Minggu, 30 Maret 2008

Api di Bukit Menoreh 32

Orang itupun kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Disepanjang jalan ia menggerutu “Tidak juga mau memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah maka para peronda itu menjadi semakin berhati-hati.
Sepeninggal orang itu, maka Untarapun berkata kepada Widura “Paman, anak-anak buahku telah mendapat kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua anak panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada tengah malam”
Widura mengerutkan keningnya. “Waktu yang baik” gumamnya. “Mungkin Tohpati memperhitungkan, bahwa pada saat fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung”
Keduanya kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu “Kakang, apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara mengangguk “Mungkin sekali”
Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya, segera mengerti perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
“Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung Sedayu mengangguk “Ya” jawabnya “Aku sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan”
Untara tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura “Paman, barangkali sudah sampai waktunya paman memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok anak buah paman”
Widura mengangguk “Ya. Aku sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak Jagabaya”
“Jagabaya?” bertanya Untara
“Ya. Iapun bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya masih menyala seperti anak-anak muda”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Widurapun kemudian memanggil semua orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya sendiri, maupun orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan kepada mereka, apakah yang sedang mereka hadapi sekarang. “Mungkin orang-orang Tohpati itu lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata Widura kemudian. “Karena itu setiap tenaga harus kita manfaatkan”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ikut bertanggung jawab atas apa saja yang terjadi diwilayahnya. karena itu, maka katanya “Semua anak-anak, akan dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin mengangkat senjata. Ada beberapa orang bekas prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi menyatakan kesediaan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini. Enam atau tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu”
“Bagus” sambut Widura. “Beberapa orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus” katanya “Anak-anak Sangkal Putung akan menjadi bergembira karenanya”
Tetapi hampir semuanya kemudian tak bersuara ketika Widura berkata “Tetapi perhatian terbesar harus kita berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Disini kita akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya tanpa menimbulkan kemungkinan yang terlalu buruk bagi kita”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Tak seorangpun yang menyahut. Mereka saling berpandangan dan sebagian dari mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. Tetapi ada pula diantara mereka yang berpikir “Ternyata yang pantas melawan Tohpati itu adalah Agung Sedayu”
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Sidanti perlahan-lahan “Kakang Widura, siapakah yang menurut kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu?
Widura terdiam sejenak. Ia menunggu Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian Untara berkata “biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Diantaranya mereka akan datang juga Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain. Karena itu, maka tugas kita akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak menganggap bahwa akulah yang paling pantas melawan Tohpati. Tetapi aku akan bertanggung jawab terhadap atasanku. Biarlah aku mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan yang lain-lain itupun perlu mendapat perhatian.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya “aku sudah menyangka” katanya “kemudian kami, yang lain-lain adalah anak-anak yang tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu.”
“Bukan begitu” sahut Untara “aku,paman Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar Sangkal Putung adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita masing-masing.”
Sidanti itu masih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa Untara pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang ditangan Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada kesempatan baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti mengharap, mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang garang itu dengan tongkat baja putihnya.
Untara melihat senyum yang aneh itu. Tetapi ia sama sekali tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang demikian, maka kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu, maka ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya, Citra Gati dan bahkan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang ganjil. Dari senyum itu mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi dibelakangnya.
“Kalau Untara itu telah mati oleh Tohpati” berkata Sidanti “Maka keadaan Sangkal Putung akan kembali seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan itu. Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari guruku, setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah tidak sempat lagi mendalami ilmunya”
Akhirnya setelah Widura memberikan beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu, maka pertemuan itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada kelompoknya, memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian mereka itu telah mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu pertempuran yang berat.
Anak-anak muda Sangkal Putungpun kemudian berlari-larian hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok masing-masing dan seperti juga anak buah Widura, merekapun segera mempersiapkan diri mereka masing-masing.
Ketika kemudian matahari tenggelam dibalik punggung bukit, laskar Sangkal Putung itupun telah siap dilapangan. Beberapa orang bekas prajurit ada diantara mereka. Meskipun orang-orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka masih tegap, dan senjata-senjata mereka, yang selama ini disimpannya. Namun kini senjata-senjata itu diambilnya kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda mereka. Bertempur untuk suatu keyakinan yang digenggamnya. Kini merekapun akan bertempur kembali untuk suatu pengabdian atas kampung halaman mereka.
Swandaru berdiri dengan gagahnya. Pedangnya yang besar tergantung dipinggangnya. Sekali-sekali ia menatap langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah. Matahari itu seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan terasa sangat menjemukan. Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang menunggu datangnya tengah malam.
