “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu yang aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu.
Ketika orang-orang disekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata “Aku tinggal disini”
“Kaupun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak ditempatnya terdengar Untara mengulangi “Sidanti, kembali ke kademangan. Jangan melawan perintah”
Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju kekademangan. Disepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata kepada setiap orang yang dijumpainya “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama”
Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada dilapangan itu pergi dengan kesan masing-masing. Dibelakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara dan Widura. Dibelakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-orangpun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti.
Bahkan ada diantara mereka yang bertanya-tanya didalam hati mereka “Apakah Agung Sedayu ini melampaui kakak kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan dilapangan itu telah benar-benar berkesan dihati para penontonnya, orang-orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir Untara disamping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan dipadukuhan dan kademangan mereka itu.
Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh dibelakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang. Untunglah bahwa dipalangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya, disudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. Ternyata Untatra itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat dimukanya, langkah Untara itu masih jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah tengadah.
Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan disamping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya “Untara”
Untara berpaling. “Ya” katanya.
“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan dibelakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu didalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri “Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya sendiri”
Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura “Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka keadaan paman disini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya”
“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya “Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela “Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani menentang kehendak paman”
Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya “Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak yang lainpun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Tersenyum agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, betapapun Sidanti itu menyakiti hatimu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untarapun tersenyum pula karenanya. Katanya “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk dipringgitan siang dan malam”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu ditikungan randu alas, Sedayu?”
Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak “Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya “Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami disini, dimana kau selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing”.
Betapapun dinginnya malam, namun Untara itupun merasa, bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia sampai dikademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia duduk dipringgitan bersama-sama dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan parapemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa dipersilakan. Mereka kemudian duduk melingkar diatas tikar anyaman ditengah-tengah pringgitan itu.
Dipendapa Sidanti duduk ditempatnya sambil meniang-bimang senjatanya yang masih terbalut wrangka dikedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan kain putih.
Keitka ia melihat beberapa orang masuk kepringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri”
Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan aku”
‘Huh” sahut Sidanti “Kenapa kau tidak ikut masuk kepringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang itu. “Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya. Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia psati tidak akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu tidak menjawab. iapun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa didadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi.
Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.
Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk termenung diatas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada diregol halaman, tampak selalu berwaspada, sedang dimuka gandok dilihatnya beberapa orang tidur mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.
Tetapi sebentar kemudian prajurit itupun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya iapun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri disamping kawan-kawannya. Tetapi ia tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Dipringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah membingungkannya.
Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya “Untara, aku telah sampai kerumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab “Ya, aku memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab “Aku ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura tertawa. Agung Sedayupun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara “Kenapa paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang kerumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun tersenyum pula. katanya “Kiai Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita tentang orang itu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian “Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ketengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya. karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang kemudian duduk dibelakang ayahnyapun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya “Aku minta maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya “Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur dipembaringan Widura. Ia lebih senang tidur diatas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya disamping adiknya, maka katanya perlahan-lahan “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya “Aku hampir mati kecemasan”
Untara tersenyum. Katanya “Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak didalam dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya dilapangan, ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang dimilikinya. karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.
Dihari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka saksikan dilapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu. “Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang diatara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda hilir mudik dipadukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun meningkat pula. gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia keadaan.
Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka setiap gardu peronda diujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Dihalaman kademanganpun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ketempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada didalam lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada adiknya “mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”
Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan dihati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi kewarung diujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, mereka sudah menyimpan makanan dirumahnya. Bahkan beberapa orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga.
Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya “Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan- kademangan sebelah”
“Tak ada gunanya. Di kademangan ini ditempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan- kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para peronda dari kademangan ini juga”
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya “Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”
“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan- kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari satu kademangan kelain kademangan”
Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ketempat lain dengan seluruh anak-anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal dirumahpun hatinya selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata “Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang”
“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal disini? Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?”
”Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan ini”
Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya “Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan dipusat kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.
Tetapi laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang digenggaman tangannya.
Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat kepertengahan abadpun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri dibawah pengawasan langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.
“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. “Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.
Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut serta bersama mereka.
Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorangpun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan dem dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi kegunung Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. karena itu, maka ketika mereka telah beristirahat sejenak, Untara itupun berkata “Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai melukis diatas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar biasa” berkata Widura “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang dimilikinya selama ini.

29 komentar:

Anonim mengatakan...

lanjut trus mas, masih ada kisah cinta agung sedayu dan sekar mirah, swandaru dan pandan wangi, ditunggu sorot mata agung sedayu dahsyat, masih ada perang tanding yang mendebarkan antara agung sedayu dan tumenggung prabadaru dan saudara seperguruannya yang menjadi bajak laut,masih ada pertarungan puncak kiai grinsing dengan kakang panji yang sama2 punya darah majapahit........

Anonim mengatakan...

matur suwun mas rizal....
kalau boleh tahu sampeyan asalnya mana sih mas rizal... dari jawa juga ya.....

Anonim mengatakan...

Matur nuwun mas Rizal.. tinggalnya dimana Mas? Kalo tinggal di bogor, aku mau nolongin scannernya biar cepat selesai uploadnya. Masih ingin tahu gimana caranya agung sedayu dapat ilmu kebal yg dapat memancarkan hawa panas ketika sampai puncaknya, atau gimana caranya dia dapet ilmu lewat sorot mata yg dapat meremas dan menghancurkan jantung lawannya...

Matur nuwun malih..

rizal mengatakan...

Sahabats,
wah ilmu2 dahsyat itu masih jauh sekali, yang segera adl bagaimana pemberontakan Tambak Wedi dan penumpasannya, lalu pengejaran Kiai Gringsing dan murid2nya ketlatah Menoreh untuk menumpasnya, lalu asal mula keterlibatan mereka dalam pembukaan alas Mentaok menjadi sebuah negeri yang besar..... pokoke masih panjang lah.....
Saya sendiri kelahiran Jakarta, dan 'belajar' baca ADBM ini dari bapak alm (asli kuningan Jabar). Sedang ibu asli dari pebukitan Pacitan.
Mudah2an usaha pelestarian 'cerita asli dari bumi sendiri' ini bermanfaat ya...
BTW beberapa karya Pa Singgih alm sudah banyak yang sudah dicetak ulang, bahkan Nagasasra sampai 3 kali. Tapi kenapa ADBM ini belum ya? Akh, pertanyaan yang aneh...

Unknown mengatakan...

Waah sdh ada lanjutannya nih..Trimkasih banyak ya Mas Rizal..
Btw, mo nanya nih Mas, apakah Mas Rizal berkenan klo ada tg mo bantu ngetik? atau mungkin ada sesuatu yg dapat kami (para pembaca setia blog Mas Rizal) bantu??
Apakah ada suatu kendala?
Sebab semua komentar teman2 yg mo ngebantu dan tidak ada jawaban dari Mas Rizal.
Ini semua, sebenarnya untuk mempercepat dimuatnya ADBM ini, target posting Mas bisa diperbanyak.
Krn agak mengkhawatirkan, dari hasil perhitungan dari posting teman kita terdahulu. akan memakan waktu yg sangat lama untuk menyelesaikan ADBM ini jika hanya 6 posting perbulannya.

Anonim mengatakan...

...maju terus bung rizal. Mungkin Kedaulatan Rakyat sebagai penerbitnya masih punya simpanan elektroniknya. Hayo siapa punya akses!

rizal mengatakan...

Utk mas yuwana dan sahabat lain yang punya kekhawatiran yang sama, saya sudah coba merayu kakak saya sebagai pemilik buku aslinya ini untuk dibuka jilid nya dan di scan, tetapi dia keberatan krn menurut dia nanti akan sulit merapikannya lagi.
Dikomentar saya sebelumnya, sudah saya ajukan usul untuk para pemilik ADBM agar membagi tugas, tetapi memang belum ada yang merespons. Mungkin ada usul yang lebih pancen oye?...

Unknown mengatakan...

mas rizal....
gimana kalau difoto dg kamera digital, bisa kali ya?
tapi sizenya juga jadi gede, per halaman atau per-2 halaman bisa 300 KB....

Anonim mengatakan...

Minggu yang lalu saya kebetulan ada keperluan ke jogya dan sempat mampir ke percetakan koran Kedaulatan Rakyat sekitar jam 17.oo.
Tapi ternyata kantornya sudah tutup,namun kebetulan masih ada yang jaga, saya nanya apakah masih jual buku-2 karya SH Mintardja?.
Katanya sih masih ada jualan sudah dalam bentuk album, satu album sekitar 7 jilid dan harganya Rp. 40.000,-
Jadi apabila ada yang berminat untuk mengkoleksi silahkan menghubungi no. telp Kedaulatan Rakyat.

Anonim mengatakan...

Bagi penggemar cersil jawa karya SH Mintardja, silahkan dibuka gajahsora.com.
Disitu ada cerita Nagasasra Sabuk Inten (NSSI) dan Suramnya bayang-bayang (SBB).
Saya baru selesai menamatkan NSSI yang jumlahnya 873 episode selama satu minggu.
Caranya saya download cerita tsb ke HP, jadi dalam setiap kesempatan saya baca dari HP.

Anonim mengatakan...

Mas Rizal, yang saya (dan yang lain mungkin) khawatirkan kalau ini berlanjut dengan tempo selambat ini, suatu saat mas rizal akan kehilangan semangat atau didera kesibukan lain sehingga proyek mulia ini jadi terhenti. Maka mungkin usulan untuk bantuan menscan bisa dipertimbangkan lebih jauh. demikian usulan saya, penggemar setia blog mas rizal, maaf bilang kurang berkenan.

rizal mengatakan...

Temans,
saya mencoba membuat foto textnya dgn menggunakan SE K800i, silakan dilihat di http://rizal-firmansjah.blogspot.com/2008/03/contoh-buku-api-di-bukit-menoreh-difoto.html
Sepertinya kurang jelas ya? Minta pendapatnya ya...

Anonim mengatakan...

lanjut trus agung sedayu .......

Unknown mengatakan...

Mas Rizal Firmansjah, setelah saya lihat hasil fotonya, memang rada susah juga, apalagi kondisi bukunya sudah tua, agak lapuk , kuatirnya banyak diutak-utik jadi robek.
Paling kita berharap ada rekan-rekan yang punya "handheld scanner" (bukan flatbed scanner) yang dapat dipinjamkan ke mas rizal?

Mas Rizal, Terima kasih atas segala usahanya.......

pasingsingan mengatakan...

Kalo ada yg tinggal di daerah jawa tengah, jogja , jawatimur bagian barat.. biasanya banyak persewaan buku yang menyewakan cerita ini,
beberapa tahun lalu saya pernah pinjam waktu masih berdomisili di madiun.
sekarang saya ada di probolinggo.. hampir tidak ada persewaan buku disini, atau ada yg tau dimana bisa pinjam buku ini di daerah proobolinggo.. biar bisa bantu mas rizal .. :)

Unknown mengatakan...

Waah... sepertinya bisa di olah tuh Mas Rizal, tulisannya masih bisa jelas dibaca... ternyata ejaan lama ya Mas?!
Skarang gmana nih pengaturannya?!
Biar gk ada yg sama ngetiknya, Mas Rizal yg koordinasi yaah...
Ayo teman2... saatnya kerja bakti.

Unknown mengatakan...

Ohh iya Mas, di fotonya satu halaman satu aja, klo langsung 2 halaman, bagian tengah buku jd tdk jelas tulisannya karena melengkung.

Anonim mengatakan...

Dilanjut mas...

Nunggu mode :On

Anonim mengatakan...

hebat mas, saya tidak bosan2 membaca buku, serasa saya kembali ke masa kecil saya.. terima kasih banyak.

Anonim mengatakan...

terimakasih pak atas dimuatnya adbm..

kepada bapak bapak/ibu/sudara, setelah saya baca komentarnya, memang semua mendukung percepatan dimuatnya adbm ini soalnya seluruhnya ada 396 buku.

saya sendiri, jujur saya ingin membaca secara tuntas semuanya. saya pernah membuka situs http://www.anelinda-store.com/silatantik.php dan pernah telpon kesana, seluruhnya dijual dengan harga 2,5 juta. mahal memang... terus ketika saya tanya ada ebook elektroniknya nggak? bapaknya bilang kalau tidak punya, kalau punya saya pun mau beli... kalau baca langsung dari buku, saya enggan, soalnya kalaupun mau baca, waktu yang ada adalah baca di kantor.. (kan nggak enak dikantor baca adbm, kelihatan orang, kalau baca di monitor kan nggak ketahuan hehehe)...

saya usul, bagaimana kalau kita rame rame iuran, terus kita scanner.. sehingga lebih cepat ditampilkan.

kalau saya hitung hitung, seandainya setiap minggu bisa ditayangkan 1 judul buku saja, maka 1 tahun baru 52 judul.. padahal seluruhnya 396 judul..
kalau seminggu 2 jugul, maka setahun kira kira 100 buku, jadi 4 tahun baru kelar.. keburu bosan kali nunggunya ya.. :)

kalau kita hanya mengandalkan pak rizal, dengan kondisi seperti ini, maka saya agaknya kurang yakin kalau akan berlanjut terus.. dan sampai kapan selesainya? ya nggak?
(mohon maaf lho pak ...) ..
soalnya, pada suatu ketika, pak rizal juga akan ada kendala, bosan, dsb, sehingga pemuatan cerita pasti tidak akan selesai..

gimana tanggapan bapak bapak/ibu/saudara?...

mohon maaf dan terima kasih..

kiko

Anonim mengatakan...