Orang-orang yang sudah setengah tua, mendapat tugas mereka sendiri. meskipun mereka membawa senjata pula, namun mereka harus berada didalam desa mereka. Kalau orang-orang Macan Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, maka merekapun akan ikut serta bertempur. Disamping itu, kalau Tohpati itu kemudian menjadi putus asa, dan mempergunakan panah-panah api untuk menimbulkan kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk mengatasinya. Sedang perempuan-perempuan muda tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas untuk mereka. Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat berperang. Meskipun demikian, diantara anak-anak gadis itupun ada pula yang menyelipkan keris dan patrem diantara ikat pinggang mereka seakan-akan merekapun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur bersama anak-anak mudanya.
Tetapi disamping semuanya itu, perempuan- perempuan yang bersembunyi dibalik-balik pintu rumahnya mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya. Mereka mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.
Ketika malam turun, maka Sangkal Putung benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada rumah yang menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni. Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan senjata ditangan, dan hampir setiap perempuan pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama mereka untuk menanggungkan segala macam keadaan bersama-sama. Apapun yang mereka alami, apabila dipikulnya bersama-sama, maka terasa akan menjadi bertambah ringan.
Meskipun hampir semua kekuatan laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung ditarik kearah barat, namun Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain. Namun isi dari gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian diserahkan kepada laki-laki Sangkal Putung yang tidak ikut serta dalam pertempuran langsung dengan anak-anak Macan Kepatihan, meskipun satu dua diantara mereka telah diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya, untuk setiap kali apabila bahaya mengancam mereka,segera mereka dapat memberitahukannya kepada laskar cadangan yang ditinggalkan di kademangan, bersama dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, disekitar lumbung-lumbung dan di banjar desa.
Kini para peronda telah tahu benar, apa arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur disekitar tempat-tempat mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa apabila ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaay mereka segera mengirimkan anak panah sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila keadaan amat mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka para petugas yang telah dikirim oleh Untara, tidak sempat memberitahukan langsung, supaya dikirimnya panah sanderan tiga kali berturut-turut.
Beberapa saat kemudian maka laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya dilapangan dimuka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki telah siap menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah mereka kenal dengan baiknya.
Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang ketika mereka mendengar derap kuda yang berlari kencang memecah kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju menyongsong orang berkuda itu, sedang dibelakangnya Agung Sedayu berdiri dengan berdebar-debar. Kali ini untuk pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang sebenarnya. Sebilah pedang tergantung dipinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya, disakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak tahu pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul keinginannya untuk mencoba apakah ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan yang menggembirakan tetapi membidik dalam pertempuran yang berbahaya.
Sesaat kemudian tampaklah seekor kuda berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu berhenti, maka meloncatlah seorang prajurit dihadapan Widura.
Widura dengan tergesa-gesa bertanya kepadanya “Ada yang penting dipenjagaanmu?”
Orang itu mengangguk, katanya “kami menerima panah sanderan tiga kali berturut-turut.”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara sedang berpikir. “ Ada sesuatu yang menyimpang dari rencana semula.” desisnya.
Widura mengangguk.
Setelah Untara itu diam sejenak, maka katanya “siapkan seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat kemana saja. Beberapa orang berkuda supay bersiap pula. Apabila ada perubahan arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya kesegenap sudut penjagaan.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang yang bertubuh kecil berlari-lari datang kepadanya.
“Sonja” berkata Widura “siapkan orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.”
“Baik” sahut Sonja. Kemudian iapun berlari-lari kembali ketempat kawan-kawannya sekelompoknya menunggu didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok yang harus menyampaikan setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan.
Sebelum Widura memberikan perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang disekitarnya menjadi tegang.
Seperti orang yang pertama orang itupun tergesa-gesa berkata kepada Widura “kami telah menerima panah sanderan dua kali berturut-turut.”
“He” Widura mengerutkan keningnya “mereka mempercepat gerakan mereka.”
“itulah kecerdikan Macan Kepatihan itu” sahut Untara “setiap rencana dirahasiakan didalam otaknya. Baru pada saat terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang mereka sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena itulah maka Trigata itupun tidak dapat mengetahuinya dengan tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan. Karena orang-orangnya yang dapat melakukan hubungan dengan orang-orang dalam laskat Tohpati itupun tidak dapat mengatakan dengan tepat pula.
Sekali lagi Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “ Kita juga sudaj siap untuk berangkat. Bukankah kita segera berangkat pula.”
“Marilah” sahut Untara. Sementara tetap kebarat.”
Sekali lagi Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja berlari-lari kepadanya.