Dear All,

Saya setuju dengan usul Pak Kiko, gimana Pak Rizal setuju atau tidak?
Jika boleh minta tolong lagi dengan Pak Rizal, gimana kalau Pak Rizal jadi kordinatornya, kita-kita tinggal setor ke rekening Pak Rizal.

Ayo dong temen2, abis udah nggak sabar nunggu Pak Rizal (He..He..He, maaf ya Pak Rizal)


Thanks
Handoyo

Anonim mengatakan...

bravo mas rizal, kebut terus mas uploadnya.. . saya ndak sabar untuk selalu membaca upload barunya. semakin banyak semakin turut serta melesatarikan kabudayan lho .. :)

Anonim mengatakan...

Mas Rizal aku mendukungmu untuk upload terus.., pokokke sukses deh

YurNalis mengatakan...

mana nih mas yang 31 nya

radenronggo.blogspot.com mengatakan...

makasih mas rizal, aku skr dapat melajutkan lagi membaca ADBM yang belum aku tamatkan. semoga mas rizal tetap sehat shg dapat selalu meng upload a
ADBM sampai jilid terakhir. suwunngy

Anonim mengatakan...

Assalamu alaikum wr wb
Selamat malaaam..
Aku baru tiba Jkt lagi...baru balik dari tanker...ee ada episode 30. lumayanlah...
Tapi cepet banget selesainya
Kalo menurut cerita mas rizal dulu, target seminggu adalah 2 episode, sebulan 8 episode atau satu jilid buku. Waaah...kalo itung2an, berarti memerlukan waktu 33 tahun lebih baru bisa menyelesaikan 396 jilid.
Alamaaak..jangan2 sebelum posting selesai...kita2 duluan yang SELESAI. Apalagi penggemar ADBM kan rata2 para mania cerita nostalgia, yang notabene udah pada berumur..iya nggak?
Aku setuju banget dengan ide temen2 yang pengin mempercepat dengan scan rame2, trus nanti dalam format PDF kan ada converternya ke Word. Jadi bisa cepat.
Usul saya, kita2 yang setuju dengan proyek besar ini sebaiknya ketemuan dululah dimana gitu(krn mas rizal di jkt, sebaiknya juga di jkt. Saya ndiri ada di Tebet. Nanti bisa enak diskusinya, langsung dan cepat dapat solusi dan realisasinya. Kalo nggak ketemuan ya susah ngejalaninnya. Saya yakin temen2 lainnya jadi saling tunggu siapa yang mau gerak duluan. Karena diantara kita belum saling kenal satu sama lain. Kalo belum kenal, gimana bisa percaya? ya ngga?
Btw ...sementara ini semoga tetap semangat mas rizal. Karena mas Rizal lah yang mau memulai ide bikin ebook ADBM yang sekian panjangnya, sementara orang lain pada takut memulai karena alasan yang sama.
Ditunggu lanjutannya mas... suwuuun
Wassalam

haris widjanarko mengatakan...

mas rizal matur suwun, saya tunggu kelanjutannya, mas rizal kalo bisa blognya juga ditmabha lagi dengan cerita naga sasra sabuk inten karya SH Mintardja juga...
akan kunantikan kelanjutannya mas rizal

babypanda mengatakan...

Mas Rizal, kebetulan saya punya banyak, terutama episode III & IV , sudah saya kirim ke rumah di Salatiga sayangnya.

Saran saya sih, kalo bisa dikasih info Episode & Jilidnya . Siapa tau suatu saat saya bisa bantu nyicil2 dari buku2 yg saya punya

Langit - Biru mengatakan...

Mas Rizal aku telah terlanjur banyak baca ADBM dan kayaknya aku lagi mabuk.....sama agung sedayu, shg saat ini aku lagi tunggu lanjutannya untuk obat mabuknya gitu...makasih mas ...aku tunggu nomor 61 dstnya.