“Satu diantara kalian pergi ke Kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati telah mulai bergerak. Ingat jangan menimbulkan kegelisahan diantara mereka. Kemudian kalian kembali ketempat ini dan separo dari kalian harus berada digardu pertama sebelah barat.”
“Baik” Sonja mengangguk,kemudian kembali ia meloncat berlari kekelompoknya. Sesaat kemudian maka mereka telah menghambur kesegenap penjuru.
Kedua penjaga yang datang berkuda berturut-turut telah kembali ketempat mereka pula mendahului laskar Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu yang lain. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu, supaya Tohpati tidak menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan.
Para prajurit serta laki-laki dari Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan segera bersiap pula. Dengan senjata ditangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat yang mereka anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari sudut yang satu ke sudut yang lain dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang masuk ke induk desa Sangkal Putung telah tertutup rapat olah penjagaan yang ketat. Gardu-gardu peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh, panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya.
Sementara itu laskar Widura telah mulai merayap kepintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separi menyusur jalan besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian lewat sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula anak-anak muda Sangkal Putung itupun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar, sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan.
Laskar itu kini telah keluar dari induk desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulaj kecil mereka akan sampai kesebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua orang-orangnya telah pergi mengungsi keinduk desa Sangkal Putung.
Ketika Widura yang berjalan disamping Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langut yang bersih ditaburi oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar awan mengalir dihanyutkan oleh angin yang lambut.
Sejenak kemudian laskar itupun telah sampai didesa kecil itu. Induk pasukan tepat berada ditengah, sedang kedua sayapnya masing-masing berada diujung desa-desa itu sebelah utara dan selatan.
Para penjaga masih tetap berada ditempat mereka. Namun mereka tidak lagi berada didalam gardu. Mereka lebih senang berada dibali pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan itu datang, maka seakan-akan mereka bersorak didalam hati mereka. Sebab dengan demikian, apabila laskar Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus melakukan perlawanan darurat.
Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak maju terus. Mereka tinggal didalam desa itu, supaya lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka.
Ketika Widura telah mengenal keadaan sejenak ditempat itu, maka segera diperintahkannya kepada para penjaga “Nyalakan pelita didalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di rumah-rumah yang terdekat.”
“Kenapa justru dinyalakan,Ki Lurah?” bertanya penjaga itu.
Biarlah laskar Tohpati menyangka, bahwa keadaan didalam desa ini seperti dalam keadaan biasa. Kalau kau padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu.”
Penjaga itu mengangguk-angguk. “Alangkah bodohnya aku” katanya dalam hati.
Karena itu maka segera ia bergegas-gegas pergi kerumah-rumah yang telah kosong, untuk menyalakan lampu-lampunya. Sedang ting digardunyapun segera dinyalakannya pula.
“Bagus” desis Widura kemudian “desa ini akan memiliki wajah seperti wajahnya disetiap hari. Tohpati yang berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini dimalam hari sebelum ia memilih arah. Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal keadaan ini baik-baik.”
Dalam pada itu, maka beberapa pengawaspun telah dikirim kedepan. Ketengah-tengah sawah yang menurut perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati.
Malam yang masih terlalu muda itu telah menjadi semakin gelap. Dan didalam gelap itulah berkeliaran laskar dari kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut ditangan mereka masing-masing.
Sebenarnyalah Tohpati telah berada dihadapan hidung laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi dihadapan mereka. Laskar Tohpati yang bergerak jauh sebelum waktu yang ditentuka semula itu, dengan cepatnya mendekati Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati melihat suasana pedesaan dihadapannya.
“Desa itu terlampau sepi” desisnya.
Disampingnya berdiri seorang yang berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa. Gumamnya “setidak-tidaknya mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam bahaya.”
Tohpati berdesis, kemudian gumamnya “Sanakeling. Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.”
“Baik” sahut orang yang bernama sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun untuk kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan. Namun sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar Alap-alap Jalatunda yang berdiri dibelakang mereka berkata “Aku melihat pelita-pelita itu dinyalakan.”
Tohpati tertawa. Dengan nada yang tinggi ia berkata “Paman Widura benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan desa itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun agaknya anak buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa itu, langsung ke Sangkal Putung. Sayang Paman Widura agak terlambat menyalakan lampu-lampu itu. Kalau tidak maka kembali kami akan terjebak.”
Sanakeling kemudian dengan cepat membaw alaskarnya ke selatan melingkari desa itu langsung menuju Sangkal Putung.
Tetapi Widura dan Untarapun bukan anak kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah memasang beberapa orang jauh dihadapan laskar mereka.
Dalam keheningan malam yang dingin itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung diudara. Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi.
Untara mengangka alisnya “ada sesuatu yang terjadi dalam barisan Tohpati itu.” Desis Untara.
Wajah Widura berubah menjadi tegang. Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang diperintahkannya untuk mengawasi setiap kemungkinan yang ada dihadapan mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang pengawas dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya dan seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengantergesa-gesa ia berkata “ aku melihat laskar berjalan melingkar diarah selatan langsung menuju induk desa Sangkal Putung. Mereka pasti masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak begitu besar.”
“Hem” geram Widura “Macan Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.”
“Mereka telah mencapai simpang empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya.
“He?” Widura terkejut “begitu cepatnya?”
“Ya”
Tiba-tiba demang Sangkal Putung itu memotong “serangan yang sangat berbahaya. Apakah aku bolah menarik laskar Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?”
“Jangan” sahut Widura. “kita belum tahu, siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah induk pasukan mereka.”
Demang Sangkal Putung itupun terdiam. Baru sesaat kemudian Widura berkata ‘keadaan itu sangat gawat. Biarlah aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya aku serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat aku akan kembali kemari.”
Untara mengangguk “baiklah” jawabnya.
Widura itupun dengan cepat berlari kesayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik mundur, kembali ke kademangan Sangkal Putung.
Dengan tergesa-gesa mereka berjalan memintas. Mereka tidak lagi lewat diatas jalan diantara daerah persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati tanaman-tanaman yang menghijau. Bahkan sekali-sekali tanam-tanaman itupun terpaksa terinjak-injak kaki mereka. Namun tanaman itu besok bisa disulami. Tetapi kehancuran kademangan mereka akan memerlukan banyak sekali pengorbanan. Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi sempat berpikir tentang tanaman-tanaman itu.
Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda sempat melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda itu, sementara beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat gerakan itu dengan senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu. “He” kenapa kalian berteriak-teriak minta tolong?”
Pimpinan gardu itu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-menerus menghujani anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua orang lagi telah meloncat kebalik semak-semak dibelakang pagar. Anak panah merekapun meluncur tak henti-hentinya.
Ternyata usaha itu menolong pula. gerakan laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka seang melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu tertawa pula, katanya sambil menghitung “ tiga orang dibelakang gardu, dua orang dibalik pagar dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian berenam sudah jemu hidup? Dua diantara kalian benar-benar mampu memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-apa. Jangan membidik terlalu tinggi. Tarik tali busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak cepat dan keras.”
Yang mendengar suara Sanakeling itu benar-benar manjadi sangat cemas. Orang itu dapat menebak dengan tepat berapa orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin pemimpin barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi ternyata orang itu dapat menebak pula, siapakah diantara mereka yang benar-benar mampu melepaskan senjata-senjata itu.
Karena itu maka orang itu pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran.
Sebenarnyalah para pemuda di gardu itu berjumlah enam orang. Dua diantaranya adalah anggota laskar Widura. Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu, maka perlawanan merekapun berbeda dari mereka yang telah mengalami pertempuran berkali-kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkang Sanakeling. karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak “He, dua atau tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orang-orang yang mencoba merintangi perjalanan kami”
Pemimpin gardu itu terkejut. Sanakeling hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah menurut perhitungannya, orang-orang yang berada digardu itu benar-benar tidak akan mampu berkelahi melawan tiga orang saja? Kedua prajurit Pajang itu menggeram. Merekapun prajurit yang telah masak. karena itu maka jawabnya “Kami berenam disini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga orang. Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat menilai pertahanan Sangkal Putung”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian Sanakeling itu menjawab “Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri” Sanakeling itu diam sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak “Menyebar. Masuki Sangkal Putung. Langsung ke kademangan dan kuasai daerah-daerah perbekalan”
Serentak laskarnya bergerak. Kini mereka sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah yang menghujani mereka dari balik gardu dan semak-semak.
Ketika kemudian terdengar seorang anggota laskar Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya terkena anak panah, Sanakeling menggeram “Setan, bunuh mereka berenam”
Para penjaga gardu mendengar pula perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir. Betapapun juga, maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan demikian maka mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Pemimpin peronda itupun kemudian menusup dibalik semak-semak pula bersama ketiga orang yang berada disekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang lain dengan tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari gardunya, maka pemukul tanda bahaya itupun melepaskan kentongannya dan bersama-sama dengan kawan-kawannya menyusup dibalik semak-semak pula. dengan beringsut sedikit demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan dengan anak-anak panah mereka

Tidak ada komentar: